Ketika perang abadi Alam atas dan Alam bawah merembes ke dunia fana, keseimbangan runtuh. Dari kekacauan itu lahir energi misterius yang mengubah setiap kehidupan mampu melampaui batas dan mencapai trensedensi sejati.
Hao, seseorang manusia biasa tanpa latar belakang, tanpa keistimewaan, tanpa ingatan masa lalu, dan tumbuh dibawah konsep bertahan hidup sebagai prioritas utama.
Namun usahanya untuk bertahan hidup justru membawanya terjerat dalam konflik tanpa akhirnya. Akankah dia bertahan dan menjadi transeden—sebagai sosok yang melampaui batas penciptaan dan kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Slycle024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Perlahan, bayangan kegelapan merayap masuk ke hutan yang begitu luas. Di antara pepohonan yang rapat, dua sosok bergerak tertatih, berusaha mencari tempat aman.
Hao, yang sejak tadi menggendong Lanlan yang pingsan, mulai kelelahan. Nafasnya memburu, kakinya terasa berat, hingga akhirnya ia menemukan sebuah lokasi yang cukup tenang—dekat mata air. Ia meletakkan Lanlan bersandar pada batang pohon besar, membiarkan dirinya menarik nafas panjang.
Suara hutan malam segera menyambut. Serangga berdesir tanpa henti, menciptakan irama yang menguasai udara. Sesekali, lolongan samar terdengar—entah serigala, atau sekadar angin malam yang mempermainkan imajinasi.
Namun Hao cepat tersadar, darah dapat mengundang binatang buas. Ia kembali mengangkat Lanlan, membawanya ke tepi mata air. Setelah menanggalkan pakaiannya sendiri dan pakaian Lanlan, ia perlahan masuk ke dalam air yang dingin. Sesekali, dari bibir Lanlan yang pingsan terdengar desahan lemah, nyeri yang memecah keheningan.
Hao menggosok tubuhnya lebih dulu, membersihkan noda darah yang melekat. Saat menoleh, ia melihat darah kering di tubuh Lanlan yang tak larut dalam air. Dengan kain yang dibawanya, ia mulai mengusap luka-luka itu agar bersih.
Tiba-tiba, Lanlan membuka mata. Rasa sakit dari lukanya yang tersentuh air membuatnya tersadar. Pandangannya jatuh pada tangan yang tengah mengusap tubuhnya, lalu pada sosok di depannya—anak lelaki itu, tel*njang di dalam air, ekspresinya tenang, seolah hanya berniat membersihkan luka tanpa sedikit pun maksud lain.
Wajah Lanlan memanas, bibirnya bergetar. Ia meraih tangan Hao, menghentikan gerakan kain yang masih menyentuhnya. Untuk sesaat, tatapan mereka bertemu.
Pipi Lanlan memerah, sementara wajah Hao masih sama. Pemuda itu hanya menghela napas, lalu naik ke permukaan dan segera mengenakan kembali pakaiannya. Sesudah itu, ia menoleh sekilas ke arah Lanlan—yang kini hanya kepalanya terlihat dari permukaan air, wajahnya merah menahan rasa malu.
“Cepat bersihkan tubuhmu. Jangan biarkan ada bau darah tersisa sedikitpun,” ucapnya singkat.
Setelah itu, Hao membalikkan tubuh dan berjalan menjauh, meninggalkan Lanlan di tepi air.
Lanlan terdiam, tubuhnya bergetar oleh dinginnya air dan rasa malu yang masih menyelimuti. Tatapan matanya mengikuti punggung Hao yang perlahan menjauh, hingga akhirnya hanya suara langkah kakinya di sela rerumputan yang terdengar samar.
Ia menunduk, menghela napas panjang. Luka-lukanya perih, tapi ia tahu ucapan Hao benar—bau darah bisa memanggil maut di hutan seperti ini. Dengan tangan gemetar, ia mulai membersihkan tubuhnya sendiri, berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakit yang menusuk.
Lanlan keluar dari air, mengenakan pakaian milik Hao, lalu dengan langkah goyah dan wajahnya masih memerah berjalan mendekatinya. Hao sudah duduk bersandar di bawah pohon.
“Sudah selesai?” tanyanya datar.
Lanlan mengangguk pelan, lalu duduk tak jauh darinya.
“Mari naik ke atas,” ujar Hao kemudian. “Disana seharusnya aman.”
Lanlan menunduk, jantungnya berdegup aneh. Setelah ragu sejenak, ia berbisik, “Terima kasih…”
Hao tidak menjawab. Lalu menggendong Lanlan naik keatas pohon dengan cekatan.
Di atas pohon, keduanya duduk berdampingan. Dari ketinggian itu, pandangan mereka tertuju pada perkemahan para pembunuh bayaran yang berjaga di perbatasan hutan iblis.
“Makanlah.” Hao menyerahkan tasnya kepada Lanlan.
Gadis itu segera menerimanya, lalu mulai menyantap isi tas perlahan. Setelah selesai, ia menatap Hao, seakan ingin mengucapkan sesuatu. Namun, bayangan wajah Hao yang selalu tetap sama, bahkan saat melihat tubuhnya tanpa busana, membuatnya mengurungkan niat.
Wajahnya memerah, dan saat kembali menatap Hao, ia menyadari sesuatu: tidak ada bekas luka sedikitpun pada tubuhnya, meskipun ia tidak memiliki energi spiritual.
“Kenapa tidak ada bekas luka di tubuhmu?” tanya Lanlan tiba-tiba.
“Tidak tahu,” jawab Hao singkat.
Lanlan terus menatapnya. Bibirnya melengkung, seolah sebuah ide aneh terlintas di benaknya. Ia mendekat, mengamati Hao yang masih fokus memperhatikan perkemahan. Rasa penasaran menggeliat dalam dirinya. Dengan hati-hati, ia menggores sedikit jari Hao.
Luka itu seketika diselimuti cahaya kehijauan, dan perlahan pendarahan berhenti. Hao sama sekali tak bereaksi, tetap diam, seolah kejadian itu bukan apa-apa.
Lanlan, di sisi lain, terperangah. Hatinya dipenuhi kekaguman, sekaligus rasa ingin tahu yang semakin besar. Ia memberanikan diri, merapat lebih dekat… lalu, tanpa pikir panjang, ia menunduk dan menggigit leher Hao, menghisap darahnya.
Hao tersentak. Dahinya berkerut, namun ia menahan diri untuk tidak mendorong Lanlan. Takut bila mereka jatuh dari pohon dan menimbulkan masalah yang lebih besar.
Waktu seakan melambat. Hingga akhirnya, Lanlan melepaskan gigitannya dengan wajah puas. Di saat yang sama, luka-luka di tubuhnya mulai pulih. Tidak seketika, tapi jelas lebih cepat dari sebelumnya.
Kesadaran segera kembali menghampirinya. Dengan kaget, ia menjauh dari Hao, menutupi wajahnya karena malu.
Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya melesat ke arah bukit yang Hao tempati sebelumnya.
Ia merenung, lalu dengan lembut menatap Lanlan.
“Lanlan, kemarilah.” ucap Hao dengan nada akrab. Lalu merentangkan tangannya “ Kamu bisa meminumnya lagi.”
Mendengar itu, Lanlan langsung waspada, tapi perasaan aneh itu, ia berjalan mendekatinya. Mulutnya perlahan mendekat.
Pak!
Suara hantaman membuat pandangan lanlan langsung kabur, ia menatap Hao dengan penuh kebencian, pandangannya jatuh ke dalam kegelapan, dan bersandar di pelukan Hao. lalu ia membaringkannya tidak jauh darinya.
Tidak sampai disitu ia juga memaksa Lanlan menghirup aroma tanaman yang membuat seseorang tertidur dalam waktu yang lama.
Hao yang masih berada di atas pohon merobek sebagian pakaiannya, lalu mengibarkannya seperti bendera agar sosok yang turun dari langit itu menyadarinya.
Di bawah sana, sosok itu mendarat, lalu tanpa ragu membantai seluruh pembunuh bayaran yang ada. Tak satupun dibiarkan hidup. Setelah semuanya berakhir, ia kembali terangkat ke langit, pandangannya menyapu hutan iblis. Saat melihat bendera yang berkibar di atas pohon, ia segera melesat menuju arah Hao.
Begitu sampai, sosok itu mendapati Lanlan yang tertidur lelap, tanpa luka yang mengkhawatirkan. Ia menarik napas lega, lalu menatap Hao.
“Terima kasih telah menjaganya,” ucapnya singkat.
Tanpa menanyakan lebih lanjut, ia mengeluarkan sebuah kereta terbang. Dengan cepat mereka meninggalkan hutan iblis.
…....
Di dalam gerbong, sosok itu sempat menatap Hao, seakan ingin mengajukan pertanyaan. Namun sebelum kata-kata itu terucap, Hao sudah lebih dulu membuka peta, lalu menunjuk sebuah gerbang desa.
Sosok itu mengangguk, langsung mengerti maksudnya, dan mengantar Hao tepat di depan gerbang desa. Setelah itu, ia pergi begitu saja tanpa meninggalkan apapun.
“Hmmp.” Melihat kereta terbang itu semakin menjauh, Hao hanya mendengus pelan, lalu berbalik dan berjalan menuju rumahnya.
Setengah jam kemudian, Hao akhirnya tiba di depan pagar rumahnya. Ia mendapati ibunya, Fei Yin, berdiri menunggu di sana.
“Ibu Fei, mari masuk,” sapa Hao dengan nada riang.
Nada dan ekspresi itu terasa kontradiktif dengan penampilannya yang berantakan. Fei Yin hanya bisa mengikutinya hingga duduk di bangku teras, masih menatap putranya dengan rasa heran.
“Ada apa dengan penampilanmu?” tanyanya cemas.
“Ada sedikit masalah di perjalanan pulang,” jawab Hao singkat.
Tatapan Fei Yin kemudian jatuh pada leher anaknya. “Bekas luka di lehermu itu?”
“Digigit gadis gila,” jawab Hao tanpa ekspresi.
Fei Yin terdiam sejenak, lalu menatap wajah putranya lebih dalam. “Kalau begitu… kenapa ekspresimu terlihat bahagia?” tanyanya dengan nada penuh heran.
Hao tak menjawab langsung. Ia hanya meletakkan tas dan cincin penyimpanan di atas meja, lalu perlahan menceritakan kejadian yang ia alami—meski tidak semua detail ia ungkapkan.
Fei Yin mendengarkan dengan seksama hingga cerita itu berakhir. Ia mengangguk tipis. “Jadi begitu…” gumamnya pelan.
“Ibu Fei,” kata Hao kemudian, “tolong keluarkan semua isi yang ada di dalam cincin dan tas ini. Periksa apakah ada pelacak. Kalau bisa, jual cincin dan tas penyimpanannya. Gadis itu… kemungkinan besar anak yang dimanja. Aku khawatir.”
Fei Yin menghela napas, lalu mengangguk. Ia mulai menyalurkan energi spiritual ke dalam cincin penyimpanan. Namun begitu melihat isinya, matanya melebar terkejut. Ia menoleh kepada Hao, menatapnya lama.
Dalam hati, ia tak bisa menahan pikiran yang muncul: Apakah anak ini keturunan pencuri legendaris?atau pengusaha? Kehati-hatiannya, caranya merampas, pertimbangan antara untung dan rugi, bahkan nalurinya… semuanya terasa terlalu cocok.
Melihat ibunya masih termenung memilah isi tas dan cincin tersebut, Hao masuk dan mengganti pakaiannya, lalu duduk kembali di depan ibunya yang masih tertegun.