NovelToon NovelToon
Dimanja Sahabat Sendiri

Dimanja Sahabat Sendiri

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Office Romance
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Aruna hanyalah perawat psikologi biasa—ceroboh, penuh akal, dan tak jarang jadi sasaran omelan dokter senior. Tapi di balik semua kekurangannya, ada satu hal yang membuatnya berbeda: keberaniannya mengambil jalan tak biasa demi pasien-pasiennya.
Sampai suatu hari, nekatnya hampir membuat ia kehilangan pekerjaan.

Di tengah kekacauan itu, hanya Dirga yang tetap bertahan di sisinya. Sahabat sekaligus pria yang akhirnya menjadi suaminya—bukan karena cinta, melainkan karena teror orang tua mereka yang tak henti menjodohkan. Sebuah pernikahan dengan perjanjian pun terjadi.

Namun, tinggal serumah sebagai pasangan sah tidak pernah semudah yang mereka bayangkan. Dari sahabat, rekan kerja, hingga suami istri—pertengkaran, tawa, dan luka perlahan menguji batas hati mereka.
Benarkah cinta bisa tumbuh dari persahabatan… atau justru hancur di balik seragam putih yang mereka kenakan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12.Gangguan Penyesuaian

Pagi itu parkiran rumah sakit masih sepi. Udara dingin bercampur bau aspal basah sehabis disiram petugas kebersihan. Aruna baru saja turun dari mobil bersama Dirga seketika langkahnya terhenti.

Di depan sana, Maya dan Raka jelas-jelas lagi kepergok. Bibir mereka masih menempel sepersekian detik sebelum buru-buru berjarak , mendorong satu sama lain dengan w ajah panik.

“Maya?” suara Aruna langsung naik satu oktaf.

Maya refleks mundur dua langkah, wajahnya merah padam.

“Masih pagi loh, May. Lo udah berani banget menodai mata suci gue.” Aruna bersedekap, matanya menyipit.

Dirga berdiri di sampingnya, wajah datar setengah ngantuk. Ia cuma mengangguk-angguk malas, seolah mengkonfirmasi.

“Nggak… lo emang liat?” Maya panik, suaranya setengah berbisik, setengah teriak.

“Kita nggak ngapa-ngapain, ya kan sayang? ,” Raka buru-buru menimpali, menggenggam tangan Maya erat-erat.

Aruna menaikkan satu alis. “Gue nggak bilang lo ngapa-ngapain.”

Jawaban itu sukses bikin mereka berdua kompak bungkam. Raka gelagapan, lidahnya nyaris keseleo. “Gue… gue… cuma menyangkal.”

“Tapi kenapa kedengerannya kayak pembenaran ya?” Aruna balas menohok, tenang tapi bikin jantung Maya dan Raka seperti jatuh ke lantai basement.

Maya langsung meraih tangan Aruna, mengguncangnya heboh. “Run, sumpah ya, lo bisa jaga rahasia ini kan? Ya? Ya, ya?” Maya mengedip-ngedipkan matanya cepat-cepat,mengeluarkan gaya imut sok lugunya ke arah Aruna.

Belum puas dengan membujuk Aruna, Maya pun beralih ke Dirga. “Lo juga kan, Dir? Lo diem aja yaa…” Tatapan matanya berubah jadi mata kucing yang menggemaskan.

Raka nggak mau kalah. Ia langsung menangkup wajahnya dengan kedua tangan, lalu mencondongkan kepala ke depan, tersenyum centil sambil bergaya manja. “Ehh, plis, Run–Dir,jaga rahasia kita ya. Nih, gue juga bisa imut tau.”ucap Raka masih mempertahankan wajah imutnya.

Aruna dan Dirga saling pandang sepersekian detik. Sama-sama menahan mual dengan melihat kedua wajah temannya itu.

Dirga bergidik geli “Udah, Run, cabut. Gue belum mandi. Bahaya kalo kena virus kealayan mereka.” Dirga langsung meraih tangan Aruna dan menyeretnya menjauh, seolah ada ancaman biologis yang nyata.

“JANGAN LUPA RAHASIAIN YAAA!” teriak Maya heboh, suaranya menggaung di parkiran .

Aruna mendengus, melempar lirikan malas sambil mengibaskan tangannya yang masih menggantung di udara. Dirga menahan tawa kecil, tapi wajahnya tetap tenang.

Sementara itu, Raka mencondongkan badan ke arah Maya, matanya tak lepas dari punggung Aruna dan Dirga yang makin menjauh. Suaranya dibuat pelan, tapi penuh nada menggoda.

“Kamu liat nggak? Mereka berdua tuh udah kayak suami istri. Liat deh, Aruna bawain baju ganti, dan Dirga? Jelas banget itu muka orang baru bangun tidur.Kayak...Mereka tinggal satu rumah gitu. ”

Maya mendengus, lalu mendorong dada Raka ringan. “Dari dulu sih mereka udah mesra. Tapi hari ini… hmm, emang agak beda sih.” Ia berdecak, bibirnya merengut gemas.

Raka melirik Maya, sudut bibirnya terangkat nakal. “Atau jangan-jangan mereka emang diem-diem ada sesuatu, cuma belum mau ngaku?”

Mata Maya membesar, sejenak terdiam, lalu cepat-cepat mengibaskan tangan. “Ah, nggak mungkin. Aruna pasti cerita ke aku kalo ada apa-apa.” Tapi suaranya terdengar lebih seperti membujuk diri sendiri.

“Hmm…” Raka mengangguk-angguk pura-pura serius. “Tapi, kalau mereka emang nggak ada apa-apa, ya tinggal kita bikin ada. Gimana sayang?”ucap Raka memberi ide gila.

Maya spontan terkekeh, menutup mulut dengan telapak tangan. “Kamu gila .Kenapa tiba - tiba mau jadi mak comblang sekarang?”ucap Maya menutup mulutnya.

“Ya nggak gila dong. Biar couple romantis di rumah sakit ini nambah satu lagi. Lucu kan kalo ada dua pasangan? Kita… sama mereka.” Raka menyengir, masuk ke mobil sambil masih melirik sekilas ke arah yang ditinggalkan Aruna dan Dirga.

Maya ikut masuk, masih setengah tertawa, setengah berpikir. “Iya, iya… kayaknya seru juga sih. . Tapi caranya gimana sayang?”

Raka menyalakan mesin mobil, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Maya. “Itu gampang. Kita pikirin nanti. Sekarang…” Senyumnya melebar nakal. “…kita lanjutin momen yang tadi sempat ketunda.”

Maya pura-pura memukul lengannya, tapi tawanya pecah juga. Mobil mereka melaju pelan meninggalkan parkiran, meninggalkan ide jahil yang mulai bertunas di kepala keduanya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Ruang poli terasa tenang, hanya suara detik jam yang sesekali terdengar. Seorang siswi SMA duduk di hadapan Dirga, tubuhnya meringkuk di kursi, tatapannya sayu seperti kehilangan arah.

“Nama saya Nisa, Dok,” ucapnya lirih, hampir bergetar.

Dirga menatapnya penuh perhatian, membuka catatan medis di tangannya. “Baik, Nisa. Bisa ceritakan apa yang paling mengganggu belakangan ini?”

Nisa menarik napas pendek. Tangannya saling meremas di pangkuan. “Sejak orang tua saya pisah, rasanya… rumah itu bukan rumah lagi. Tiap pulang, saya cuma kepikiran pertengkaran mereka. Saya nggak bisa fokus belajar, nilai saya turun, dan… sering banget saya kepikiran buat kabur aja dari rumah. Tapi… nggak tau harus ke mana.”

Aruna yang duduk di samping Dirga langsung menegang. Kata-kata itu menusuk, seolah menggali ulang luka yang sudah lama ia kubur.

Pertengkaran di rumahnya dulu masih begitu jelas di ingatan. Suara pecahan piring, jeritan bundanya, dentuman pintu—semua memukul kepalanya malam itu. Aruna berlari masuk kamar, matanya sembab, lalu dengan tangan gemetar ia memasukkan pakaian ke dalam tas. Ia tidak tahan lagi. Tidak ada tempat aman. Tidak ada rumah untuk pulang.

Pintu depan terbanting keras saat ia kabur. Udara malam menggigit kulitnya, tapi rasa sakit di dada lebih menusuk daripada dingin itu.

“Runa!” suara itu terdengar dari arah pagar. Dirga.

Pemuda itu berdiri dengan kaos seadanya, wajahnya cemas. Ia tahu—tentu saja ia tahu, karena rumah mereka bersebelahan, dan pertengkaran itu terlalu keras untuk tidak terdengar.

“Lo mau ke mana?” tanyanya dengan nada pelan tapi tegas.

Aruna menggeleng, matanya berair. “Gue… gue nggak mau tinggal di sana lagi, Ga.”

Dirga melangkah mendekat, meraih tas di tangan Aruna sebelum ia sempat menolak. “Kalau gitu gue cariin tempat buat lo. Lo nggak bisa keluyuran gini. Malam udah larut.”

Ia menggandeng tangan Aruna tanpa banyak kata, membawanya menyusuri jalan desa yang sepi. Hingga akhirnya, mereka tiba di sebuah kosan kecil untuk perempuan dekat sekolah. Dirga berbicara dengan ibu kos, memastikan Aruna diterima. Malam itu, untuk pertama kalinya, Aruna bisa tidur di tempat yang tidak dipenuhi teriakan dan bentakan.

Dirga tidak banyak bicara. Ia hanya duduk di teras kos, menunggu sampai Aruna benar-benar masuk kamar, lalu berkata pelan, “Lo nggak sendiri, Run. Tidur lah. Tubuh lo butuh istirahat. Lo harus bertahan.”

Kilasan itu berkelebat singkat, lalu kembali memudar ketika suara Dirga di ruang poli menarik perhatian Aruna kembali ke masa kini.

Dirga mengangguk perlahan, suaranya tenang, profesional, namun hangat.

“Baik, Nisa. Dari cerita kamu, ini sesuai dengan adjustment disorder, atau gangguan penyesuaian. Itu wajar terjadi ketika ada perubahan besar di dalam keluarga, apalagi perceraian orang tua. Reaksi emosional seperti cemas, sedih, marah, atau merasa tersesat adalah bagian dari proses itu.”

Nisa menunduk, matanya memerah. “Jadi saya… nggak gila, Dok?”

Dirga menggeleng lembut. “Tentu saja tidak. Kamu waras, Nisa. Kamu hanya sedang berusaha menyesuaikan diri dengan situasi baru yang berat. Yang perlu dilakukan sekarang adalah memastikan rasa sakit ini tidak menelan seluruh hidupmu.”

Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, tatapannya penuh keyakinan.

“Mulailah dengan hal kecil. Jangan menutup diri. Carilah orang yang bisa kamu percaya untuk mendengarkanmu. Fokus pada hal-hal yang membuatmu merasa aman. Kalau tidak ada di rumah, bisa di sekolah, di kegiatan, atau bahkan sekadar menulis di buku harian. Dan yang paling penting—ingat, kondisi ini tidak akan bertahan selamanya. Luka memang butuh waktu untuk sembuh, tapi tetap bisa pulih.”

Nisa terdiam lama, lalu mengangguk pelan. Ada sedikit cahaya lega di wajahnya. Setelah menyelesaikan catatan medis dan memberikan arahan sederhana, Dirga mempersilakan Nisa untuk pulang.

Begitu pintu tertutup, Dirga membuka lacinya. Dari sana ia mengeluarkan sebuah diari kecil berwarna cokelat lembut. Ia menatap Aruna, lalu menyerahkannya.

“Tolong berikan ini padanya. Lo pasti lebih ngerti rasanya.”

Aruna menerima diari itu, hatinya berdesir. Ia tahu betul maksud Dirga—hanya orang yang pernah berada di posisi Nisa yang bisa benar-benar menyentuh perasaannya. Dengan langkah cepat ia keluar, menyusul Nisa yang tengah berjalan pelan di lorong.

“Nisa,” panggilnya lembut.

Gadis itu berhenti. Aruna meraih tangannya, lalu menyodorkan diari kecil itu.

“Kamu bisa limpahkan semua rasa sakit yang nggak bisa kamu ucapkan di sini. Tulis apa pun, bahkan hal-hal yang menurutmu sepele. Dengan menulis, kamu memberi ruang bagi dirimu sendiri untuk bernapas.”

Nisa menatap diary itu ragu. “Tapi… apa benar bisa membantu?”

Aruna tersenyum lembut, matanya berkaca-kaca, seolah berbicara pada dirinya sendiri di masa lalu. “Aku pernah merasa sama persis sepertimu. Rasanya hancur, ingin lari, nggak tahu harus bagaimana. Tapi aku belajar—menyimpan semua luka di kepala cuma bikin kita makin sesak. Begitu ditulis, ada sebagian beban yang ikut terangkat. Ini bukan akhir, Nisa. Kamu masih bisa menyusun lagi hidupmu, sedikit demi sedikit.”

Air mata Nisa jatuh, tapi kali ini bukan karena putus asa. Ada rasa lega yang mulai lahir. Ia memeluk diary itu erat, seakan menemukan teman baru yang bisa menampung semua keluh kesahnya.

“Terima kasih, Kak…”

Aruna mengusap bahunya lembut. “Kamu nggak salah, dan kamu nggak sendiri. Jangan takut untuk terus berjuang, ya.”

Nisa mengangguk pelan, senyumnya tipis namun nyata,sebuah tanda kecil bahwa ia mulai percaya, luka memang bisa pulih meski butuh waktu.

Nisa pun beranjak pergi dengan langkah lebih ringan, meninggalkan koridor poli yang perlahan kembali sunyi.

Aruna masih berdiri sejenak, memastikan Nisa benar-benar baik-baik saja sebelum akhirnya kembali masuk ke ruang Dirga. Ia membuka pintu perlahan, tapi tidak langsung bicara.

Di dalam, Dirga duduk bersandar di kursinya, menutup berkas dengan gerakan pelan. Pandangannya kosong menatap meja, bibirnya terangkat tipis, getir. Gumam lirih lolos begitu saja dari mulutnya.

“Barusan Gue seperti menasihati diri sendiri…”

Aruna tertegun di ambang pintu. Ia tak sengaja mendengar jelas kalimat itu.

"Maksud lo ga?. " ucap Aruna yang membuat Dirga langsung mendongak dan beradu tatap dengan Aruna.

.

.

.

Bersambung.

wah wah wah kira kira Dirga bakal cerita masa lalunya ke Aruna nggak yaa???.

Menurut kalian gimana nih guys☺

Jangan lupa like 👍🏿komen😍 and subscribe❤ yaaa....jejak apapun dari kalian sangat berarti untuk ku🥰

1
vj'z tri
🤣🤣🤣🤣🤣🤣 para ibu suri datang 🎉🎉🎉🎉🎉siap siap ada gebrakan ap lagi
vj'z tri
semua terserah padamu aku begini adanya ku hormati keputusanmu apapun yang akan kau katakan aselole🤣🤣🤣🤣🤣
vj'z tri
😏😏😏😏 langsung berubah tuh muka liat yang bening 🤣🤣🤣🤣🤣🤣
vj'z tri
biasa ajj bro gak sah 👆👆👆👆 tak gigit jari mu 😏😏😏
vj'z tri
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣 belum lama di sebut dah nongol ajj dr.salma
vj'z tri
🤔🤔🤔🤔🤔🤔 ada yang di sembunyikan aruna
vj'z tri
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣 sesuai prediksi BMKG tepat sasaran
vj'z tri
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣 wes toh kalau penguasa bumi sudah bertindak yang lain lewat sen kanan belok kiri
Kutipan Halu: ngk bisa ngelawan yaa kak🤣
total 1 replies
vj'z tri
masa iya drama nya langsung ketawan 🤣🤣🤣
Kutipan Halu: emaknya punya 1001 cara tapi anaknya punya 1002 cara dong biar ngk ketauan😁
total 1 replies
vj'z tri
woi bukan bercanda ga ,pak dokter pie sih 😮‍💨😮‍💨😮‍💨
Kutipan Halu: tolong di luruskan kak🤣
total 1 replies
vj'z tri
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣 lah kok baru buka langsung di ajak ngakak berjamaah toh ini
Kutipan Halu: wkwkwk buat mengawali hari yg indah ini kak😁
total 1 replies
vj'z tri
sah 🎉🎉🎉🎉🎉🎉🎉
vj'z tri
setelah berjuang menyelesaikan bertumpuk tumpuk kerjaan bisa tengok kemari 🤩🤩🤩🤩 warga baru melapor 🤭🤭🤭
kalea rizuky
abis ne nangis darah lu dir klo Aruna ada yg naksir
Kutipan Halu: wkwkwk jangan yaa kak yaa jangan sampai enggk maksudnya😁😁
total 1 replies
ig:@kekeutami2829
kl smlm emng bneran g kbayang malunya gimana. gue keramas pagi aja suka malu sendiri /Sob/
kalea rizuky
lanjut donk
Kutipan Halu: oke kak, tungguin terus ya kakak kesruan dari Aruna dan Dirga☺☺
total 1 replies
kalea rizuky
calon pelakor nih
Kutipan Halu: Aduh semoga aja nggak ya kak😁
total 1 replies
ig:@kekeutami2829
ga ada bgituan run /Facepalm/
Kutipan Halu: wkwkkw
total 1 replies
ig:@kekeutami2829
bisa2nya pak dokter 😆
Kutipan Halu: maklum kak biasanya ngafalin resep tiba2 ngafalin ijab kabul 🤣
total 2 replies
Lonafx
halo kak, izin mampir..

baru bab awal udah disambut ijab kabul aja 😁 selamat ya atas pernikahannya Aruna dan Dirga
Kutipan Halu: iyaa kak doakan semoga SAMAWA😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!