Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab- 12 Jejak yang tertinggal
Malam turun perlahan, menelan rumah tua di pinggir hutan ke dalam gelap. Hanya lampu minyak kecil di atas meja reyot yang memberi cahaya temaram.
Revan duduk di kursi kayu yang berdecit, menajamkan telinga, memastikan tak ada suara mencurigakan dari luar. Mauryn meringkuk di sudut ruangan, kedua lututnya dipeluk erat seakan itu satu-satunya cara menjaga dirinya tetap utuh.
“Untuk sementara… tempat ini cukup aman.”
Revan menoleh, nada suaranya rendah, hati-hati.
Mauryn hanya menatapnya sebentar lalu kembali menunduk. Jari-jarinya gemetar, meski ia berusaha menyembunyikannya.
“Kau masih mendengar mereka?” tanya Revan, mencoba membuka percakapan.
Mauryn mengangguk tanpa mengangkat kepala.
“Suara mereka masih terngiang. Ketakutan, kemarahan, obsesi… semua bercampur jadi satu. Rasanya kepalaku mau pecah.”
Revan bangkit, menuangkan air ke gelas, lalu berjalan mendekat.
“Minumlah. Air bisa sedikit menenangkan.”
Ia menerima gelas itu, namun tangannya terlalu gemetar. Air hampir tumpah. Revan refleks menahan tangannya, membuat jarak mereka begitu dekat.
“Lihat aku,” bisik Revan.
Mauryn mengangkat wajah. Mata mereka bertemu. Ada ketegasan dalam sorot mata Revan, sekaligus ketulusan yang membuat dada Mauryn bergetar.
“Kau tidak sendiri,” ujar Revan.
“Apa pun yang kau dengar, apa pun yang mereka inginkan darimu, aku ada di sini.”
Hening beberapa saat. Mauryn menatapnya lebih lama dari yang ia sadari. Lalu ia menurunkan pandangan dan menarik tangannya pelan.
“Sejak kecil aku terbiasa sendiri,” katanya lirih.
“Orang-orang menjauhiku, menyebutku kutukan. Mereka tidak pernah benar-benar melihatku.. hanya ketakutan pada sesuatu yang tidak mereka pahami.”
Revan duduk di lantai di hadapannya, menatapnya serius.
“Tapi ada seseorang yang melihatmu, bukan? Kamu tadi seperti ingin menyebutnya.”
Mauryn terdiam. Dadanya naik turun. Bibirnya bergerak, namun kata-kata tertahan.
“Ayahku,” akhirnya keluar juga suara itu.
Revan tidak bereaksi berlebihan. Ia hanya menunggu, memberi ruang bagi Mauryn untuk melanjutkan.
“Ayahku satu-satunya yang percaya padaku. Saat semua orang menjauh, dia yang selalu bilang aku tidak salah lahir. Dia sering bilang… mungkin suaramu adalah anugerah yang suatu hari bisa menyelamatkan orang lain.” Mauryn tersenyum tipis, pahit.
“Tapi lalu dia menghilang.”
Revan menyipitkan mata.
“Menghilang?”
Mauryn mengangguk, menahan air mata.
“Aku baru sembilan tahun. Suatu pagi dia pergi bekerja, dan tidak pernah kembali. Tidak ada pesan, tidak ada jejak. Semua orang bilang dia meninggalkan kami karena malu punya anak sepertiku.”
Revan menunduk.
“Dan kamu percaya?”
“Tidak.” Mauryn menggeleng kuat.
“Aku tahu ayahku bukan seperti itu. Dia tidak akan meninggalkanku begitu saja. Aku yakin… ada alasan yang lebih besar.”
Revan diam cukup lama, lalu bertanya hati-hati
“Apa kamu tahu… alasan itu apa?”
Mauryn menggigit bibir.
“Beberapa waktu terakhir, setiap kali aku mendengar suara hati orang-orang yang mengejarku, ada satu nama yang muncul. ‘Darian’ .” Ia berhenti, menatap Revan penuh makna.
“Itu nama ayahku.”
Revan menegang, namun cepat menyembunyikannya.
“Mungkin hanya kebetulan.”
“Tidak.” Suara Mauryn tegas, penuh keyakinan.
“Tidak mungkin kebetulan. Mereka mengenalnya. Mereka tahu siapa dia. Dan karena itu mereka juga menginginkanku.”
Revan terdiam. Sorot matanya mengeras, tapi ia menunduk agar Mauryn tidak membaca terlalu jauh. Namun ia lupa: Mauryn tak butuh mata untuk tahu isi hatinya.
“Kamu tahu sesuatu, Revan,” tuduh Mauryn pelan.
Revan menatapnya, kaget.
“Apa maksudmu?”
“Aku bisa mendengar detak ragu di hatimu. Ada sesuatu yang ingin kau sembunyikan dariku.”
Mauryn maju sedikit, suaranya bergetar.
“Katakan padaku… apa yang kau tahu tentang ayahku?”
Revan menarik napas panjang.
“Mauryn…”
“Katakan!” Suara Mauryn meninggi, matanya berkaca-kaca.
“Jangan berbohong padaku. Aku sudah cukup dikejar bayangan. Aku butuh kebenaran, meski menyakitkan.”
Revan mengepalkan tangannya. Ia menahan kata-kata yang nyaris meluncur. Ia ingin melindunginya, tapi setiap kali melihat sorot mata Mauryn, ia tahu: gadis itu tidak butuh perlindungan dari kebenaran. Ia butuh keberanian untuk menghadapinya.
“Aku tidak tahu banyak,” akhirnya Revan berkata, suara rendah.
“Hanya… aku pernah mendengar nama itu. Darian. Dari orang-orang yang mengejarku sebelum aku bertemu denganmu. Mereka menyebutnya dengan hormat, seakan dia pernah menjadi seseorang yang penting bagi mereka.”
Mauryn terhenyak.
“Jadi benar… ayahku bagian dari mereka?”
“Aku tidak bilang begitu,” Revan cepat menimpali.
“Bisa saja dia melawan mereka. Bisa saja dia menghilang justru karena tidak ingin kamu terseret.”
Mauryn terdiam, wajahnya pucat.
“Atau… mungkin dia memilih mereka daripada aku.”
“Jangan katakan begitu.” Revan mendekat, menatapnya dalam.
“Kamu tidak tahu kebenarannya. Dan sampai kita tahu, jangan menyiksa dirimu dengan kemungkinan terburuk.”
Mauryn memejamkan mata, air mata jatuh.
“Aku hanya ingin mendengarnya sendiri… dari hatinya. Jika dia masih hidup, aku ingin tahu apakah aku masih berarti baginya, atau tidak.”
Revan mengulurkan tangan, menghapus air matanya dengan hati-hati.
“Dan kamu akan mendapat jawabannya. Aku janji. Kita akan menemukan dia.”
Mauryn menatap Revan, suaranya bergetar.
“Kenapa kamu begitu yakin membantuku? Apa yang membuatmu rela ikut terseret sejauh ini?”
Revan terdiam sejenak.
“Mungkin… karena aku tahu rasanya kehilangan sesuatu yang seharusnya tak pernah hilang. Dan aku tidak ingin kamu merasakan sendirian apa yang pernah kualami.”
Keheningan melingkupi ruangan. Hanya detak jantung keduanya yang terasa, beradu dalam jarak yang semakin dekat.
Namun tiba-tiba, suara keras terdengar dari luar ranting patah, diikuti langkah tergesa.
Mauryn terlonjak.
“Mereka menemukan kita?”
Revan segera berdiri, meraih pisau yang terselip di ikat pinggang.
“Diam di sini.”
Ia mematikan lampu minyak, ruangan tenggelam dalam gelap. Mauryn merapat ke dinding, jantungnya berdebar kencang. Ia bisa merasakan aura asing mendekat, entah manusia atau hanya hewan.
“Mereka tidak akan menyerah,” bisik Mauryn dengan suara nyaris tak terdengar.
Revan berjongkok di samping jendela, mengintip keluar. Matanya tajam menembus gelap.
“Kalau benar mereka, kita harus siap bergerak lagi.”
Mauryn menggenggam tangannya erat.
“Kalau begitu… jangan lepaskan aku. Apa pun yang terjadi, jangan tinggalkan aku.”
Revan menoleh, menatapnya dalam kegelapan. Ia meremas balik tangan Mauryn, tegas, penuh janji.
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Dan untuk pertama kalinya malam itu, Mauryn percaya tidak peduli apa pun yang menunggu mereka di luar sana, ia tidak lagi sendirian.
Bersambung..
Bantu suport yah teman-teman 🙌🏻