(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perdebatan Michelle dengan pelayan
Michelle dan Ellery duduk di pojok kafe milik mama Ellery, dikelilingi oleh tumpukan buku dan catatan. Ellery yang sudah hampir kehilangan kesabarannya, suaranya meninggi, "Kau kenapa, hah!? Dua jam aku mengajarimu, tapi belum satupun kau mengerti! Serius, Michelle?!"
Michelle menatap Ellery dengan mata datar, tanpa emosi sedikit pun. Suaranya datar dan dingin, “Sudah kubilang, percuma kau mengajariku. Otakku tidak bisa sampai ke sana.”
Ellery menggertakkan gigi, nafasnya memburu, “Kau sengaja menyulitkan aku, kan?”
Michelle menghembuskan napas panjang, berdiri dengan tenang. Matanya tajam, menusuk. “Bukan begitu, El... Kau tidak akan pernah mengerti apa yang aku alami. Jadi, lakukan saja tugasmu—ajar aku. Bisa atau tidak, itu urusanku dengan Bu Mega. Aku yang akan bilang padanya bahwa kau sudah mengajariku, tapi aku tetap tidak mampu.”
Ellery membeku. Matanya membulat, wajahnya tak lagi bisa membaca isi hati Michelle. Otaknya berputar liar, mencoba mengurai teka-teki di balik kata-kata dingin itu.
“Tapi tetap saja itu…” suara Ellery terhenti.
“Sudahlah, El. Serahkan semuanya padaku. Kau pasti akan mendapatkan nilaimu. Aku tidak ingin berdebat lagi sekarang,” ujar Michelle tegas sambil memasukkan beberapa bukunya sebelum melangkah pergi.
Namun, langkahnya terhenti ketika seorang wanita paruh baya muncul, tersenyum lembut menatapnya. “Sudah mau pulang?” tanya Mama Ellery dengan hangat.
Michelle segera membalas dengan senyum ramah yang terkesan dipaksakan. “Saya sudah selesai, Tante. Ingin segera kembali,” jawabnya sopan.
“Kenapa terburu-buru? Mari, makan siang dulu. Tante sudah siapkan makanan untuk kalian. Jangan sampai menolaknya!” goda Mama Ellery dengan mata yang bersinar penuh kasih sayang.
Michelle melirik ke arah Ellery, tapi gadis itu hanya membalas pandangannya dengan ekspresi datar, tak menunjukkan keberpihakan maupun penolakan.
“Maaf merepotkan, Tante,” ucap Michelle pelan.
“Tidak sama sekali. Kau justru membuat hari Tante lebih cerah, karena ini pertama kali Ellery duduk bersama teman perempuan,” balas Mama Ellery penuh kehangatan, kemudian menatap lembut pada putrinya. “Sayang, ajak temanmu masuk ke ruang istirahat, ya,”
“Baik, Ma,”
Ellery melangkah ke arah Michelle dengan nada dingin, "Ayo!"
Michelle menarik napas dalam, mencoba menahan rasa nyeri. "El, aku... aku harus ke toilet dulu," Ia teringat waktu memompa ASI yang tak boleh terlewat.
Ellery hanya mengangguk dingin tanpa berkata banyak. "Masuk saja ke ruang pojok di lantai dua,"
Michelle mengangguk, langkahnya tergesa-gesa menembus lorong koridor. Dadanya seperti ditarik dan nyeri. Begitu tiba di toilet, ia segera masuk ke bilik, membuka baju dan bra dengan tangan gemetar, mulai memompa ASI sekuat tenaga.
Ia menatap botol kecil di tangannya, yang kini mulai terisi perlahan. "Asi-ku… semua ini terbuang sia-sia," gumamnya lirih. "Seandainya ada bayi di sisiku, mungkin aku akan memberi kepadanya, membantu nyawa kecil yang rapuh itu…"
Dengan berat hati, Michelle menekan tombol kloset, membuang cairan itu ke dalam lubang dingin. Matanya kembali tertuju pada dadanya yang bengkak dan pegal.
Semakin hari, tubuh Michelle terasa aneh. "Kenapa p*y*dara-ku semakin membesar, padahal tak seorang pun pernah menyentuhnya, kecuali benda ini..." gumamnya lirih sambil merapikan kembali bra yang menahan dadanya.
.
.
Saat pulang, langkahnya terasa lebih berat; tenaganya terkuras habis. Di dalam mansion megah itu, Michelle melewati lorong panjang yang sunyi, balasan senyumnya kepada para pelayan terpaksa dipaksakan—meski dia tahu, di balik kesopanan itu, ada tatapan dingin yang menyimpang dari beberapa dari mereka.
Ketika seorang pelayan perempuan keluar dari sebuah ruangan terlarang—ruang yang hanya boleh dimasuki Alfred dan petugas kebersihan—penasaran Michelle membuncah. Langkahnya tak bisa menahan diri mendekat. “Bolehkah aku bertanya?”
Pelayan itu menatap Michelle dengan mata penuh kebencian, bibirnya melengkung sinis seolah memancarkan api dingin dari hatinya. "Silahkan," ucapnya dingin.
Michelle menghembuskan nafas panjang, tak terima disikapi seperti itu. "Siapa sebenarnya pemilik kamar ini?" tanyanya tajam, mencoba menahan amarah yang mulai membakar dadanya.
Seketika, pelayan itu tersenyum miring penuh sindiran, kedua tangannya disilangkan di dada. "Asal kau tahu, kamar ini milik Nyonya Elena, kekasih Tuan," katanya pelan, tapi penuh racun.
"Dulu, Tuan Alfred memanjakan Nyonya Elena seperti ratu, apa pun keinginannya selalu dituruti. Aku adalah saksi mata betapa dalamnya cinta Tuan pada Nyonya Elena." Matanya menyorot tajam menantang Michelle.
"Jadi, jangan terlalu percaya diri menggantikan posisi Nyonya Elena. Kau? Hanya istri pengganti yang sementara. Begitu Nyonya Elena kembali, kau akan terbuang tanpa ampun."
Perkataan itu menusuk hati Michelle, tanpa dia mengerti kenapa perihnya begitu dalam. Padahal ia memang hanyalah istri pengganti.
Tapi keberaniannya tak lantas luluh. "Dengar," balas Michelle dengan suara dingin yang penuh tantangan. "Aku tidak berniat merebut tempat kak Elena. Namun jangan pikir kau semudah itu melepaskan kata-kata non faedahmu itu."
"Kau boleh meremehkanku, tapi ingat—aku juga punya hak di sini." Michelle tahu, menjadi istri pengganti ini akan jauh lebih kejam daripada yang pernah ia bayangkan.
"Sebelum aku melangkah keluar dari rumah ini, kau harus ingat satu hal—aku adalah nyonya di sini sekarang! Jangan berani-beraninya meremehkan aku!" Suara Michelle membahana, matanya menyala tajam seperti bara api yang siap membakar siapa saja yang mencoba merendahkannya.
"Om Al saja tak pernah memandang rendah aku, meski aku hanya istri pengganti. Tapi kau? Hanya seorang pelayan—tidak pantas mengangkat kepala untuk menghina orang lain!"
Pelayan itu membeku, kaget dan tak percaya. Dia selama ini mengira Michelle hanya gadis lugu yang pasrah dan menerima hinaan begitu saja. Tapi ternyata, gadis di depannya mampu melayangkan kata-kata yang tajam dan menusuk.
“Kenapa? Kaget? Karena aku tidak sesuai dengan ekspektasimu? Kau yang hanya pelayan, sudah berani berlagak seolah-olah ratu? Kalau kau pikir begitu, apalagi nanti jadi seorang konglomerat, semua orang akan kau hina sampai porak poranda!” Michelle mencak-mencak dengan suara bergetar penuh amarah sebelum membalikkan tubuh dengan angkuh dan melangkah menuju kamar.
Roslina melihat perdebatan itu hanya bisa terkejut, ternyata istri tuannya tak mudah di tindas. Ia dengan dingin, suaranya menusuk saat memanggil, “Tiara!”
Roslina melangkah maju, matanya memancarkan kemarahan. “Kau benar-benar kurang ajar pada nyonya di rumah ini!”
“Dia cuma istri pengganti, Bu. Lebih baik Ny. Elena yang menjadi nyonya di sini,” kata Tiara dingin.
"Kau benar-benar dibutakan oleh Elena selama ini," suara Roslina bergetar penuh kemarahan dan kecewa. "Kau rela membela orang yang tega meninggalkan tuan—apa tak kau sadar betapa kejamnya pengkhianatan itu?" Matanya menyipit, penuh peringatan yang tajam seperti pisau.
"Hati-hati! Jangan sampai tuan tahu kelakuanmu. Ingat, dinding di rumah ini punya telinga. Setiap kata yang kau ucap bisa menjadi jurang yang menjeratmu!"