Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emosi Memuncak
Nana meremas tagihan pembayaran sebuah hotel. Marah pada Haris suaminya yang kembali berulah dengan wanita simpanan.
“Apa yang kaulakukan kemarin, Pih?”
“Bersenang-senang!” jawab Haris santai.
“Dengan teman kantormu itu?” tanya Nana emosi.
“Ha-ha-ha, kurasa Mami lebih tahu. Bukankah sudah menyewa orang untuk menyelidiki Papi?”
“Papi!! bagaimana bisa, kemarin Papi menolakku!” isak tangis Nana pecah.
“Cih, aku sudah bilang ‘kan, tanda tangani saja surat cerai!” Haris mengejek.
“Nggak mau, nggak akan kubiarkan kamu dan wanita liar itu bersama!”
“Hah, apa? Yang liar itu kamu. Berganti-ganti pasangan dengan banyak pria. Kamu pikir aku tak tahu sepak terjangmu?”
Nana tergagap, nanar memandang Haris. Hanya pria ini yang ia cintai, yang lainnya hanya sebatas memenuhi kebutuhan.
“Ta-tapi, kita kan sudah sepakat Pih. Lavender Marriage.”
Haris menarik napas, “Kalau sudah kesepakatan, kenapa kamu main dukun?”
“Hah, a-apa?” Nana terkejut Haris membahas hal ini.
“Sudahlah, nggak usah pura-pura. Aku pikir sudah cukup dengan membiarkanmu bersama mantanmu itu. Ternyata tak cukup satu, kamu masih cari berondong bayaran?”
“Bu-bukan I-itu ….”
Nana tak melanjutkan pembelaannya, yang dikatakan Haris semua benar. Dia memang bertindak sembrono, bebas tak terbendung. Ini akibat kemarahan menggelegak. Nana tak sanggup menguasai diri. Emosinya memuncak manakala tahu Haris dengan wanita lain dan Bram mengejar cinta istrinya. Kecemburuan Nana membuatnya buta hati, mata dan pikiran. Memakai sihir untuk memisahkan Haris dan wanita simpanannya sekaligus Bram dan istrinya.
Pada Haris sama sekali tak mempan. Sedangkan pada Bram kini pun mulai terkikis. Dimulai dari pulih istri Bram dari sakit yang berat. Semenjak itu, mantra bagai tak terkendali dan berbalik pada Nana. Haris dan Bram bertindak sesuka hati dan dua wanita yang dibencinya masih hidup juga bernapas.
“Kenapa mereka baik-baik saja?” gumam Nana merutuki nasib.
“Jangan ganggu pasanganku lagi, aku akan menceraikanmu , sebaiknya kamu setuju!”
“Pih!! Aku tak rela!”
“Apa yang buatmu tak rela? Kehilangan fasilitas sebagia istriku? Kamu takut miskin kalau bersama Bram?” sindir Haris penuh dendam.
Sifat Nana yang mau menang sendiri telah lama buatnya merasa muak. Di saat itulah ada seseorang sederhana yang membuatnya jatuh hati. Haris tak tahan dengan Nana yang obsesif, bermain sihir dan liar dengan banyak pria.
Jatuh cinta dengan teman kantor menjadi tak terelakkan karena manipulatif Nana yang mengatakan hanya membutuhkan harta Haris dan bukan orangnya. Haris menguping obrolan Nana dengan Bram di sebuah kafe tempat pertemuan mereka. Tanpa Nana dan Bram sadari. Haris murka lalu mengatur strategi. Mendatangi kaum spiritual untuk memberikannya tameng perlindungan. Kepekaan dalam dirinya yang terlatih sejak kecil membuatnya cepat tanggap bila Nana bekerja sama dengan dukun untuk menjadikan dirinya semacam boneka hidup pemuas nafsu yang bisa dikendalikan sesuka hati.
Haris lolos dari itu semua, tapi tidak dengan Bram yang haus validasi, mudah terhasut dan besar kepala. Haris tahu semuanya, juga hal yang menimpa Mala―istri Bram. Jujur, Haris tak tega dan sempat ingin menolong wanita itu. Sampai akhirnya ia mengirim seseorang mendatangi rumah sakit tempat Mala dirawat. Sosok pria tua yang diminta Haris mendatangi Mala adalah, guru spiritual Haris sendiri.
***
Nana mengamuk di mobil. Minta bertemu dengan Bram dan meluapkan kekesalannya pada Bram yang ia ketahui bermalam dengan wanita muda di sebuah hotel.
“Kamu bilang pulang ke istrimu, hah? Lalu apa ini?” Nana menyodorkan bukti foto di ponselnya.
“Kamu memata-matai?” tanya Bram polos. Lebih ke merasa heran kenapa bisa Nana membayar orang untuk mengawasinya.
“Ingat Bram, kamu harus bertindak atas izinku! Aku sudah memberikanmu banyak modal untuk materialmu, Heh!”
“Ugh, kenapa kamu ungkit itu sih, Na?"
“Biar kamu tahu siapa yang berkuasa di sini!”
Mata Nana liar menatap Bram. Menekan sebisa mungkin agar Bram tak berkutik.
Bram memiliki keanehan. Bukannya benci dia justru merasa senang diakui. Merasa diinginkan. Hal yang tak bisa Mala berikan. Ketegangan Bram mengendur, dia tersenyum. Bram mengira kecemburuan Nana berarti begitu mencintai Bram.
Tepat saat itu, Nana mengoleskan wewangian pada lehernya. Wangi yang membuat Bram terlarut dengan semua kata yang meluncur dari bibir Nana. Segala gerak -gerik Nana membangkitkan gairah Bram. Darahnya berdesir, tubuhnya bergejolak.
Seketika Bram merengkuh Nana penuh gairah. Dibalas Nana yang tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Tujuannya bukan lagi menyalurkan hasrat, melainkan menguasai tubuh seseorang sesuai dengan keinginannya. Tubuh dua orang itu melebur dalam desahan. Dua tubuh di mana yang satu mendapatkan validasi, dan satunya lagi mendapatkan objek jajahan. Tak kenal tempat, tak kenal waktu yang mereka pikirkan hanya hasrat menggebu. Masih di dalam mobil. Lagi-lagi tanpa mereka sadari, dari kejauhan ada sepasang mata mengawasi. Itu Haris yang semakin yakin untuk menceraikan Nana.
***
Awal perkenalan dengan Mandala tak bisa dilupakan Mala. Sampai di rumah, saat melangkahkan kaki ke dapar, Mala masih terngiang-ngiang suara Mandala.
Lantas suara Mua mengejutkannya. Menanyakan keberadaan Papahnya. Mala terkesiap. Mulai menyadari bagian kesalahannya.
Apa baru saja aku seperti Bram? Apa bedanya aku dengan Bram jika aku terkesan pada pertemuanku dengan pria lain?