NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:7.1k
Nilai: 5
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perdebatan sengit

Kereta kerajaan berhenti tepat di tengah alun-alun Belvoir yang telah dipenuhi warga setempat. Suara lonceng berdentang pelan, bunga-bunga kering khas Belvoir—lavende dan calendula—dilemparkan ke udara, membentuk hujan warna-warni yang menyambut kedatangan dua sosok agung dari ibu kota.

Maxime turun lebih dulu, tampak gagah dalam balutan mantel panjang berwarna gelap berhias bordir emas. Tatapan dinginnya menyapu kerumunan, tapi tak satupun yang luput dari kekaguman. Beberapa orang membungkuk dengan penuh hormat, sementara yang lain hanya berani menatap dari jauh.

Tak lama, Vanessa alias Vivienne muncul dari balik pintu kereta. Gaunnya berwarna keemasan lembut, dengan aksen cokelat tua yang senada dengan lambang kerajaan. Di bawah sinar matahari, gaun itu membingkai tubuh rampingnya dengan indah, membuatnya tampak seperti ratu dalam dongeng.

Sorakan warga semakin menggema.

Namun dari antara kerumunan, satu sosok berdiri sedikit lebih ke depan. Tinggi, gagah, dan membawa senyum yang tak bisa disembunyikan. Theo.

Mata pria itu langsung tertuju pada Vivienne. Ada keteduhan dan kebahagiaan yang begitu nyata terpancar di wajahnya. Ia melangkah maju, dengan langkah mantap namun penuh hormat, hingga akhirnya berdiri tepat di hadapan wanita yang sudah bertahun-tahun menghuni pikirannya.

Tanpa ragu, ia meraih tangan Vivienne.

“Yang Mulia,” ucapnya lirih, sebelum menunduk dan mengecup punggung tangan wanita itu dengan kelembutan yang hampir menyakitkan. “Akhirnya kau kembali… ke tempat yang mengenalmu sejak kau belum mengenal dunia.”

Vanessa membeku sesaat. Napasnya terhenti. Ada sesuatu dalam tatapan Theo—bukan hanya penghormatan. Tapi… kerinduan. Kelembutan. Dan kejujuran.

Siapa dia?

Vanessa tak tahu sama sekali tentang pria itu. Tatapan matanya sempat beralih pada Theo, penuh pertanyaan dan kebingungan yang disembunyikannya di balik senyum tenang. Ia tahu banyak tentang kehidupan Vivienne dari jiwa Vivienne yang asli dan pengalaman pribadinya selama ini, tapi… tidak pernah sekali pun nama Theo disebut. Tak ada petunjuk tentang keberadaannya.

Mengapa begitu dekat… dan begitu berani?

Dan lebih dari itu—mengapa ada rasa yang menyeruak di dadanya saat tatapan pria itu menelusuri wajahnya seolah telah mengenalnya lebih dalam dari siapapun?

Sementara itu, hanya beberapa langkah di belakang, Maxime berdiri kaku. Pandangannya tak bisa lepas dari tangan Theo yang masih menyentuh kulit Vivienne, dan lebih parahnya lagi—dari bibir pria itu yang sempat menyentuh punggung tangan sang Ratu. Sang istri.

Ketegangan menjalar naik ke rahang Maxime, membuat otot-ototnya menegang. Matanya menyipit tajam, bukan hanya karena kecemburuan yang begitu nyata, tapi karena ia tahu bahwa Theo bukan sekadar wali kota biasa. Pria itu cerdas, disegani, dan—jelas terlihat kini—menyimpan perasaan lama yang belum pernah padam untuk Vivienne.

“Lepaskan tangannya,” ucap Maxime datar, nyaris seperti gumaman, tapi cukup tegas hingga membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh.

Theo mengangkat wajahnya, tak tampak gentar sedikit pun. Ia hanya menatap Maxime, lalu perlahan melepaskan tangan Vivienne—dengan enggan yang tak tersembunyi.

“Maafkan aku, Yang Mulia,” katanya sopan. “Kebiasaan lama… kadang sulit dikendalikan saat rasa rindu terlanjur lama dipendam.”

Kalimat itu mengalir tenang, namun seperti anak panah yang meluncur tepat ke arah Maxime.

Vanessa mengerjapkan mata, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Suasana yang awalnya penuh sukacita kini terasa seperti medan yang siap meledak kapan saja.

Namun sebelum ketegangan itu pecah menjadi lebih dalam, sebuah suara lembut namun jelas memotong udara.

“Yang Mulia Kaisar, Yang Mulia Ratu—sungguh suatu kehormatan menyambut Anda di Belvoir.”

Dari arah sisi tangga, muncullah seorang wanita dengan gaun anggun warna zamrud yang berkilau halus di bawah cahaya pagi. Rambutnya disanggul rapi, dengan mahkota kecil khas bangsawan lokal bertengger di atas kepalanya. Tatapannya tenang, namun penuh pengamatan tajam yang tersembunyi di balik senyumannya.

“Lady Elowen Caelora,” bisik Theo pelan pada Vanessa. “Sepupuku.”

Elowen melangkah anggun menghampiri mereka, lalu membungkukkan badan dengan penuh sopan.

“Kami telah menyiapkan jamuan kecil untuk menyambut kedatangan Anda. Mohon izinkan kami mengantar Anda ke dalam dan memberikan sedikit kehangatan setelah perjalanan panjang ini.”

Vanessa tersenyum singkat, bersyukur atas kehadiran wanita itu yang berhasil mengalihkan perhatian semua orang. “Dengan senang hati.”

Maxime mengangguk sopan, tetapi sorot matanya masih belum sepenuhnya lepas dari Theo.

Dengan langkah anggun, Elowen pun memimpin jalan. Maxime dan Vanessa berjalan di belakangnya. Theo mengikuti, tapi tidak sebelum menatap punggung Vanessa sekali lagi.

——

Di dalam aula makan utama Istana Belvoir, langit-langit tinggi berhias lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan ke seluruh ruangan. Aroma rempah dan roti panggang memenuhi udara. Meja panjang dari kayu ek tua telah dihias dengan bunga herbal lokal dan deretan hidangan khas Belvoir—dari sup akar valerian, daging asap dibalut daun balm mint, hingga wine yang terbuat dari fermentasi madu dan elderflower.

Vanessa duduk di samping Maxime dan di seberangnya, Theo duduk tenang, sesekali meliriknya dengan tatapan yang terlalu dalam untuk sekadar basa-basi.

Lady Elowen duduk di ujung meja, memulai percakapan dengan suara tenangnya yang diplomatis.

“Yang Mulia, kami sangat menghargai kunjungan Anda ke distrik kami. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali Belvoir dikunjungi oleh keluarga kerajaan. Tapi sejak itu, banyak hal telah berkembang.”

Maxime mengangguk sambil menyesap wine-nya. “Dan aku ingin melihat semua perkembangan itu secara langsung. Belvoir adalah nadi medis bagi Aragon. Aku dengar beberapa jenis tanaman obat baru berhasil dikembangkan di sini?”

Theo mengangguk, memasukkan potongan daging ke piringnya sebelum menimpali, “Benar. Beberapa tabib muda menemukan metode baru menanam lunaria malam dengan hasil yang lebih stabil. Bahkan kami sedang bereksperimen dengan pengolahan serac bloom menjadi antibakteri yang dapat diawetkan.”

Vanessa yang semula hanya mendengarkan, kini mengangkat wajahnya. “Serac bloom? Bukankah bunga itu biasanya terlalu rapuh untuk dipanen dalam jumlah besar tanpa kehilangan khasiatnya?”

Mata Theo menyala, senang sekaligus kagum. “Tepat sekali. Hanya sedikit orang luar yang tahu soal itu. Kami menggunakan metode rendaman udara kering, lalu langsung disegel di bawah suhu rendah. Hasilnya masih dalam tahap uji klinis, tapi hasil awal sangat menjanjikan.”

Maxime melirik Vanessa dari samping, tidak berkata apa-apa, tapi terlihat mencatat dalam hati reaksi cepat dan tajam istrinya itu. Bahkan Lady Elowen memperhatikan dengan saksama, sebelum berkata lembut:

“Menarik… Sepertinya Yang Mulia Ratu memiliki pengetahuan yang cukup mendalam di bidang pengobatan.”

Vanessa menahan senyum. “Sedikit. Aku mulai mempelajari lebih banyak sejak… beberapa waktu belakangan.”

Tentu saja Vanessa tahu.

Ia bahkan pernah menulis laporan ilmiah sepanjang lima belas halaman tentang metode pelestarian zat aktif pada tanaman langka semasa kuliah kedokteran dulu. Serac bloom—yang di dunia modern dikenal sebagai salah satu bahan dasar dalam pembuatan antibiotik generasi baru—adalah subjek utama dalam penelitiannya saat itu. Ia ingat betul bagaimana ia menghabiskan malam-malam panjang di laboratorium, menguji stabilitas enzimnya dalam berbagai suhu.

Namun sekarang, ia duduk di kursi ratu, mengenakan gaun satin dan perhiasan emas, menyamar sebagai Vivienne—dan harus menutupi fakta bahwa pengetahuannya datang dari masa depan yang bahkan belum ditemukan oleh siapa pun di ruangan itu.

“Mulai mempelajari?” tanya Lady Elowen, matanya menyipit sedikit namun tetap anggun. “Apakah ada guru yang membantu Anda, Yang Mulia?”

Vanessa sempat terdiam.

Pertanyaan Lady Elowen sederhana—namun jebakannya sangat nyata. Jika ia menjawab terlalu teknis, mereka akan curiga. Jika ia mengaku tak tahu, maka semua yang ia katakan sebelumnya akan terdengar seperti karangan. Padahal, justru itu adalah bidang yang paling ia kuasai… di dunia yang berbeda.

Di bawah meja, tangannya mengepal pelan di atas gaun satin berwarna gading. Kepalanya sedikit tertunduk, seolah sedang mengingat sesuatu.

“Tidak ada guru pribadi,” jawabnya akhirnya, perlahan namun mantap. “Tapi aku berutang banyak pada asisten baruku, Lucien.”

Beberapa kepala mulai saling menoleh.

“Dia sangat rajin menyusun laporan harian tentang perkembangan distrik medis. Kadang aku membacanya… hanya karena bosan. Tapi lama-lama, aku justru tertarik. Banyak hal yang tak pernah kupedulikan sebelumnya ternyata sangat memengaruhi kerajaan secara keseluruhan.”

Ia mengangkat bahunya ringan, menyisipkan senyum tipis. “Tentu saja, aku juga banyak menghabiskan waktu di perpustakaan pribadi Kaisar. Rupanya, buku-buku itu tidak hanya berisi silsilah kerajaan dan strategi perang.”

Tawa ringan terdengar dari sebagian meja. Lady Elowen masih menatap Vanessa, namun ekspresinya mulai melunak.

“Lalu, apakah Yang Mulia sudah menemukan buku favorit?” tanya Elowen, lebih hangat kali ini.

Vanessa meneguk anggur pelan sebelum menjawab, “Ada satu… catatan tua dari Tabib Alana, tentang potensi mutasi tanaman herbal saat terkena sinar matahari langsung dalam waktu lama. Itu membuatku memandang proses pengeringan tanaman dengan cara yang berbeda.”

Beberapa tetua tampak mengangguk, cukup terkesan.

Maxime menatap gelas anggurnya sejenak, lalu kembali melirik ke arah Vanessa—atau Vivienne, sebagaimana semua orang menyebutnya.

Ada sesuatu yang berubah. Ia mengenalnya selama lima tahun sebagai wanita yang hanya sibuk dengan kosmetik, perhiasan, dan pesta dansa. Tapi wanita di hadapannya malam ini… memetik perhatian bukan dengan gaun atau kecantikan semata, melainkan dengan wawasannya, dengan ketenangannya, dan dengan kecerdasan yang tidak pernah ia sangka dimiliki Vivienne.

Diam-diam, Maxime merasakan suatu tarikan yang tak bisa ia jelaskan. Sebuah rasa kagum… dan sedikit keraguan, karena wanita itu kini seperti teka-teki yang tak bisa ia pecahkan.

“Luar biasa,” ujar Theo tiba-tiba dari ujung meja, senyum hangat tersungging di bibirnya. “Aku tak menyangka kau akan begitu fasih membicarakan topik yang dulu bahkan tidak pernah menarik minatmu, Vivienne.”

Suara pria itu begitu tulus, nyaris kekanakkan. Ia mencondongkan tubuh ke arah Vanessa tanpa menyadari bahwa tindakannya mulai menarik perhatian.

“Apakah itu berarti… kita akhirnya bisa berdiskusi panjang tentang racikan herbal favoritku seperti dulu waktu kecil?” Theo tertawa pelan, tatapannya tak lepas dari wanita di hadapannya. “Kau bahkan pernah mengatakan bau daun mirvia membuatmu ingin muntah.”

Vanessa terkekeh ringan, berusaha menjaga sikap meski jelas tak tahu apa yang Theo maksud. “Mungkin selera penciumanku sudah berkembang sejak itu.”

Tawa pecah dari beberapa tamu undangan, termasuk Lady Elowen yang tampak menikmati percakapan mereka.

Tapi tidak dengan Maxime.

Mata birunya menajam, meski mulutnya tetap tersenyum tipis. Ia meneguk anggurnya perlahan, tapi jemarinya mencengkeram batang gelas sedikit lebih kencang dari biasanya.

Theo terus saja memuji. “Aku sungguh terkesan, Vivienne. Kau jauh lebih bercahaya dari apa pun yang kuingat tentangmu.”

Vanessa menanggapinya dengan sopan, tapi Maxime tahu: pria itu berbicara bukan hanya sebagai wali kota—tapi sebagai lelaki yang tengah merangkai pujian kepada seorang wanita yang dulu ia cintai, dan mungkin… masih.

Diam-diam, Maxime menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menyilangkan kaki, lalu melirik Vanessa dari sudut matanya.

“Aku rasa,” ucap Maxime dengan nada datar namun tajam, “pembahasan tentang masa kecil bisa ditahan. Kita berada di jamuan resmi, bukan reuni keluarga.”

Suasana meja makan langsung terasa mengerut.

Theo sedikit terkejut, tubuhnya menegang sejenak. “Tentu, Yang Mulia. Aku tidak bermaksud—”

Maxime mengangkat tangan, memotong dengan tenang. “Aku tahu kau hanya bernostalgia. Tapi perlu diingat, Vivienne bukan lagi anak kecil yang suka berlari di ladang herbal bersama teman-teman kecilnya.” Tatapannya menusuk, kini tak lagi hanya diarahkan pada Theo, tapi juga pada Vanessa. “Dia adalah Permaisuri Kerajaan Aragon. Dan pujian berlebihan, terlebih dari seorang pria lajang, bisa dengan mudah disalahartikan.”

Theo terdiam. Senyumnya memudar perlahan, digantikan dengan anggukan sopan. “Tentu. Maafkan kelancanganku, Yang Mulia.”

Vanessa menoleh pelan ke arah Maxime, menatap pria itu dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia tak mengerti kenapa Maxime tiba-tiba bersikap seperti itu—keras, penuh batasan, dan seolah tak bisa menerima sepotong pujian untuk istrinya dari seorang teman lama.

Padahal tak ada yang berlebihan dalam cara Theo memujinya.

Diam-diam, di bawah meja panjang yang dihiasi taplak sulaman emas, Vanessa menyenggol kaki Maxime. Laki-laki itu menoleh sekilas, hanya sekedip, tapi cukup untuk menangkap ekspresi penuh tanda tanya dari istrinya.

‘Kau kenapa?’ tanya sorot mata Vanessa seolah bicara tanpa suara.

Namun Maxime hanya kembali memalingkan wajah. Tak menjawab. Tak menjelaskan. Tatapannya tetap terarah ke gelas anggurnya, seolah percakapan tadi tak pernah terjadi.

Vanessa mendesah pelan, menyandarkan diri ke kursinya tanpa suara, dan menatap nanar ke depan. Ia mulai bisa mengenali pola Maxime—diam jika merasa terganggu, menyimpan segalanya di balik kontrol dan ekspresi datar.

Keheningan nyaris menyelimuti ruangan jika saja Lady Elowen tak segera mencairkannya dengan suara lembut dan nada hangat yang terlatih.

Keheningan nyaris menyelimuti ruangan jika saja Lady Elowen tak segera mencairkannya dengan suara lembut dan nada hangat yang terlatih.

“Sepertinya…” katanya sambil tersenyum lebar kepada pasangan di hadapannya, “hubungan Yang Mulia Kaisar dan Ratu mulai membaik ya?”

Beberapa bangsawan yang hadir ikut mengangguk setuju, bahkan menyunggingkan senyum kecil penuh harapan.

Lady Elowen melanjutkan dengan nada sedikit lebih hangat, namun tetap hati-hati, “Kami semua tentu senang melihat keharmonisan ini. Rakyat Aragon, khususnya kami di wilayah timur, telah lama menantikan… kabar yang lebih menggembirakan.” Ia menatap Maxime lalu Vanessa secara bergantian. “Sebuah harapan akan lahirnya generasi baru pewaris kerajaan.”

Ucapan itu seketika membuat Vanessa menegang di kursinya. Ia nyaris tersedak anggur yang baru saja ia minum, namun berhasil menahannya dengan anggun. Tatapannya perlahan melirik ke arah Maxime, yang masih duduk tenang di sisinya.

Pria itu tak langsung menjawab, namun senyum samar terukir di sudut bibirnya—tak sepenuhnya ramah, namun cukup untuk membuat dada Vanessa bergemuruh tanpa sebab yang jelas.

“Kami akan segera mewujudkannya,” ujar Maxime akhirnya, suaranya rendah namun terdengar jelas di seluruh meja.

Kalimat yang ambigu, tapi cukup untuk membuat seisi ruangan tersenyum—dan membuat Vanessa ingin segera menghilang ke balik tirai beludru paling tebal yang bisa ia temukan.

——

Langit malam Belvoir dipenuhi awan gelap yang menggantung rendah. Sementara itu, di dalam ruang kerja pribadi wali kota, suasana justru terasa lebih dingin dibandingkan udara luar. Dinding kayu mahoni, rak buku yang menjulang, dan aroma herbal kering yang samar-samar menguar dari pojok ruangan memberikan kesan tenang—tapi bukan damai.

Maxime berdiri membelakangi jendela besar, mengenakan tunik hitam bersulamkan benang perak, wajahnya dingin dan tajam seperti biasanya. Sementara Theo, dalam balutan jas hijau zamrud yang lebih formal, berdiri di dekat meja kerjanya, kedua tangannya bersedekap.

Tak ada sapaan basa-basi.

“Kau ingin bicara tentang para pedagang ramuan di wilayah selatan?” tanya Maxime langsung, nadanya tenang tapi penuh tekanan.

Theo mengangguk pelan. “Mereka tidak hanya menolak pajak. Mereka juga mulai memproduksi obat-obatan secara mandiri—tanpa izin kerajaan.”

Maxime menyipitkan mata. “Apa mereka terorganisir?”

“Lebih dari itu,” jawab Theo serius. Ia mengambil sebuah gulungan perkamen dari laci meja dan melemparkannya ke atas meja di antara mereka. “Kami menemukan lambang ini disembunyikan di balik segel gudang mereka. Simbol yang sama ditemukan di kamp pelatihan rahasia di dekat perbatasan barat.”

Maxime membuka gulungan itu. Lambang aneh dengan ukiran dua ular melilit tongkat berduri—tapi bukan lambang medis. Ini adalah variasi… sebuah distorsi. Sebuah peringatan.

“Berapa banyak orang yang sudah mereka kumpulkan?” tanya Maxime tanpa menoleh.

“Seratus… mungkin lebih,” jawab Theo. “Sebagian adalah mantan tentara. Sebagian lagi penyintas wabah yang kecewa pada lambannya bantuan dari pusat. Mereka merasa bisa lebih ‘berkembang’ jika Belvoir memutuskan jalur mandiri dari Aragon.”

Keheningan membentang di antara mereka.

Akhirnya Maxime bersuara, rendah namun jelas: “Pemberontakan yang dibalut dalih kemajuan lokal.”

Theo menatap Maxime lurus-lurus. “Dan jika mereka mendapat cukup dukungan, bahkan dari distrik medis lain seperti Cressea atau Luntrelle, ini bisa tumbuh menjadi lebih besar dari sekadar insiden kecil.”

Maxime memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali. Matanya berkilat dingin.

“Beri aku nama pemimpin mereka.”

Theo ragu sejenak, lalu menjawab pelan. “Kau tidak akan menyukainya… Tapi sepertinya, salah satu yang terlibat adalah tabib tua dari klan Theralis. Dan beberapa—beberapa di antaranya—adalah orang yang pernah dekat dengan keluarga Vivienne.”

Theo mengangguk. “Mereka tidak menyukai Vivienne.”

Maxime mengepalkan tangan, lalu berkata pelan, nyaris seperti gumaman yang dipenuhi bahaya, “Kalau mereka menyentuhnya… aku akan membuat Belvoir terbakar dari akar.”

Theo menatap Maxime lama. “Itu sebabnya aku memanggilmu ke sini. Karena hanya kau yang bisa menghalangi mereka—tanpa menghancurkan seluruh distrik ini.”

Maxime mengangguk sekali. “Kita akan hadapi ini. Tapi satu hal yang harus jelas, Theo…”

Ia mendekat, menatap Theo tanpa berkedip.

“Kalau perasaanmu pada Vivienne mengganggu keputusanmu—maka mulai malam ini, aku tidak akan lagi memandangmu sebagai sekutu.”

Ruangan menjadi sunyi.

Theo membalas tatapan itu. Tegas. Tenang. Tapi juga… terluka. “Aku tak pernah menjadikan perasaanku sebagai alasan untuk mengkhianati kerajaan. Tapi kalau ada seseorang yang harus mati demi melindunginya—aku akan berdiri paling depan.”

Maxime tak menjawab.

Tapi di sudut matanya, bara cemburu dan perlindungan sudah menyala dalam diam.

“Lucu,” katanya dingin. “Kau memintaku menjaga Belvoir, tapi kau bahkan tak bisa menyembunyikan bagaimana kau memandang istriku.”

Theo menegang, tapi tetap berdiri tenang. “Aku tahu batasanku.”

“Mungkin,” Maxime menajamkan tatapannya, menyipitkan mata. “Tapi bukankah tidak sopan jika kau mengatakan hal lancang itu di hadapan suaminya?”

Theo menghela napas panjang, menahan diri. Namun akhirnya ia menjawab, dengan suara yang lebih rendah namun penuh ketegasan.

“Dan kau pikir kau lebih berhak dariku? Aku mengenalnya jauh sebelum namamu masuk dalam hidupnya. Aku tahu sisi Vivienne yang tidak pernah kau kenal—karena dia tidak pernah menjadi dirinya sendiri di sisimu.”

Maxime tertawa pendek—dingin, nyaris tanpa suara. Tawa yang lebih mirip cemoohan ketimbang hiburan. “Yang kau kenal hanyalah gadis kecil dengan mata berbinar dan mimpi-mimpi manis, Theo. Tapi gadis yang kau kenal telah mati ketika ia menjadi istriku.” Ia menatap lurus, suaranya menjadi lebih berat. “Wanita yang bersamaku sekarang bukan milik masa lalumu. Dia milikku—sepenuhnya.”

Keheningan menggantung, berat seperti awan sebelum badai.

Theo tidak mundur. Matanya tetap menatap Maxime lurus-lurus, menyimpan bara yang tenang. “Dan kau pikir setelah bertahun-tahun kau abaikan… setelah semua penghinaan, kesepian, dan sikap dinginmu yang bahkan tak layak diberikan pada musuh—dia masih akan memilihmu?”

Maxime tak menjawab.

Kata-kata Theo menggantung di udara seperti kabut beracun yang tak bisa ditepis. Wajah Maxime tetap datar, tapi sorot matanya… goyah. Sesuatu di dalam dirinya bergerak, walau ia berusaha mati-matian menyangkalnya.

Dan Theo melihat itu.

Maka ia melangkah maju, suara kini lebih rendah—bukan untuk menyulut emosi, tapi untuk menohok lebih dalam. “Kau tahu apa yang paling membuatku muak, Maxime?”

Maxime tetap diam.

“Kau menolak Vivienne. Bertahun-tahun kau menolak dia. Mengabaikan keberadaannya, memperlakukannya tak ubahnya barang tak berguna… padahal dia adalah istrimu. Seorang wanita bangsawan yang dulu menyerahkan segalanya untuk kerajaan ini. Untukmu.” Theo menahan napas sejenak, lalu melanjutkan, suaranya kini menyelipkan getir yang tak tertahan, “Dan saat semua orang mulai melupakannya… saat ia sendiri pun mulai berhenti berharap… justru saat itulah kau muncul dan mengklaimnya seperti harta yang kau sembunyikan.”

Satu langkah lagi.

“Apa menurutmu itu pantas?”

Maxime masih diam. Tapi rahangnya mengeras, napasnya terdengar lebih berat.

Theo mendesis rendah. “Dan sekarang… kau duduk di hadapanku, mengatakan bahwa dia ‘milikmu’. Padahal baru beberapa bulan lalu, semua orang tahu betul siapa yang kau jaga, siapa yang kau perhatikan, dan siapa—” Ia menahan lidahnya, menatap Maxime dengan sorot kecewa. “—yang kau biarkan masuk ke dalam istanamu… bahkan hatimu. Seorang pelayan rendahan yang bahkan tak pantas kusebut namanya di sini.”

Terdengar suara gesekan pelan dari tangan Maxime yang mengepal di atas meja.

“Kau bukan hanya melukai Vivienne, Maxime,” ujar Theo lebih tenang, tapi tajam. “Kau mencabik harga dirinya di depan seluruh istana. Jadi sebelum kau memanggilnya ‘milikmu’, mungkin sebaiknya kau bertanya dulu: apakah hatinya masih tersisa untuk kau miliki?”

Sunyi. Berat. Menyesakkan.

Untuk pertama kalinya malam itu, Maxime tidak membalas. Tak satu patah kata pun.

Ia hanya berdiri perlahan, lalu melangkah ke pintu dengan tenang… namun bahunya tegang, dan bayangannya tampak lebih berat dari sebelumnya.

Tepat sebelum keluar, ia menoleh setengah, suaranya rendah namun tajam,

“Jika kau pikir kau bisa membuatnya bahagia, Theo, maka seharusnya dulu kau sudah melakukannya sebelum aku datang.”

Lalu Maxime menghilang di balik pintu—meninggalkan Theo sendiri, bersama ruang yang semakin terasa sempit oleh emosi yang tak sempat terucap.

1
ririn nurima
suka banget ceritanya
Melmel
thanks thor crazy upnya. pembaca hanya baca dengan menit, sedng yg ngetik siang malam mikir setiap katanya.. kerenn 🫶
Melmel
keren thor 👍
Eka Putri Handayani
pokoknya harus bertahan jd wanita yg kuat jngn percaya muka medusa yg sok polos itu
Eka Putri Handayani
geramnya aku sm pelayan gak tau diri ini, ayo vanessa km bisa jd lebih kuat dan berani
Eka Putri Handayani
jadikan viviane gadis yg kuat yg gak takut apapun klo bisa dia jg bisa bela diri
Murni Dewita
tetap semangat dan double up thor
Murni Dewita
lanjut
Murni Dewita
💪💪💪💪
double up thor
Murni Dewita
lanjut
shaqila.A
kak, lanjut yukk. semangat up nyaaa. aku siap marathon💃💃
Murni Dewita
mexsim terlalu egois
rohmatulrohim
critanya menarik di buat pnasan dg kelanjutannya.. yg semangat up nya thor.. moga sampai tamat ya karyanya dan bisa buat karya yg lain
Murni Dewita
tetep semangat thor
Murni Dewita
ratu di lawan ya k o lah
Murni Dewita
tetap semangat jangan lupa double up thor
Murni Dewita
dasar tak tau diri
Murni Dewita
pelayanan tak tau diri
ya udah cerai aja vanesa
Murni Dewita
double up thor
Murni Dewita
apakah vanesa tidak memiliki ruang dimensi thir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!