Diusianya yang tak lagi muda, Sabrina terpaksa mengakhiri biduk rumah tangganya yang sudah terajut 20 tahun lebih lamanya.
Rangga tega bermain api, semenjak 1 tahun pernikahnya dengan Sabrina. Dari perselingkuhan itu, Rangga telah memiliki seorang putri cantik. Bahkan, kelahirannya hanya selisih 1 hari saja, dari kelahiran sang putra-Haikal.
"Tega sekali kamu Mas!" Sabrina meremat kuat kertas USG yang dia temukan dalam laci meja kerja suaminya.
Merasa lelah, Sabrina akhirnya memilih mundur.
Hingga takdir membawa Sabrina bertemu sosok Rayhan Pambudi, pria matang berusia 48 tahun.
"Aku hanya ingin melihat Papah bahagia, Haikal! Maafkan aku." Irene Pambudi.
..........................
"Tidak ada gairah lagi bagi Mamah, untuk menjalin sebuah hubungan!" Sabrina mengusap tangan putranya.
Apa yang akan terjadi dalam kehidupan Sabrina selanjutnya? Akankah dia mengalah, atau takdir memilihkan jalannya sendiri?
follow ig @Septi.Sari21
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
Mobil Gina berhasil tiba didepan rumah Aruna. Rumah yang diberikan Rangga atas kelahiran putri mereka.
Mika yang mendengar suara mobil berhenti, ia kini sudah berdiri didepan teras, untuk melihat siapa orang yang baru datang.
"Mamah?" Mika menatap kaget, kala mendapati wajah ibunya tampak memerah akibat tamparan tadi.
"Nggak Papa! Alergi Mamah kambuh, karena tadi ada bawang putih yang terselip dalam makanan Mamah!" dalih Aruna.
Gina mendekat, berdiri disamping sang keponakan.
"Kok Tante yang nganterin Mamah? Papah kemana?" Mika masih menatap bingung.
"Mika ... Papahmu nggak pulang! Seharusnya kamu nggak perlu menanyakan itu lagi," cetus Aruna saking lelahnya.
Melihat itu, Gina langsung mengajak keponakannya untuk masuk. Dia paham betul, jika sekarang Mika tengah kecewa terhadap Papahnya. Gina mencoba memberi pengertian.
"Kamu mau kan Papahmu selalu pulang setiap malam?" Gina mencoba memprovokasi gadis lugu itu.
Mika masih terdiam, mengangguk lemah. "Mika, kamu sudah akan beranjak dewasa. Kamu mau melihat rumah tangga Papah dan Mamahmu seperti ini terus? Tidak jelas akan dibawa kemana!" lanjut Gina sambil bersedekap dada.
"Apa Papah sebenarnya sudah berumah tangga dengan wanita lain?" tanya kembali Mika.
Gina berjalan mengitari sofa. Dia berhenti, dan langsung menjatuhkan tubuhnya disana. "Sebelum mengenal Mamahmu pun, Papahmu sudah memiliki istri! Kamu sudah besar, jadi tidak ada lagi yang perlu Tante tutupi!"
Wajah Mika berubah sendu. Kedua matanya memanas dalam bersamaan. Jadi benar dugaannya selama ini, jika Papahnya sudah memiliki istri. Jika iya, bagaimana bisa Mamahnya mau dijadikan yang kedua. Padahal, pernikahan itu hanya secara Agama saja.
Mika menangis pilu. Mungkin dulu dia tidak akan mempedulikan semua itu. Tapi kini, usianya sudah akan beranjak dewasa. Bagaimana dia akan menjalani hidup kedepannya, jika adanya ia saat ini adalah sebuah kesalahan terbesar.
"Lalu, siapa istri sah Papah, Tante? Apa dia tahu jika aku terlahir didunia ini? Aku tidak dapat membayangkan, bagaimana sakitnya istri Papah jika tahu." Mika masih tidak menyangka, mengapa ibunya tega berbuat seperti itu.
"Tante harus segera pulang, Mika!" Gina bangkit dari duduknya, langsung melenggang keluar.
Mika masih mematung meratapi nasibnya. Dia juga baru tahu kebenaran saat ini, setelah kecurigaannya terhadap sang Ayah. Dari kelahirannya hingga umur 5 tahun, dia memang sudah menempati rumahnya itu. Tapi, semenjak usainya 6 tahun, Mika diajak pindah oleh orang tuanya di sebuah daerah, yang jauh dari riuk ibu kota. Dan baru saat ini, mereka kembali lagi kerumahnya itu.
Melihat Aruna masuk kedalam, Mika langsung beranjak untuk menghadang jalan Ibunya. Sorot mata coklat itu menahan luka, bahkan untuk tersenyum saja ia enggan.
"Jangan menambah pikiran Mamah, Mika! Mamah sudah lelah seharian bekerja, dan tolong jangan lagi menanyakan apapun mengenai Papahmu-"
"Iya itu karena Mamah mau menjadi selingkuhan Papah!" teriak Mika, menyela ucapan Aruna.
Plak!
Wajah Mika terhempas, hingga dia melirik sinis, sambil memegangi pipinya.
Tangan Aruna bergetar, membuatnya tersentak.
Apa yang telah aku perbuat.
"Mamah Jahat!" Mika menangis, dan langsung pergi dari hadapan Ibunya. Sejak kecil hingga sebesar ini, baru sekarang Aruna bermain tangan terhadap putrinya. Dan hal itu akan Mika ingat sampai kapanpun.
"Mika ... Tolong dengarkan Mamah dulu! Mika, hei!" teriak Aruna menatap lantai dua.
*
*
*
"Mamah dimana, Om?" Haikal berhenti diambang pintu, saat Revan menghadang jalannya.
"Ikuti Om! Ada yang ingin Om bicarakan!" Revan berjalan menuju teras samping, begitu Haikal mengikutinya dari belakang.
Mereka kini sudah duduk dibangku kayu, namun dengan tempat yang berbeda. Disana ada satu meja kecil yang membuat jarak diantara mereka.
Haikal memicing. Keningnya berkerut, menunggu pria didepannya membuka suara.
Revan mengambil nafas dalam, membiarkan angin malam bebas menerpa wajahnya terlebih dulu.
"Ada apa, Om? Papah juga kemana? Kata Mbak Nur, Papah mengajak Mamah makan malam-"
"Haikal, dengarkan Om dulu!" sahut Revan. Wajahnya kini tampak serius, menatap dengan sorot mata penuh paksaan. "Mungkin setelah ini ... Mamahmu sudah tidak dapat bersama Papahmu lagi!"
Deg!
Haikal tersentak. Dia semakin menarik nafas dalam, mencoba membenarkan posisi duduknya. Kedua sorot matnya seakan tidak percaya dengan pernyataan sang Paman, namun ia juga ingin tahu lebih apa yang terjadi.
"Maksud, Om? Om nggak sedang bercanda 'kan?" Haikal masih mencoba memastikan.
"Sudah 20 tahun pernikahannya, Papahmu berhasil menghianati Mamahmu secara diam-diam. Dan parahnya, Mas Rangga sudah memiliki putri yang usianya sama seperti usiamu!" Jabar Revan.
Haikal langsung meraup wajahnya kasar. Oksigen malam itu berhasil mencekik pernafasannya. Bagaikan mimpi yang menghantam kenyataan.
Perlahan Haikal mulai bangkit. Dia berjalan kedepan, meluapkan semua emosinya.
Arghhh ... Teriaknya frustasi.
"Dimana Mamah sekarang, Om?" Haikal menoleh, menatap Revan.
"Dia ada dikamar tamu bersama Tantemu!"
Tanpa bantahan lagi, pria berusia 17 tahun itu langsung melenggang dari hadapan Revan. Sejujurnya Revan juga tidak ingin keponakannya itu tahu. Akan tetapi, usia Haikal bukan lagi anak-anak. Berselingnya waktu, Haikal pasti akan tahu juga. Namun akan lebih menyakitkan, jika keponakannya itu tahu dari orang lain.
Klek!
Ambar bangkit, begitu melihat Haikal masuk. Sabrina juga tersadar dari lamunannya. Dia mencoba tersenyum, menyambut sang buah hati.
"Tante keluar dulu!" Ambar menepuk bahu Haikal, lalu menutup pintu kamar tersebut.
Kedua kaki Sabrina yang semula menekuk diatas ranjang, kini perlahan dia turunkan. Wajahnya tampak antusias, saat sang putra menatapnya dengan wajah sendu.
"Anak laki-laki nggak boleh nangis!" Sabrina masih mencoba bersikap tenang, tanganya terulur mengusap buliran bening yang jatuh di rahang keras Haikal.
Haikal menggenggam kuat kedua jemari ibunya. Bibirnya bergetar, terasa kelu hanya untuk membuka suara.
"Ibu memendamnya selama itu?"
Sabrina menggelengkan kepala, "Tidak! Semua terungkap disaat kamu sudah tumbuh menjadi pria yang tampan! Semua megalir mengikuti arus, hingga Mamah mendapati kebenaran itu," jawab Sabrina memaksakan senyumnya.
"Mamah boleh menangis dihadapan Haikal! Mamah boleh meluapkan semuanya!"
"Terlalu lucu, diusia Mamah yang segini, harus meratapi semuanya! Air mata Mamah bahkan enggan keluar!" Sabrina mengusap lengan putranya, menatap dengan sorot mata penuh luka.
Haikal menunduk, dia terisak. Rasanya dia kecewa sekali terhadap Papahnya. Rangga tidak hanya seorang Ayah, tetapi sosok pahlawan bagi Haikal. Pria yang selalu berdiri dibelakang tubuhnya. Menyokong Haikal, hingga pemuda tampan itu berhasil menjadi sosok kuat, lembut, dan penuh kasih.
"Haikal kecewa sama Papah!" tanganya terangkat untuk mengusap kasar air matanya. Lalu dia menatap Sabrina penuh kobaran api, "Haikal tidak akan diam melihat Mamah seperti ini! Papah juga harus menangung akibatnya!" Haikal lantas bangkit, dan langsung melenggang keluar.
Sabrina juga ikut bangkit. Wajahnya terlihat cemas, takut jika sang putra akan bertindak kegabah.
Dia segera meninggalkan kamar tamu itu. Melihat Revan sudah masuk, dia lantas menghampiri adiknya.
"Kejar Haikal, Revan! Mbak takut, jika anak itu akan berkelahi dengan Papahnya!" pinta Sabrina manahan tangis.
Revan mengangguk, lalu segera berjalan menuju pintu depan, untuk mengejar motor keponakannya.
...lanjut thor 💪🏼
di tunggu boncapnya thor lanjut.
lanjut thor💪🏼