Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.
Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.
Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.
Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.
Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?
Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.
Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aluna Demam, Alaric Rawat
Cahaya pagi menyusup malu-malu dari celah tirai abu-abu di kamar apartemen Renzo. Ruangan cukup luas—ada satu ranjang ukuran king size, rak buku dan meja kerja yang penuh kertas desain produk. Di pojok, lemari kecil terbuka, menampakkan jaket-jaket yang dilipat asal.
Seprai kusut. Udara masih hangat oleh sisa malam.
Alaric membuka mata perlahan. Napasnya dalam. Tubuhnya telentang, hanya mengenakan celana tidur. Lengannya disandarkan di dahi. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari: ini bukan apartemen miliknya.
Suara napas Renzo terdengar dari samping. Lelaki itu masih tertidur miring menghadapnya, sebagian wajahnya tertutup selimut. Rambutnya acak-acakan, tapi damai. Terlalu damai, sampai Alaric ingin marah. Karena perasaan di dadanya tidak boleh ada.
Alaric duduk pelan di tepi ranjang. Punggungnya menghadap Renzo. Ia memandangi jari-jarinya sendiri—sunyi. Lalu berdiri, melangkah ke jendela, membuka sedikit tirai.
“Kita tidur di sini karena takut Aluna pulang lebih cepat, ‘kan?” Suara itu datang dari ranjang. Serak, baru bangun. Renzo.
Alaric menoleh. “Dan juga karena lo nggak mau tidur sendiri.”
Renzo tertawa pendek, duduk bersandar ke kepala ranjang. “Gue juga nggak nyangka lo mau digeret ke sini.”
“Gue lebih nggak nyangka lo...” Alaric tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia malah berjalan ke meja, membuka botol air mineral, dan meminumnya pelan. Matanya tidak pernah benar-benar menatap Renzo sejak bangun.
Renzo bangkit, berjalan pelan menghampiri Alaric. Hanya mengenakan celana pendek, bahunya masih penuh bekas malam. Ia menyentuh punggung Alaric.
“Lo nyesel?” tanyanya rendah.
Alaric membeku. Tangannya masih menggenggam botol kosong. Lalu, dengan suara hampir tak terdengar: “Gue takut... kalau ini nggak pernah cukup.”
Renzo tersenyum miris. “Jadi lo takut, atau lo mau lebih?”
Mata mereka bertemu. Saling mengunci. “Gue CEO Alverio, Renzo. Lo sepupu gue. Gue punya istri. Dan kita… kayak gini.”
“Tapi lo nggak mau berhenti.”
Hening. Alaric menunduk, lalu menarik napas panjang. Ia menyentuh wajah Renzo sebentar, seperti mencoba mengingat bentuknya. Tangannya gemetar sedikit.
“Gue nggak tahu,” bisik Alaric. “Tapi lo bikin semuanya makin kacau.”
Renzo mendekat, menyentuh bibir Alaric ringan. Sekilas. Bukan ciuman, hanya rasa.
“Gue bisa terima jadi kekacauan lo.”
Alaric menarik diri pelan. Matanya tajam. “Jangan bilang itu lagi. Gue takut beneran percaya.”
***
Pintu apartemen terbuka pelan. Alaric masuk dengan langkah perlahan, membawa jaket di lengan dan napas berat yang masih tersisa dari malam panjang.
Jam digital di ruang tengah menunjukkan pukul 6.28 a.m
Langit luar sudah mulai terang, tapi apartemen masih dalam bayang remang. Tirai belum ditarik, lampu ruang tengah masih padam. Aroma sabun mandi dari kamar mandi masih samar tercium, bercampur bau kopi dari gelas yang tertinggal di meja dapur.
Alaric melepas sandal selopnya. Matanya sayu. Ia berjalan masuk ke kamarnya.
Di atas ranjang, Aluna tidur miring. Selimut hanya menutupi sebagian tubuhnya. Rambut panjangnya kusut. Napasnya terdengar... tapi ada yang janggal.
Alaric berdiri di sisi ranjang. “Aluna?”
Tidak ada respons.
Ia jongkok di sisi ranjang. Matanya menyapu wajah Aluna yang pucat, bibirnya kering. Napasnya terengah. Perlahan, ia menyentuh bahu Aluna dan mengguncangnya pelan.
“Hei… bangun. Kamu kenapa?”
Masih tidak ada gerakan.
Aluna hanya menggeliat sebentar, lalu mendesah pelan, seperti menahan rasa sakit. Alaric merengut, tangannya bergerak menyentuh dahi perempuan itu.
Hangat. Terlalu hangat.
“Sial…”
Alaric bangkit cepat, mengambil termometer digital di laci dekat tempat tidur. Kembali duduk di tepi ranjang, menyelipkan alat itu ke telinga Aluna.
Matanya menatap wajah istrinya dengan cemas. Tiba-tiba semua kepenatan dan kekacauan dari apartemen seberang... menguap.
Bunyi bip terdengar. 38.9°C.
“Kamu panas tinggi gini sendirian di rumah?” gumam Alaric pelan, hampir seperti marah, tapi juga khawatir.
Ia berdiri. Pergi ke dapur, mengambil air mineral dingin dan handuk kecil. Basah. Diperas. Lalu kembali.
Perlahan, ia menaruh handuk itu di dahi Aluna. Tangannya tetap di sana sebentar.
“Kenapa kamu nggak kirim kabar?” bisiknya.
Aluna bergumam tak jelas. Matanya sedikit terbuka, hanya sekilas.
“A… la… ric…” gumam Aluna.
Alaric duduk di samping ranjang. Bahunya sedikit merosot. Matanya tidak bisa lepas dari wajah Aluna. Sesuatu di dadanya—yang tadi penuh Renzo—mendadak retak sedikit.
“Jangan sakit dulu. Aku belum siap… kamu menghilang.”
Ia menghela napas panjang. Lalu menelepon seseorang.
Smartphone Alaric menempel di telinganya. Suaranya tegas dan cepat, nada khawatir tidak bisa ditutupi.
“Dokter Anna, saya butuh Anda datang ke apartemen sekarang. Istri saya demam tinggi. Saya kirim alamat detailnya.”
“Saya segera kesana,” jawab suara perempuan, tenang, di seberang.
Telepon ditutup. Alaric kembali ke sisi ranjang. Aluna masih menggeliat, tubuhnya tampak panas dan berkeringat. Handuk dingin di dahinya sudah mulai hangat. Ia menggantinya.
“Kenapa kamu nggak bilang siapa-siapa, huh?” tanyanya pelan namun penuh tekanan.
Aluna membuka mata sedikit. Pandangannya kabur, napasnya berat, tapi ia masih bisa menjawab.
“Surya harus istirahat… dia yang bawa aku pindah lokasi syuting. Kadang dua jam… kadang empat…”
Alaric mendengus. Duduk kembali, meletakkan botol air minum di meja samping, lalu memandangi Aluna yang terbaring lemah.
“Dan aku? Kenapa nggak telpon?” tanyanya lagi, nadanya makin tajam.
Aluna memejamkan mata. Matanya sembab, suaranya nyaris seperti bisikan. “Karena aku nggak mau ganggu kalian berdua. Kamu sama Renzo…”
Alaric mematung. Ia tidak langsung menjawab.
Seketika, kamar terasa hening. Hanya suara AC dan detik jam yang terdengar. Alaric menatap istrinya dengan tatapan sulit ditebak.
“Jangan bodoh,” katanya akhirnya, suaranya dalam dan berat. “Aku yang tanda tangan surat nikah sama kamu, bukan Renzo.”
Aluna tersenyum miris. “Tapi hati kamu bukan buat aku, ‘kan?”
Alaric terdiam. Tangannya mengepal perlahan di atas selimut. “Kamu tetap istri aku, dan aku nggak akan biarin kamu sakit sendirian.”
Bel berbunyi. Dokter Anna datang.
Alaric membuka pintu. Seorang perempuan berambut pendek rapi dengan jas dokter dan koper kecil berdiri di sana, diikuti pria bertubuh tinggi dengan seragam mirip.
“Dok,” sambut Alaric singkat, membuka lebih lebar. “Masuk. Dia di kamar.”
Dokter Anna mengangguk cepat. “Ini asisten saya, Dokter Rey.”
Mereka langsung menuju kamar. Aluna sudah duduk lemas bersandar pada kepala ranjang, selimut ditarik sampai dada. Rambutnya basah karena keringat.
Dokter Anna mengenakan stetoskop dan mulai memeriksa. Tangan halusnya menekan dahi Aluna. Ia mengecek detak jantung, napas, serta suhu tubuh digital.
“Demam tinggi. 39,2 derajat,” gumamnya. “Apa dia muntah atau merasa mual, Pak Alaric?”
“Nggak. Tapi pusing dan lemas,” jawab Alaric cepat.
Dokter Anna menulis resep di kertas kecil. “Kita butuh cairan elektrolit, obat penurun panas, dan antibiotik ringan. Bisa segera ditebus.” Ia menyodorkan resep ke Rey.
Dokter Rey mengangguk dan berbalik. Tapi beberapa detik kemudian, suara panik datang dari depan pintu.
“Dok! Dok! Mobil kita, ‘kan, bannya gembes! Kayaknya kena paku waktu nyalip taksi tadi!”
Alaric menatap mereka datar, lalu menghela napas pelan. Ia masuk ke ruang kerja, mengambil kunci mobil sport-nya dari laci.
Saat kembali, ia menyodorkan kunci itu ke Dokter Rey. “Bawa mobil saya aja. Tapi jangan buat gaya-gayaan, ya.”
Dokter Rey, yang wajahnya lebih cocok jadi dosen filsafat daripada sopir mobil sport, tertawa kecil. “Serius, Pak?”
“Serius. Tapi kalau velgnya lecet, kamu saya tagih.”
Beberapa menit kemudian, terdengar suara mesin mobil sport meraung di kejauhan.
Alaric kembali ke sisi ranjang. Duduk pelan, memperhatikan Aluna yang sudah mulai berkeringat dingin.
“Kamu bakal baikan. Tunggu sebentar lagi,” gumamnya sambil mengelus kepala Aluna pelan.
***
Suara pintu tertutup.
Dokter dan asistennya sudah pergi. Alaric kembali ke kamar sambil membawa segelas air dan beberapa obat yang sudah ditebus.
Aluna setengah duduk, bersandar lemah di ranjang sambil makan roti yang diambilkan Alaric tadi. Rambutnya masih agak basah, pipinya memerah karena demam. Napasnya pelan. Alaric duduk di tepi kasur tanpa berkata apa-apa, lalu menyodorkan obat dan air.
“Minum,” ujarnya dingin.
“Kamu nggak lapar?” tanya Aluna pelan.
“Aku nyuruh kamu minum, bukan ngajak ngobrol,” sahut Alaric, dingin.
Aluna mengambil obat. Ia menelan pelan lalu menyeruput air. Beberapa detik kemudian ia menyeka mulutnya dengan punggung tangan.
“Makasih, meski kamu maksa,” gumamnya.
Alaric hanya mendengus dan berdiri. Ia mengeluarkan smartphone, menelepon salah satu pengawalnya.
“Mobil dokter bannya bocor. Suruh dua orang ke parkiran. Tambal di tempat atau ganti ban cadangan. Terus kirim mobilnya ke rumah sakit mereka. Cepat!”
Ia mematikan telepon lalu berbalik—dan tepat saat itu, Aluna menggeser selimut dan bersiap turun dari ranjang.
Baru satu kaki menyentuh lantai, tangan Alaric mencengkeram lengannya. “Mau ke mana?”
“Keluar,” jawab Aluna. “Biarin aku duduk di sofa aja, sumpek di kamar terus.”
Alaric menahan dengan tatapan tajam. “Kamu mau pingsan di depan TV? Drama Korea nggak akan bikin suhu badan kamu turun.”
Aluna menarik napas dan menatap suaminya. “Kamu pikir kamu siapa? Aku ini bukan tahananmu, Alaric.”
Alaric menyipit, bibirnya terangkat miring. “Kamu bukan tahanan? Tapi kamu juga bukan istri beneran.” Ia melongok lebih dekat. “Kalau bukan karena warisan, kamu bahkan nggak akan bisa lihat sisi aku yang ini.”
Aluna mendelik. “Sisi mana? Yang suka atur-atur, egois, dan cuma peduli Renzo?”
Tegang. Alaric mencengkeram kedua sisi lengan Aluna dan menunduk sedikit. Napas mereka nyaris bersentuhan.
“Ya. Aku memang cuma peduli Renzo. Tapi kamu... Kamu bikin kepalaku makin ribet.”
Aluna menatapnya, bingung, berdebar. “Ribet kenapa?”
“Karena aku nggak tahu kenapa aku balik ke sini dan rawat kamu. Harusnya aku tinggal sama Renzo.”
Keduanya terdiam.
Aluna akhirnya mundur, naik ke ranjang lagi dan membalikkan badan.
Alaric menghela napas pelan. Tapi sebelum ia keluar kamar, ia sempat menoleh dan berkata, “kalau kamu demam lagi gara-gara ngeyel keluar, jangan nyalahin aku kalau aku iket kamu di tempat tidur.”
Pintu tertutup.
***
Alaric duduk di ruang tengah apartemen. Smartphone menempel di telinga, bahunya tegang, dagunya terangkat sedikit dengan ekspresi serius. Di layar, nama ‘Sutradara Anggara’ tertera.
“Halo?” Suara Anggara terdengar tergesa.
“Aluna nggak akan datang,” ucap Alaric to the point, nadanya tajam.
Hening sebentar. “Apa maksudnya nggak datang? Hari ini jadwal penting, ada adegan dia dengan Kael. Semua kru dan aktor sudah siap di lokasi!”
Alaric berdiri, berjalan ke jendela. Suaranya tetap datar, tapi penuh tekanan. “Istri saya demam. Kalo Anda maksa syuting hari ini, berarti Anda nge-bunuh aktris Anda sendiri.”
“Tapi—”
“Saya sponsor utama drama ini. Mau saya bubarin semua sekarang juga?”
Terdengar suara tawa gugup dari Anggara.“T—tunggu… maksud saya… kalau begitu kita reschedule—”
“Bubarkan hari ini. Kirim ulang jadwal baru. Jangan berani syuting tanpa izin saya lagi!”
Alaric menutup telepon tanpa pamit. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Ia melirik sekilas ke arah kamar Aluna yang tertutup.
“Aku bilang kamu tahanan. Tapi ternyata aku yang mulai terjebak. Haaahhh ….”