Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12
Tepat di depan rumah Kaji Mispan berdiri sebuah bangunan baru, setengah jadi. Temboknya belum diaci, permukaannya masih kasar dan penuh bercak semen. Jendela-jendelanya belum berkaca, hanya ditutup seadanya dengan plastik bening yang sudah kusam. Pintu utamanya terbuat dari anyaman gedheg, dicengkal dari dalam dengan balok kayu seadanya.
Hari ini rumah itu tampak sepi, sunyi seperti tak berpenghuni. Tak ada suara terdengar, tak ada pergerakan samar pun yang tampak dari celah-celah dinding. Pintu gedheg-nya tertutup rapat, terkunci dari dalam—menyisakan aura misterius yang menggantung di udara.
Namun, suasana di sekelilingnya justru sebaliknya. Sekelompok anak-anak tengah bermain petak umpet di sekitar rumah kosong itu. Mereka berlarian ke sana kemari, menyusup ke balik semak, memutari tiang pagar, sembunyi di balik pohon pisang. Yang satu menghitung sambil menutup mata, yang lain tertawa-tawa sambil lari mencari tempat persembunyian.
Tak lama kemudian, datanglah seorang pria rentenir itu datang—sosok yang segera menarik perhatian. Dengan jaket kulit hitam dan kacamata hitam gelap. Naik sepeda motor Honda Win warna hitam, dengan sebuah ransel selempang melintang di dadanya.
Ia memarkir motornya di tepi jalan. Tanpa banyak bicara, ia melangkah melewati kerumunan anak-anak yang tengah asyik bermain. Langkahnya mantap. Sepatunya menimbulkan suara berat di atas tanah yang mengeras.
Sampai di depan pintu rumah setengah jadi itu, ia mengangkat tangan dan mengucap salam dengan suara lantang.
“Assalamualaikum? Wayahe! Wayahe!” seru lelaki itu lantang sambil mengetuk pelan pintu gedheg.
Namun tak ada jawaban dari dalam.
Ia mengulang salamnya dengan nada sedikit lebih keras.
“Assalamualaikum. Wayahe!”
Tetap sunyi. Tak ada balasan.
Lelaki itu menghela napas, lalu menoleh ke sekeliling. Matanya menangkap sekelompok anak-anak yang masih asyik bermain petak umpet di halaman depan rumah. Ia kemudian menghampiri salah satu dari mereka, seorang bocah lelaki yang tengah jongkok di balik semak.
“Dek, Bu Hartini ke mana ya?” tanyanya.
Anak itu mengangkat bahu santai. “Ndak tahu, Pak.”
Sementara itu, dari balik pintu gedheg, Hartini sedang mengendap-endap. Ia berdiri menempel tembok, mengintip dari celah sempit yang menganga di anyaman bambu itu. Napasnya ditahan, jantungnya berdegup kencang. Ia berharap si rentenir segera pergi.
Namun malang tak bisa ditolak. Anak bungsunya yang tadi ikut bermain, tiba-tiba lari dari belakang rumah dan langsung menubruk tubuh Hartini dari belakang.
"Brak!"
Pintu gedheg terayun terbuka, menimpa tubuh Hartini yang sedang mengintip. Ia pun terhuyung dan terkejut bukan main.
Lelaki berjaket kulit itu otomatis menoleh, kaget sekaligus curiga.
“Lololo... lho, kenapa Bu Har?” tanyanya sambil melepas helm.
Hartini buru-buru tersenyum kikuk sambil mengangkat anaknya.
“Ndak apa-apa, Pak. Ini anak-anak, kalau main petak umpet suka sembarangan.”
Lelaki itu menyipitkan mata, menatap tajam. “Sebenarnya yang main petak umpet itu anak-anak, apa sampean, Bu?” godanya setengah sinis.
Hartini tertawa hambar, malu bukan kepalang. “Iya... saya juga sih, Pak.”
Ia menarik napas, lalu berkata lirih, “Maaf, Pak. Hari ini saya izin dulu. Saya... ndak punya uang.”
Lelaki itu langsung bersungut, nadanya meninggi. “Walah... minggu kemarin juga izin, sekarang izin lagi, Bu!”
Hartini menunduk, menyusun kalimatnya dengan hati-hati. “Saya benar-benar minta maaf, Pak. Barusan uang saya habis buat bayar tagihan listrik, seragam sekolah anak, terus... uang muka kreditan kulkas.”
Mendengar itu, si rentenir membelalak. “Hutang saja belum lunas, kok sudah kredit kulkas?!”
Hartini menggigit bibir, suaranya pelan, nyaris tak terdengar. “Lha, gimana, Pak? Namanya juga orang kepengen...”
“Duh, duh, duh! Harusnya Ibu itu mendahulukan tanggungan daripada keinginan!” semprot lelaki itu, nadanya tajam.
Hartini tampak makin kecil di hadapannya. Ia mengangguk cepat, terbata-bata.
“Maaf, Pak... maaf. Saya janji, minggu depan saya bayar. Beneran.”
Si rentenir mendengus kesal. “Janji melulu! Kapan realisasinya? Kalau begini terus, saya yang rugi. Saya juga dikejar-kejar bank, Bu!”
Tiba-tiba dari arah gang kecil, muncullah seorang pria berkaus oblong lusuh dan celana jins penuh noda semen. Itulah Wijayanto, suami Hartini, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan. Biasanya ia baru pulang sore atau malam, tapi siang itu ia pulang mendadak untuk mengambil waterpass-nya yang ketinggalan di rumah.
Begitu memasuki pekarangan, ia mendapati istrinya sedang berdiri di depan pintu bersama seorang pria asing berkacamata hitam dan berjaket kulit. Dengan langkah santai ia mendekat.
“Oh... rupanya ada tamu to?” sapanya sambil mengelap peluh di kening. “Ada keperluan apa, Pak?”
Rentenir itu langsung menyahut dengan wajah datar.
“Oh, saya cuma datang menagih uang tagihan, Pak.”
Wijayanto mengerutkan dahi. “Loh, tagihan apa, ya?”
“Uang yang dipinjam Bu Hartini, Pak,” jawab si rentenir tenang.
Sekonyong-konyong wajah Wijayanto berubah. Ia menatap istrinya tajam.
“Lho... memangnya Ibu punya utang sama dia? Kok gak pernah bilang-bilang ke Bapak?”
Hartini tertunduk, suaranya lirih nyaris tak terdengar.
“Ngapunten, Pak... Saya memang belum sempat bilang. Saya pinjam buat nutupi kebutuhan. Saya takut kalau bilang ke Bapak...”
Wajahnya pucat. Tangannya gemetar di balik lipatan kain daster.
Namun emosi Wijayanto langsung meledak. Dengan nada tinggi ia menggebrak jok sepeda motor si rentenir yang terparkir di dekatnya.
“Ibu ini gimana to? Kemarin sudah ngeluarin BPKB motor buat jaminan koperasi demi kredit kulkas! Sekarang malah utang lagi ke rentenir? Ndak bilang-bilang pula!”
Si rentenir terkejut, merasa suasana mulai memanas. Ia mundur satu-dua langkah, lalu berkata gugup, “Waduh... mulai geger gedhen ini. Ya sudah, kalau begitu saya pamit dulu saja, Bu, Pak!”
Tanpa menunggu jawaban, ia bergegas naik ke motornya dan melaju meninggalkan halaman rumah itu. Debu dari roda motornya membumbung ringan di udara.
Begitu suara motornya menghilang, suasana langsung berubah.
Hartini tertawa kecil sambil menepuk dada.
“Sudah, Pak. Dia sudah pergi. Akting kita sukses!”
Wijayanto langsung melepas tawa. “Oh, sudah pergi to orangnya?”
Ia bersandar ke tiang rumah sambil tertawa ngakak. “Yah, lumayan lah... setidaknya minggu ini kita bisa bernapas dulu!”
Mereka berdua pun tergelak, tertawa lepas—suara tawa dua orang kecil yang sedang bermain peran demi bertahan hidup, di tengah kerasnya kenyataan.
Rentenir itu akhirnya kembali ke warung Yu Kastun. Ia duduk selonjoran di lincak bambu di bawah pohon ceri, bergabung dengan Nasirun dan Marjoko yang tengah ngopi santai.
"Numpang istirahat, Yu," katanya sambil mengusap peluh.
"Oh, iya Pak. Monggo, monggo!" sambut Yu Kastun dengan ramah. "Gimana dengan Bu Hartini, Pak? Bayar hari ini?"
"Walah, zonk, Yu..." jawab si rentenir sambil merebahkan tubuhnya. "Ndak ada hasil."
Yu Kastun langsung menyambar, seolah menunggu momen ini. "Ya ampun... Bu Hartini itu, memang langganan gali lobang tutup lobang. Utangnya udah numpuk di mana-mana, padahal cuma buat gaya hidup doang!"
Rentenir mengangguk pelan. "Tadi katanya baru kredit kulkas, Yu."
"Salamikumsalam... Astaghfirullah," gumam Yu Kastun, makin bersemangat membuka sesi gibah. "Itu orang memang kebanyakan mimpi! Mau saingan hidup sama Kaji Mispan yang rumahnya persis di depan rumah dia. Dua tahun lalu mulai niru-niru bangun rumah, ngotot bentuknya mirip rumah Kaji Mispan. Tapi ya gitu, sampai sekarang masih mangkrak. Modalnya ndak ada. Sementara suaminya, Pak Wijayanto, cuma tukang bangunan. Tiap hari kerja berangkat pagi, pulang malam, banting tulang demi istri yang kebanyakan gaya!"
"Ealah, mosok to Yu?" sahut Marjoko ikut nimbrung.
Rentenir pun bangkit, duduk bersila di tengah-tengah. Wajahnya serius. "Tadi waktu saya nagih, mereka malah ribut, Yu. Suaminya ngamuk. Katanya dia ndak pernah dikasih tahu kalau istrinya pinjam duit ke saya. Malah katanya, kemarin baru ngutang lagi di koperasi simpan pinjam. Jaminannya BPKB motor. Buat DP kulkas."
"Amit-amit, jabang bayi!" seru Yu Kastun sambil mengernyitkan dahi. "Jadi selama ini Pak Wijayanto ndak tahu kalau istrinya punya utang sama njenengan, Pak?"
"Iya, Yu. Sepertinya begitu. Buktinya baru kali ini saya ketemu langsung sama Pak Wijayanto. Sebelumnya nggak pernah."
"Astaga... Cuma demi kulkas baru, ngutang ke mana-mana. Salamikumsalam," ujar Yu Kastun sambil mengelus dadanya. "Memang Bu Hartini itu kebacut. Pingin banget nyamain Kaji Mispan, tapi ya ndak mikir kemampuan sendiri. Dikira Kaji Mispan bisa kaya gitu tanpa usaha?"
Nasirun menimpali dengan nada bijak, "Orang kalau cuma lihat enaknya saja ya begitu, Tun. Ndak ngerti prosesnya, cuma meniru hasilnya. Akhirnya ya cuma bisa gaya, tapi ndak kuat bayar."
Yu Kastun mengangguk-angguk. "Betul, Makde! Kaji Mispan itu dulunya kerja keras. Tapi ya ndak tahu juga sih... siapa tahu dia ngingu tuyul?"
"Jangan ngawur, kamu, Tun!" tegur Nasirun sambil terkekeh.
"Halah, cuma bercanda, Makde. Tapi ya meskipun kaya, Kaji Mispan itu sombongnya ndak ketulungan. Pelit pula."
"Kamu ini ada-ada saja, Tun," sahut Nasirun, geleng-geleng kepala.
Marjoko ikut menimpali, "Namanya juga orang kaya, Yu. Wajar kalau ada rasa angkuhnya."
"Heh, kamu tahu anaknya yang lanang itu? Waduh, nakalnya ndak ketulungan! Saya kadang khawatir sama Untung, anak saya. Mereka kan temenan. Takut ketularan."
"Memangnya si Untung nakal juga, Yu?" tanya Marjoko.
"Kalau di rumah sih ndak. Tapi kan saya ndak tahu kalau di luar sana gimana. Temannya ya itu-itu juga."
Adzan Dzuhur menggema dari masjid dan musholla sekitar. Suara gibah mulai meredup.
"Yo wes, waktunya sholat. Rasan-rasane di uwisi," kata Nasirun.
Rentenir pun bersiap melanjutkan perjalanannya, melajukan motornya dengan santai meninggalkan warung. Bukan mencari anak kandung, tapi anak-anak bunga tagihan yang entah nyelip di kampung sebelah atau hilang di telinga yang pura-pura tuli.