NovelToon NovelToon
Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Terlarang / Keluarga / Romansa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rindu Firdaus

Di sebuah pesta keluarga, Arga bertemu dengan Kalista, yang langsung mencuri perhatian dengan pesonanya. Tanpa ragu, mereka terjerat dalam hubungan terlarang yang menggoda, namun penuh bahaya.

Saat Arga menyadari bahwa Kalista adalah simpanan pamannya, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Arga harus memilih antara cinta yang terlarang atau melindungi nama baik keluarganya, sementara godaan terus membara.

Akankah Arga tetap memilih Kalista meski harus mengorbankan segala-galanya, atau akan ia melepaskannya demi menjaga kehormatan keluarga? Apakah ada cara untuk keluar dari cinta yang terlarang ini tanpa merusak segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindu Firdaus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Percikan Rindu dalam Kegelapan

Hari-hari setelah malam itu terasa ganjil bagi Arga.

Ia bangun pagi dengan tubuh masih menyimpan kehangatan Kalista, tapi pikirannya mulai dihantui kecemasan. Tiap detik yang berlalu, tiap suara notifikasi di ponsel, terasa seperti ancaman akan terbongkarnya rahasia mereka.

Di luar kamar apartemen, dunia berjalan seperti biasa. Orang-orang pergi kerja, kendaraan berlalu-lalang, dan waktu terus memaksa Arga untuk kembali menjalani rutinitas. Tapi hatinya tertinggal di balik ranjang itu, di bawah selimut putih, bersama Kalista.

Pagi itu, Arga kembali ke rumah pamannya. Rumah besar dengan halaman luas dan pilar-pilar tinggi. Arman duduk di ruang tamu sambil membaca koran, ditemani secangkir kopi hitam kesukaannya. Ia menoleh sejenak saat Arga masuk.

“Dari mana saja kamu semalam?” tanya Arman, suaranya tenang tapi tatapannya tajam.

Arga tercekat sejenak, tapi segera menyusun wajah tenang. “Nginap di tempat teman kampus. Lembur ngerjain proyek.”

Arman mengangguk pelan, seolah menerima jawaban itu tanpa curiga. Tapi di balik wajah datarnya, ada sorot mata yang menyimpan tanda tanya.

Arga tahu, cepat atau lambat pamannya akan mulai curiga. Dan ia tak yakin seberapa jauh Arman akan menyelidiki.

Setelah sarapan, Arga masuk ke kamar dan duduk di tepi ranjang. Ia menyalakan ponsel, membuka pesan.

Satu pesan dari Kalista:

“Aku rindu.”

Dua kata itu saja sudah membuat jantungnya berdebar lebih cepat.

Ia balas:

“Aku juga. Tapi kita harus hati-hati.”

Tak lama, Kalista membalas lagi:

“Temui aku malam ini. Aku nggak tahan, Ga. Aku pengen kamu.”

Arga terdiam. Hasrat di dalam dirinya langsung menyala, tapi juga berselimut rasa takut. Ia tahu apa risikonya. Tapi rasa rindunya terlalu besar untuk diabaikan.

Malam pun tiba, dan Arga kembali menyusuri lorong apartemen Kalista. Kali ini ia lebih waspada. Ia memastikan tak ada yang mengikutinya, tak ada kamera tersembunyi, tak ada tetangga yang curiga.

Begitu pintu terbuka, Kalista langsung menariknya masuk dan menguncinya rapat.

Mereka berciuman tanpa kata, seperti dua orang yang telah lama terpisah. Ciuman itu mengalirkan rindu, rasa takut, dan hasrat yang tertahan.

“Gila… aku kangen banget,” bisik Kalista, napasnya hangat di leher Arga.

Arga memeluknya erat. “Aku juga. Aku nggak bisa tidur tanpa ngebayangin kamu.”

Mereka bergerak menuju sofa. Kalista duduk di pangkuan Arga, menggigit bibir bawahnya pelan, lalu meraih kerah kemeja lelaki itu dan membuka kancing satu per satu.

“Pernah kepikiran nggak…” bisik Kalista sambil menatap mata Arga dalam, “…kalau semua ini suatu hari bakal hancur?”

Arga tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, menatap mata Kalista yang tampak bergetar.

“Pernah,” jawabnya jujur. “Tapi aku lebih takut kehilangan kamu sekarang, daripada takut sama apa yang belum tentu terjadi.”

Kalista mencium lehernya, lalu berbisik, “Kalau gitu… cintai aku malam ini, seolah besok nggak ada.”

Dan malam pun kembali menyelimuti mereka. Kali ini bukan hanya dengan hasrat, tapi dengan rindu yang membara. Mereka tidak hanya memuaskan nafsu, tapi juga memeluk rasa takut. Seolah setiap ciuman adalah penghiburan, dan setiap pelukan adalah pelarian.

Namun di luar sana, takdir sudah mulai menulis babak baru.

Seseorang mengintai.

Seseorang yang tahu sesuatu sedang terjadi.

Dan percikan rindu yang mereka biarkan menyala… bisa saja berubah jadi api yang membakar segalanya.

Pagi kembali menyapa, membawa kenyataan yang lebih pahit dari kopi hitam milik Arman.

Arga duduk di bangku kafe dekat kampus, menatap kosong gelas kopinya yang mulai mendingin. Malam tadi bersama Kalista masih hangat membekas di tubuh dan pikirannya. Tapi ketakutan yang ia rasakan setelah pulang, rasa bersalah yang membekapnya di kamar sendiri mulai menghantam seperti gelombang yang tak henti.

Ia mencoba menepisnya, meyakinkan diri bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi pesan masuk dari nomor tak dikenal membuat jantungnya hampir melompat dari dada.

“Kamu pikir nggak ada yang tahu?”

Arga menggenggam ponsel itu erat. Tangan kirinya gemetar. Ia menoleh ke sekeliling kafe, memastikan tak ada mata mencurigakan.

Pesan itu tidak diikuti nama. Tidak ada gambar. Tapi cukup untuk menyalakan bara ketakutan dalam dada.

Ia membalas:

“Siapa ini?”

Tak ada balasan.

Beberapa menit kemudian, layar ponselnya menyala lagi. Kali ini, sebuah foto.

Sebuah foto dirinya dan Kalista yang sedang berciuman di balkon apartemen. Malam gelap, tapi cahaya bulan cukup membuat wajah mereka jelas terlihat.

Arga merasakan dingin menjalar ke seluruh tubuhnya.

Ini bukan sekadar ancaman. Ini nyata. Seseorang mengawasi mereka.

Panik mulai menyerang. Siapa yang mengambil foto itu? Tetangga? Penguntit? Atau yang lebih parah orang suruhan Arman?

Arga buru-buru keluar dari kafe, menaiki motor, dan memacu kendaraannya menuju apartemen Kalista.

Sesampainya di sana, ia langsung mengetuk pintu dengan gugup. Kalista membuka, tampak belum mandi, hanya mengenakan kaus longgar.

Melihat ekspresi Arga, ia langsung cemas. “Kenapa? Ada apa?”

Arga menyerahkan ponselnya. Kalista melihat layar, wajahnya langsung pucat.

“Ya Tuhan… siapa yang ngambil ini?”

“Aku nggak tahu,” Arga menjawab lirih. “Tapi ini berarti kita diawasi. Kalista, ini serius.”

Kalista duduk di sofa, wajahnya murung. “Kamu pikir ini… Arman?”

Arga menggeleng. “Kalau iya, dia pasti sudah ngamuk. Ini mungkin orang lain… seseorang yang tahu kita, tapi belum lapor.”

Mereka saling berpandangan dalam diam. Ketakutan mereka jadi nyata. Hubungan ini tak lagi sekadar sembunyi-sembunyi. Ini sudah terpantau. Terancam.

“Kalau ini tersebar…” bisik Kalista. “Aku habis, Ga…”

Arga menggenggam tangannya. “Aku nggak akan biarin itu terjadi. Aku janji.”

Namun, janji terasa ringan saat dunia mulai runtuh perlahan.

Beberapa jam kemudian, ponsel Arga berdering. Nama pamannya muncul di layar.

Dengan napas bergetar, Arga mengangkat.

“Ya, Paman?”

“Ada yang mau Om obrolin. Sekarang juga. Di rumah.”

Suara Arman terdengar tegas. Tidak biasa. Tidak seperti paman hangat yang dikenal Arga. Ada nada mencurigakan di sana. Nada yang menusuk.

Arga menatap Kalista. “Kayaknya dia tahu.”

Kalista menggigit bibir, wajahnya tegang. “Kalau kamu nggak balik malam ini…”

“Aku akan baik-baik saja,” potong Arga cepat. “Kita harus tetap tenang.”

Kalista mendekat, memeluknya. “Aku takut.”

Arga membalas pelukannya erat. “Aku juga. Tapi kita harus hadapi ini sama-sama.”

Saat ia berjalan menuju pintu, Kalista memanggilnya pelan. Arga menoleh.

“Apa pun yang terjadi, aku cinta kamu.”

Arga tersenyum sendu. “Aku juga.”

Lalu pintu tertutup, dan ia pergi… menuju rumah tempat semuanya bisa berubah.

Langit sore tampak mendung saat Arga tiba di rumah pamannya. Mobil Arman terparkir di garasi seperti biasa. Rumah itu masih tampak megah dan rapi, seakan tak ada badai yang sedang mengintai di dalamnya.

Namun dada Arga terasa sesak. Setiap langkah menuju pintu seperti berjalan di atas bara.

Ia menekan bel. Tak lama, pintu terbuka.

Arman berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja putih dan celana panjang gelap. Wajahnya datar, sulit dibaca. Tapi mata itu mata yang tajam dan penuh perhitungan menatap Arga seperti pisau.

“Masuk,” ucap Arman pelan.

Arga melangkah masuk. Suasana di dalam rumah itu dingin, bukan karena pendingin ruangan, tapi karena aura yang menggantung di udara. Tak ada suara televisi. Tak ada musik. Hanya kesunyian.

Mereka duduk di ruang tamu. Arman menyalakan sebatang rokok, mengisapnya perlahan.

“Arga,” ucapnya akhirnya, “berapa lama kamu kenal Kalista?”

Arga menelan ludah. “Baru beberapa bulan…”

“Dan selama itu… kalian berhubungan diam-diam?”

Arga tak bisa menjawab. Diam adalah satu-satunya pilihan.

Arman menghembuskan asap, matanya masih tajam. “Dia pacar kamu?”

“…Iya.”

“Pacar?” Arman tertawa kecil, lalu wajahnya berubah dingin. “Kamu tahu siapa dia sebenarnya?”

Arga menunduk.

“Dia bukan cuma wanita penghibur biasa. Dia perempuan yang Om bawa dan biayai hidupnya. Dari ujung rambut sampai kaki, semuanya Om yang urus.” Arman mengetukkan jarinya ke meja. “Dan kamu, keponakan Om sendiri, tidur dengan dia?”

“Aku nggak tahu di awal…” suara Arga parau. “Aku baru tahu belakangan. Tapi aku beneran sayang sama dia, Om.”

Arman tertawa getir. “Sayang? Kamu pikir cinta bisa jadi pembenaran buat ngerebut perempuan dari pamannya sendiri?”

“Kalista bukan milik siapa pun,” jawab Arga lirih tapi mantap. “Dia juga punya hak milih siapa yang dia mau cintai.”

Arman berdiri, menghentakkan tangan ke meja. “Dia milik Om! Kamu ngerti?! Om yang urus semua hidupnya!”

Arga ikut berdiri. “Kalista bukan barang! Dan dia udah milih aku!”

Sejenak keheningan menggantung. Nafas keduanya tersengal. Wajah tegang. Mata saling menatap tanpa gentar.

Akhirnya Arman menarik napas panjang, berbalik, berjalan ke jendela. “Kamu pikir hubungan kalian bisa bertahan, Ga? Setelah ini? Setelah semua Om tahu?”

Arga terdiam.

Arman melanjutkan, suaranya lebih tenang namun menusuk. “Kalista itu bukan perempuan baik-baik. Kamu pikir dia beneran cinta kamu? Dia cuma numpang hidup. Dan kalau dia bisa tidur sama pamannya sendiri, kamu pikir dia gak bisa ngelakuin hal yang sama ke pria lain?”

Ucapan itu menyayat. Tapi Arga tetap berdiri tegak. “Aku tahu dia. Aku kenal dia lebih dari sekadar omongan. Dia berubah karena aku. Dan aku percaya sama dia.”

Arman menoleh, tersenyum sinis. “Kamu bakal nyesel, Ga.”

Tanpa berkata lagi, Arga berbalik. Ia meninggalkan rumah itu tanpa menengok ke belakang.

Di jalan, pikirannya penuh badai. Tapi hatinya teguh.

Malam pun turun, menyelimuti langit dengan kegelapan. Di dalam apartemen, Kalista duduk menunggu. Saat pintu terbuka dan Arga masuk, ia langsung berdiri.

“Kamu… gak apa-apa?” tanyanya cemas.

Arga tersenyum, meski wajahnya lelah. “Dia tahu segalanya. Tapi aku juga udah bilang semuanya.”

Kalista menggenggam tangannya. “Kamu gak marah sama aku?”

Arga menggeleng. “Enggak. Tapi kita harus siap. Semua bakal berubah setelah ini.”

Kalista memeluknya erat, seolah tak ingin kehilangan. Arga membalas pelukan itu, menyandarkan dagunya di bahu Kalista.

Dalam gelap malam, mereka berdiri dalam diam. Tak ada kata yang bisa menggambarkan badai yang akan mereka hadapi. Tapi satu hal yang pasti, cinta mereka meski terlarang, telah tumbuh terlalu dalam untuk dipatahkan begitu saja.

1
Usmi Usmi
pusing baca nya SDH kabur tapi kumpul lg
Rindu Firdaus: Halo kak, makasih ya udah mampir dan baca karyaku /Smile/ oh iya kk nya pusing ya? sama kak aku juga pusing kenapa ya bisa kumpul lagi, biar ga pusing... yuk baca sampai habis /Chuckle/
total 1 replies
Usmi Usmi
seharusnya td Arga jujur aja
Usmi Usmi
kayak nya cinta jajaran genjang ya Thor 😂
Rindu Firdaus
Buat yang suka drama panas dan cinta terlarang, ini wajib dibaca. Ceritanya greget dari awal sampai akhir!
iza
Sudah nunggu dari kemarin-kemarin, ayo dong thor.
Kiritsugu Emiya
Habis baca cerita ini, aku merasa jadi karakter di dalamnya. Luar biasa, thor!
Dadi Bismarck
Jangan nggak baca, sayang banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!