Anatasya menyembunyikan identitasnya sebagai putri bungsu keluarga konglomerat dari suaminya. Ia membantu Adrian membuka perusahaan. Tapi siapa sangka ternyata Adrian tidak pernah mencintai Anatasya, dia bahkan jijik dengan bau amis yang melekat pada tubuh istrinya.
Suatu hari, Adrian menceraikan Anatasya dan mengungkapkan bahwa dia memiliki pacar, yaitu Clara, seorang wanita kaya dan cantik yang merupakan adik sepupu dari keluarga Santoso.
Anatasya merasa hancur dan terhina. Tasya akan membuat orang yang menyakiti nya membayar mahal dibantu oleh ketiga abangnya. Damian, Julian dan Rafael.
Ketiga Abangnya tidak akan membiarkan adik bungsu mereka terluka.
Bagaimana reaksi Adrian dan keluarga nya setelah mengetahui jika wanita yang selama ini mereka hina adalah putri konglomerat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Fans Fanatik
Pintu rumah Anatasya terbuka dengan kasar, menampilkan Rafael yang wajahnya merah padam. "Anatasya!" serunya dengan nada khawatir bercampur amarah, matanya langsung tertuju pada adiknya yang sedang terisak di sofa, dengan Damian yang berusaha menenangkan.
Melihat air mata Anatasya dan ekspresi Damian yang tegang, emosi Rafael semakin memuncak. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada khawatir pandangannya beralih pada Damian yang memandang dengan sorot tajam.
Belum sempat Anatasya menjawab, Damian sudah mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan layar yang penuh dengan komentar pedas dan ancaman.
"Lihat ini! Aku baru saja melihat postingan-postingan menjijikkan ini! Fans fanatik lo bilang Anatasya memberikan pengaruh buruk untuk mu! Apa maksudnya semua ini? Tasya hampir celaka gara-gara ini."
"Maaf Kak aku ga tahu." ucap Rafael pada Damian.
Damian mendengus mendengar jawaban Rafael.
Anatasya sudah tenang, menghapus air mata di pipi mulus nya.
"Siapa yang menyebarkan fitnah seperti ini? Kamu pasti tahu sesuatu!" tanya Damian.
Dari seberang telepon, suara Julian terdengar tegas dan penuh tekanan. "Kak, aku tahu siapa di balik semua ini. Sebentar aku akan pulang setelah menyelesaikan beberapa hal. Tetapi anak buahku sudah bergerak cepat, kita hanya tinggal menunggu laporan dari mereka saja."
Karena suara loudspeaker ponsel Damian, semua yang berada di ruangan itu mendengar dengan jelas ucapan Julian, termasuk Anatasya. Setelah berusaha menenangkan diri dan meredakan isaknya, akhirnya ia bersuara dengan nada dingin yang belum pernah didengar oleh kedua kakaknya. "Aku tahu siapa di balik ini semua."
"Siapa?" tanya Rafael dan Damian serempak, tatapan mereka penuh tuntutan tertuju pada adik kesayangan mereka.
Anatasya menarik napas dalam-dalam, sorot matanya mengeras. "Kalian pasti tahu." Ia menatap Damian dengan sedikit getir. "Siapa lagi yang begitu terobsesi ingin menjatuhkan ku sampai melakukan hal serendah ini?"
"Sial! Brengsek!" umpat Damian geram, tangannya mengepal kuat. Rafael yang sedari tadi menahan emosinya, kini mengerti betul ke mana arah pembicaraan Anatasya. Siapa lagi dalang di balik teror dan fitnah ini kalau bukan keluarga Pratama, terutama mengingat mantan suami nya Anatasya tidak menerima jika dirinya adalah putri keluarga Santoso, mereka terus saja menyangkal walaupun bukti sudah jelas.
"Mereka benar-benar sudah keterlaluan," desis Rafael dengan rahang mengeras. "Berani sekali mereka menyentuhmu, Anatasya." Nada suaranya rendah namun sarat akan kemarahan yang tertahan.
Damian merangkul Anatasya erat, mengecup puncak kepalanya dengan penuh sayang dan penyesalan. "Tenang Tasya, kakak akan selalu berada di sisimu dan melindungimu dari ancaman Adrian itu."
Anatasya mengangguk pelan di pelukan Damian. "Terima kasih kak. Aku beruntung memiliki kalian semua. Tapi mereka salah besar telah mengambil musuh. Menyakitiku sama dengan menyentuh jantung kalian." Ada keyakinan yang membara dalam setiap kata yang diucapkan Anatasya.
Rafael mengangguk setuju, matanya berkilat marah. "Mereka memilih lawan yang salah. Keluarga kita tidak akan pernah tinggal diam jika ada yang berani menyakiti salah satu dari kita, apalagi kamu, adik kesayanganku."
Ia berdiri, berjalan mondar-mandir dengan gelisah. "Kita harus bertindak. Kita tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut."
Damian melepaskan pelukannya dari Anatasya, tatapannya kini penuh tekad. "Rafael benar, kita tidak akan tinggal diam. Kita akan ungkap semua kebusukan mereka dan membuat mereka membayar atas apa yang telah mereka lakukan." Ia menggenggam tangan Anatasya dan Rafael, seolah menyalurkan kekuatan dan solidaritas di antara mereka.
"Mereka pikir bisa mengusik hidup kita tanpa konsekuensi? Mereka salah besar."
Ketiga bersaudara itu saling bertukar pandang, sebuah tekad yang sama berkobar di mata mereka. Keluarga Pratama telah membangunkan singa yang tertidur. Mereka tidak tahu bahwa di balik sosok Anatasya yang lembut, ada tiga kakak laki-laki yang siap melakukan apapun untuk melindunginya. Dan kali ini, mereka akan menghadapi amarah yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Suara dering ponsel yang tiba-tiba berdering itu seolah memecahkan kehangatan yang sedang terjalin di balik persaudaraan mereka.
Anatasya meraih ponselnya, menatap nama "Adrian" yang tertera di layar dengan raut wajah yang langsung mengeras.
"Halo," jawab Anatasya, suaranya datar namun menyimpan ketegangan yang tak bisa disembunyikan sepenuhnya.
"Kamu sudah dengar berita, Sya?" tanya Adrian dari seberang sana, nada suaranya sinis dan penuh kemenangan yang tersembunyi.
"Mau mu apa?" balas Anatasya, berusaha menjaga intonasi suaranya agar tidak terpancing. Ia tahu betul, Adrian tidak pernah menelepon tanpa maksud terselubung.
"Aku hanya ingin kamu sadar kenyataan. Jangan kira setelah kamu berhasil tidur dengan Rafael, jadi kamu bisa melawanku seperti ini. Kalau pun aku mau, aku punya puluhan ribu cara untuk menghancurkan reputasimu," ucap Adrian, terdengar suara korek api menyala dan hembusan napas yang mengiringi asap rokoknya.
Kata-katanya bagai belati yang diarahkan tepat ke ulu hati Anatasya.
Anatasya tertawa hambar, sebuah kekehan tanpa humor yang justru menyimpan amarah yang tertahan. "Begitu, ya?" tantangnya balik, matanya menatap tajam ke arah jendela, seolah Adrian bisa melihatnya.
"Lihat saja. Setelah malam ini, Rafael pasti akan membencimu. Jadi, ini karena kamu sudah menyinggung harga diriku," ancam Adrian, suaranya semakin dingin dan penuh keyakinan akan rencananya.
Tanpa menjawab lagi, Anatasya memutuskan panggilan sepihak. Ia menurunkan ponsel dari telinganya, napasnya sedikit tersengal.
Rafael, yang sedari tadi hanya diam mengamati, kini menatap Anatasya dengan sorot mata penuh tanya dan kekhawatiran. "Dia ganggu kamu lagi?" tanyanya lembut, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Anatasya.
Anatasya menghela napas berusaha menahan gejolak emosi. "Cuma bicara omong kosong," jawab Anatasya, berusaha meremehkan ancaman Adrian, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia tahu Adrian tidak pernah main-main dengan kata-katanya.
"Apa perlu kita kasih pelajaran?" Damian mengungkapkan pendapatnya, nada suaranya menunjukkan keseriusan dan keinginan untuk melindungi sang adik.
Anatasya tersenyum tipis, sebuah senyum dingin yang tidak mencapai matanya. "Serang titik lemahnya, mana cukup hanya memberinya pelajaran," ucapnya, tatapannya menerawang, seolah sudah menyusun rencana di benaknya.
Rafael, yang sedari tadi menyimak percakapan mereka, mengerutkan kening. Ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar "memberi pelajaran" yang direncanakan Anatasya.
Tiba-tiba, Anatasya menepuk dahinya, seolah baru mengingat sesuatu. "Oh ya, Kak, bukannya Kakak punya tanah terbengkalai?"
Damian mengangguk pelan. "Ya, awalnya tanah itu mau dipakai untuk komersial. Tapi dijadikan lahan pertanian oleh petinggi. Dan sekarang mengalami penyusutan parah." Ada nada getir dalam suaranya saat mengucapkan kalimat terakhir.
"Sangat sedikit yang tahu tentang ini. Bagaimana bisa kamu tahu?" tanya Damian, menatap adiknya dengan rasa ingin tahu yang besar. Informasi ini memang sangat rahasia, bahkan di kalangan internal keluarga Santoso.
Anatasya menatap Damian dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku satu-satunya putri keluarga Santoso. Bagaimana bisa aku tidak tahu?" jawabnya, menyiratkan bahwa ada banyak hal yang tidak diketahui orang tentang dirinya dan posisinya dalam keluarga.
Damian terdiam sejenak, mencoba mencerna jawaban Anatasya. Kemudian, seolah mengerti ke arah mana pikiran kakaknya tertuju, ia bertanya, "Terus kamu mau apa? Bohongi Adrian untuk beli tanah itu?"
Rafael menatap Anatasya dan Damian bergantian. Ia mulai memahami bahwa Anatasya memiliki rencana yang lebih rumit dan strategis untuk menghadapi Adrian. Tanah terbengkalai itu pasti memiliki nilai tertentu yang bisa dimanfaatkan. Namun, ia juga merasakan kekhawatiran. Rencana Anatasya terdengar berbahaya dan berisiko.
"Betul. Minta media untuk menyebarkan berita, katakan saja nilai tanahnya itu akan naik cukup tinggi. Siapa yang bisa memiliki tanah itu, maka dia bisa bekerja sama dengan keluarga Santoso," ujar Anatasya, matanya berkilat penuh perhitungan. Ia tahu betul, iming-iming kerja sama dengan keluarga Santoso akan menjadi daya tarik yang sulit ditolak oleh Adrian, yang haus akan kekuasaan dan pengaruh.
"Oke," jawab Damian singkat, mengerti sepenuhnya rencana licik adiknya. Ia sudah terbiasa dengan intrik bisnis keluarga Santoso dan siap menjalankan peran yang diberikan.
Anatasya melirik ke sekeliling ruangan, menyadari bahwa Rafael sudah tidak ada di sana. Ia tidak tahu sejak kapan pria itu pergi, pikirannya terlalu fokus pada rencana pembalasannya terhadap Adrian. Namun, sedikit rasa bersalah menyelinap di hatinya karena tidak menyadari kepergian Rafael.
'Adrian, permainan kita baru saja dimulai,' batin Anatasya, sebuah senyum tipis dan dingin terukir di bibirnya. Ia merasa energinya kembali terpompa, siap menghadapi musuhnya dengan strategi yang telah ia susun.
Belum sempat Anatasya sepenuhnya menikmati perasaannya, ponselnya kembali berdering. Kali ini, nama "Winda Pratama" tertera di layar. Anatasya menghela napas panjang. Sepertinya, keluarga Pratama memang tidak akan membiarkannya memiliki hari yang tenang.
"Besok pukul 03.00 sore, aku tunggu di kafe. Kita buat kesepakatan," ucap Winda dari seberang sana, nada suaranya datar dan tanpa basa-basi.
Anatasya mengerutkan kening. Kesepakatan seperti apa yang diinginkan adik Adrian?
Pertemuan ini pasti tidak akan berjalan baik. Namun, Anatasya tidak gentar. Ia akan menghadapi setiap tantangan yang datang, terutama yang berasal dari keluarga Pratama.
...----------------...