Key, gadis kota yang terpaksa pindah ke kampung halaman yang sudah lama ditinggalkan ayahnya. Hal itu disebabkan karena kebangkrutan, yang sedang menimpa bisnis keluarga.
Misteri demi misteri mulai bermunculan di sana. Termasuk kemampuannya yang mulai terasah ketika bertemu makhluk tak kasat mata. Bahkan rasa penasaran selalu membuatnya ingin membantu mereka. Terutama misteri tentang wanita berkebaya putih, yang ternyata berhubungan dengan masa lalu ayahnya.
Akankah dia bisa bertahan di desa tertinggal, yang jauh dari kehidupan dia sebelumnya? Dan apakah dia sanggup memecahkan misterinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kiya cahya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Misterius di Gerbang Sekolah
Saat kami menunggu di pos, terlihat mobil bu Marni dari jauh. Yes, akhirnya datang juga sebelum mama menjemput.
"Ayo, Nis. Kita samperin bu Marni," jawabku.
"Yakin kamu berani pinjam kuncinya?" tanya Nisa meragukanku.
"Ayo, kita masih ada waktu beberapa jam buat mengungkap. Sebelum mama menjemputku nanti."
Kami berlari menuju parkiran, tempat mobil Bu Marni biasa terparkir di sana. Tapi ternyata tak ku temui sosoknya.
"Eh, tadi bu Marni kemana ya? Kayaknya ke parkiran tapi sekarang kok cuma ada mobilnya di situ?" tanyaku pada Nisa.
"Mungkin ke ruang guru, ayo cepet sebelum rapat dimulai."
"Ayo lari, Nis. Kamu masih kuat kan? Kok sepertinya wajahmu agak pucat?"
"Gak papa, mungkin agak cape aja," jawab Nisa menenangkanku.
"Kamu tunggu sini aja, aku yang cari Bu Marni," kataku meyakinkannya.
"Baiklah, aku duduk di taman depan perpus ya. Maaf."
Wajah Nisa pucat sekali, mungkin karena dia kelelahan main kucing-kucingan mencari bukti hari ini. Maafkan aku Nis, karena rasa penasaranku menjadikanmu seperti sekarang.
Aku mencari bu Marni di ruang guru, tapi tak ku temui di sana. Apa mungkin sudah dimulai rapat gurunya? Ya, sudahlah. Aku kembali ke Nisa saja.
Tapi saat melewati aula, aku melihat Bu Marni di depannya. Sambil mengusap pipinya. Apa itu air mata? Air mata bahagia atau malah penyesalan yang dirasakannya?
Ya sudahlah, kutemui saja. Semoga memang bukan dia pelakunya.
"Selamat pagi setengah siang, Bu. Maaf mengganggu," ucapku mengejutkannya.
"Eh, iya ada apa? Kok belum pulang?"tanyanya sambil menaikkan sebelah alis.
"Saya masih menunggu jemputan, bu. Bolehlak saya meminjam kunci perpus sambil menunggunya?" tanyaku hati-hati, berharap tidak membuatnya marah karena aku juga belum begitu mengenalnya.
"Oo, iya. Ini kuncinya. Nanti kalau sudah selesai, jangan lupa di kunci lagi ya," ucapnya dengan menyerahkan kunci dengan gantungan bentuk buku dengan sampul warna kuning.
"Terimakasih, bu. Nanti kalau sudah dijemput, dan ibu belum selesai rapat bagaimana?"
"Letakkan saja di gantungan kunci-kunci yang ada di pos satpam."
"Siap, Bu. Sekali lagi terimakasih."
Setelah bercakap sebentar dengannya, sepertinya aku merasa dia orang baik. Dengan badan yang sedikit gemuk, kulit putih, jilbab panjang, dan murah senyum membuat dia tak terlihat seperti seorang yang tega menyakiti orang lain.
Semoga saja itu benar. Sepertinya tak tega juga menuduh bu Marni dengan setiap keramahannya.
Aku berlari ke perpus untuk mencari Nisa. Sampai di dekat pos, aku seperti melihat seseorang sedang mengintai. Seorang laki-laki setengah tua menempelkan wajahnya di sudut gerbang.
Apa yang dilakukannya ya? Biar sajalah, yang penting aku sudah mendapatkan kunci ini. Dan ada hal lain yang lebih penting yang harus diurus hari ini.
"Hai, Nis. Lama ya nunggunya?" tanyaku mendekati Nisa.
"Gak papa, dah dapet kuncinya? "
"Iya, nih kuncinya. Oiya, tadi aku liat ada orang gak jelas yang kayak mengintai sekolah kita gitu," ceritaku padanya.
"Maksudnya polisi? Kayaknya dah pada pulang tadi? Apa sengaja mengintai diam-diam?"
"Kayaknya bukan deh klo polisi. Soalnya dari postur tubuhnya kurang pas klo jadi polisi. Oiya, kamu gimana keadaannya?"
"Aku dah baikkan, mungkin karena tadi pagi gak sarapan jadi agak lemes aja. Cuma sekarang dah mendingan setelah duduk sebentar," jelas Nisa sambil mengangkat tangan menirukan atlit angkat besi.
"Hahaha.... Pas tu, klo jadi binaragawati. Eh, aku ada sepotong roti klo kamu mau. Biasa, mama tu selalu siapin bekal plus roti yang dibelinya. Takut aku jajan sembarangan soalnya. Gpp makan aja, aku dah kenyang banget. Klo kamu nolak, brarti kamu nolak rejeki lo," ucapku dengan sedikit memaksa.