Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.
Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.
Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seharusnya Ia Menoreh Luka
Hari-hari Elena di Petunia Hill terasa panjang dan sunyi. Clara memastikan semua kebutuhannya terpenuhi, seperti pakaian baru, makanan mewah, bahkan ruang baca pribadi. Semua tampak seperti perlakuan seorang tuan rumah baik hati.
Namun di balik itu, Elena tahu dirinya tetaplah tahanan. Kamera tersembunyi selalu mengawasi, pintu kamar tetap terkunci setiap malam, dan setiap langkahnya terasa diatur.
Yang paling membingungkan adalah Adrian sendiri.
Kadang ia muncul dengan tatapan dingin, penuh ancaman, seakan siap menghancurkannya kapan saja. Tapi di saat lain… ia hadir dengan perhatian yang nyaris membuat Elena goyah.
Siang itu, Elena sedang duduk di taman, mencoba menulis sesuatu di buku catatannya. Sebuah kebiasaan lama yang ia gunakan untuk bertahan. Jari-jarinya bergetar setiap kali pena menyentuh kertas, seolah setiap kata adalah upaya mempertahankan kewarasan.
Adrian tiba-tiba muncul, berjalan pelan menyusuri jalan setapak berbatu. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, membuatnya tampak lebih manusiawi daripada sosok dingin yang biasa Elena lihat.
“Apa yang kau tulis?” tanyanya, suaranya begitu tenang.
Elena cepat menutup buku itu, matanya menatap tajam. “Bukan urusanmu.”
Adrian berhenti di hadapannya, menatap lekat. Lalu, tanpa izin, ia meraih buku itu dari tangan Elena.
“Jangan!” Elena berusaha merebutnya kembali, tapi Adrian lebih cepat. Ia membuka halaman pertama, membaca beberapa baris.
Di sana tertulis kalimat-kalimat pendek penuh luka.
Aku terjebak. Aku ingin lari. Tapi bahkan dalam mimpiku, dia selalu ada.
Adrian menutup buku itu perlahan. Bukannya marah, senyum tipis justru muncul di wajahnya. “Jadi aku bahkan menghantui mimpimu?”
Elena menatapnya dengan tatapan menyipit. “Kau menghancurkan hidupku, Adrian. Apa kau bangga dengan itu?”
Adrian menunduk, menatap Elena dari jarak dekat. “Tidak. Aku bangga karena kau masih bernapas karenaku. Tanpa aku, kau dan keluargamu sudah lenyap sejak lama.”
Elena tercekat. Kata-katanya seperti belati, menusuk dalam-dalam.
“Kenapa kau melakukan ini?” bisiknya lirih. “Kenapa aku?”
Adrian mengusap pipinya pelan dengan ibu jari. Sentuhan itu membuat Elena merinding, bukan karena kelembutan, melainkan karena kontradiksi yang menyakitkan.
“Karena hanya kau yang bisa membuatku merasa… hidup,” jawabnya tenang.
Elena memejamkan mata, air matanya jatuh. Kata-kata itu, meski terdengar seperti pengakuan cinta, justru terasa seperti jerat yang makin kuat mengekangnya. Luka yang ia rasakan bukan dari tangan Adrian, melainkan dari hatinya sendiri—karena ia takut suatu hari nanti akan mempercayai kata-kata tersebut.
.....
Senja merayap di Petunia Hill. Cahaya oranye menyinari dinding marmer, menciptakan bayangan panjang di sepanjang lorong. Elena duduk di tepi ranjangnya, menatap buku catatan yang kini kembali ada di tangan.
Ia menatap halaman kosong, pena tergenggam erat, tapi ia tak mampu menulis. Setiap kata seakan hilang ditenggorokan. Yang tersisa hanyalah gema suara Adrian siang tadi.
"Hanya kau yang bisa membuatku merasa hidup."
Kata-kata itu berputar di kepalanya, menimbulkan rasa mual sekaligus gemetar.
Pintu kamarnya diketuk. Kali ini bukan Adrian, melainkan Clara. Wajahnya tetap kaku saat masuk, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang berbeda, seolah ia sedang menimbang kata-kata yang tidak boleh diucapkan.
“Bagaimana hari Anda, Nona?” tanya Clara datar.
Elena menatapnya dengan mata merah. “Apakah dia selalu seperti ini?”
Clara diam sesaat, lalu berjalan mendekat. Ia menaruh nampan teh di meja kecil, kemudian duduk di kursi seberang Elena. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi nadanya merendah.
“Tuan Valtieri punya dua sisi. Sisi yang menakutkan, dan sisi yang tampak lembut. Kebanyakan orang mengira sisi lembut itu adalah harapan. Padahal itulah bagian yang paling berbahaya.”
Elena tertegun. “Kenapa?”
Clara menatap lurus ke matanya, dingin tapi jujur. “Karena luka dari kekerasan bisa sembuh. Tapi luka dari perhatian palsu akan tinggal di dalam hati selamanya.”
Kata-kata itu membuat dada Elena sesak. Ia memeluk buku catatannya erat, air mata kembali menggenang. “Aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan.”
Clara akhirnya menghela napas panjang, seakan kalimat berikutnya terlarang. “Tidak ada yang bisa bertahan di rumah ini tanpa kehilangan sesuatu dari dirinya. Pertanyaannya hanya… apa yang akan hilang lebih dulu, hatimu, atau kebebasanmu.”
...
Setelah Clara pergi, Elena duduk di depan cermin besar di kamarnya. Ia melihat pantulan wajahnya sendiri. Pucat, mata bengkak, bahu gemetar.
Ia mengangkat tangan, menyentuh refleksi itu, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Jangan percaya padanya… jangan.”
Namun di balik bisikan itu, ia tahu ada ketakutan yang jauh lebih besar. Ketakutan bahwa suatu hari nanti, ia akan mulai menunggu Adrian datang.
Dan saat hari itu tiba, luka yang tak terlihat akan berubah menjadi rantai yang tak mungkin dilepaskan.
.....
Hujan turun deras malam itu, membasahi kaca jendela besar di kamar Elena. Angin mengguncang tirai, menciptakan suara lirih yang membuat kesepian semakin menekan.
Elena berbaring di ranjang, tubuhnya menggigil meski selimut tebal menyelimuti. Kepalanya sakit karena terlalu banyak menangis. Air matanya sudah kering, tapi hatinya tetap berat.
Ketika pintu terbuka perlahan, ia langsung menegang.
Adrian masuk tanpa mengetuk, mengenakan kemeja gelap yang lengannya masih tergulung. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam meneliti Elena.
“Apa kau sudah makan malam?” tanyanya pelan.
Elena tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, enggan menatapnya.
Adrian berjalan mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Untuk beberapa detik, ia hanya diam, menatap Elena yang terbaring lemah. Lalu ia menghela napas pelan, hampir seperti manusia biasa yang menyingkirkan egonya.
“Kau sakit,” katanya. “Tubuhmu terlalu rapuh.”
Elena akhirnya menoleh, matanya berkilat penuh amarah bercampur air mata. “Kau yang membuatku rapuh, Adrian.”
Kalimat itu menusuk ruang di antara mereka. Namun bukannya marah, Adrian justru meraih selimut, menariknya lebih rapat ke tubuh Elena. Gerakannya lembut, kontras dengan ancaman yang selalu ia ucapkan.
“Tidurlah. Aku tidak akan biarkan siapa pun mengganggumu malam ini.”
Elena terdiam. Kata-kata itu… seharusnya menenangkan. Tapi justru membuatnya semakin takut. Karena untuk sesaat, hatinya merasakan sesuatu yang berbahaya. Seolah ada sisi Adrian yang benar-benar melindungi, bukan sekadar mengendalikan.
Ia membenci dirinya sendiri karena merasakan itu.
“Kenapa kau melakukan semua ini?” bisiknya lirih.
Adrian menunduk, menatapnya lama. Senyum samar muncul di wajahnya, tapi matanya tetap gelap. “Karena luka yang kuciptakan di hatimu adalah satu-satunya cara agar kau tidak bisa melupakanku.”
Elena menutup mata, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
Dan malam itu, di antara kelembutan semu dan ancaman tersembunyi, ia merasakan luka tak terlihat yang jauh lebih menyakitkan daripada rantai besi mana pun. Luka yang membuatnya takut pada dirinya sendiri.