Kepercayaan Aleesya terhadap orang yang paling ia andalkan hancur begitu saja, membuatnya nyaris kehilangan arah.
Namun saat air matanya jatuh di tempat yang gelap, Victor datang diam-diam... menjadi pelindung, meskipun hal itu tak pernah ia rencanakan. Dalam pikiran Victor, ia tak tahu kapan hatinya mulai berpihak. Yang ia tahu, Aleesya tak seharusnya menangis sendirian.
Di saat masa lalu kelam mulai terbongkar, bersamaan dengan bahaya yang kembali mengintai, mampukah cinta mereka menjadi perisai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Para pegawai yang melihat Aleesya datang bersama Victor sontak heboh. Bisik-bisik langsung terdengar di antara mereka, sebagian menatap heran, sebagian lagi iba melihat Aleesya yang tampak berusaha tegar. Sepertinya kabar mengenai pertengkaran Aleesya yang memergoki Maxime bersama Vira sudah menyebar.
"Aleesya! Kau datang?" tanya Tony melihat teman kantornya itu namun juga terkejut melihat Victor berdiri di belakang Aleesya. "Hai bro!” sapa Victor, suaranya terdengar lebih ringan dari biasanya, seolah sengaja menutupi ketegangan. “Mulai hari ini Aleesya resmi berhenti bekerja di Lenz Property!”
Victor tersenyum sambil menunggu Aleesya memberesi barang-barangnya.
"Maafkan aku jika aku ada salah dengan kalian teman-teman." ucap
Aleesya menatap Tony, Grace, dan Marline dengan suara yang tulus. Victor berinisiatif mengambil box berisi barang-barang Aleesya dari tangan wanita itu. "Aleesya! Bersabarlah. Aku yakin bos akan mendapat balasannya." Grace melangkah mendekati Aleesya dan memeluknya erat, bahunya ikut bergetar menahan haru. "Itu benar! Tegarlah, Sya. Kami selalu mendukungmu." imbuh Marline menepuk bahu Aleesya. Sementara Tony juga menatap Aleesya. Wanita itu baru saja ingin tersenyum, namun wajahnya langsung kaku saat Tony menaruh selembar undangan di tangannya.
"Mereka bahkan sudah menyebar undangan pernikahan untuk bulan depan." ucap Tony memberikan undangan atas nama Aleesya membuat wanita itu tersenyum miris. "Cih! Dasar tidak tahu malu!" Victor mengambil undangan itu dengan raut sedikit kesal, "kita harus datang, kau harus membuktikan bahwa kau bisa tanpa dirinya!" lanjutnya.
"Victor benar. Tabahlah... jangan mau di bodohi lagi oleh seorang pria. Ku harap kita bisa selalu menjadi teman baik." balas Tony menepuk bahu Aleesya pelan. Wanita itu mengangguk, sorot matanya dipenuhi kekuatan dan semangat yang membuatnya nampak segar. "Pasti, Tony. Hubungi saja jika ada apa-apa, setelah ini aku bekerja di tempat Victor." ujar Aleesya sedikit menyenggol lengan Victor, membuat suasana tidak terlalu menyedihkan.
"Baiklah sekarang kita temui bosmu," ucapan Victor terhenti karena saat mereka berbalik, orang yang mereka tuju sudah berada di daun pintu. "oh kebetulan sekali."
"Berikan suratmu padanya." ujar Victor menunjuk Maxime dengan dagunya. "Aleesya-" Maxime mencoba bersuara namun Aleesya langsung menyela. Tangannya mengepal diam-diam, menahan emosi yang mendesak keluar. "Selamat pagi, Pak Maxime. Saya ingin memberikan surat pengunduran diri saya. Terima kasih sudah menerima saya untuk menjadi anggota di Lenz Property, semoga pernikahan bapak lancar. Saya undur diri, permisi," ucapnya setelah memberikan surat itu.
Maxime membeku, wajahnya memucat, tapi sorot matanya masih menuntut jawaban. Namun ia cepat-cepat menghentikan langkah Aleesya yang menggandeng Victor ingin pergi. "Pecundang!" ejek Victor dengan tersenyum miring namun tak dihiraukan sama sekali, Victor juga segera menepis tangan Maxime yang akan memegang bahu Aleesya, membuat langkahnya terhenti.
"Tinggalkan dia sendiri! Kau tidak ada urusan lagi dengannya bodoh!" Aleesya malah menggerutu sambil menghentakkan kakinya, "Victor! Cepatlah! Kita masih harus menemui Noah! Tidak usah meladeninya!" Aleesya menarik tangan Victor sedikit kasar, mengabaikan Maxime yang masih terus memanggil namanya. Ia akui perasaan itu masih ada, namun ia harus realistis... pengkhianatan itu menjadi bukti bahwa pria yang melakukan itu tak pantas menjadi pasangan hidupnya.
"Bajingan gila! Berengsek!" umpatnya sambil masuk ke dalam mobil, disusul Victor yang membuka pintu belakang untuk memasukkan barang-barang Aleesya, kemudian menutupnya lalu duduk di kursi kemudi. "Blokir nomornya atau dia akan mengganggumu! Tidak tahu diri sekali!" tambah Victor yang juga kesal sambil menyalakan mesin mobilnya lalu menuju mal. "Sudah... semalam. Victor, aku benar-benar pusing menghadapi ini semua. Bisakah aku sedikit lebih lama di Nuxvar?” tanya Aleesya menopang dagu, kepalanya menyender di bahu kursi dengan mata menatap keluar jendela.
"Tentu. Tapi kalau Om dan Tante nanya gimana?" tanya Victor menatap sekilas sahabatnya. "Aku akan menceritakannya sendiri, moodku benar-benar hancur." jawabnya memejamkan mata. Hening beberapa saat, kemudian Victor menengok Aleesya saat mobil mereka berhenti di lampu merah. "Sya, jangan menangis." tangannya reflek terulur memegang tangan Aleesya, sedangkan bahu wanita itu sudah bergetar dengan tangan kiri menutupi wajah. Udara dingin dari AC pun tak sanggup menenangkan dada Aleesya yang sesak.
"Sulit Vic...! Sial! Tiga tahun Victor... aku memang belum ingin menikah, tapi bukan berarti aku tidak akan menikah! Sial! Aku benar-benar mencintainya, tapi dia dengan mudahnya menghancurkan kepercayaanku." Aleesya menggeleng, menangis lagi. Victor hanya diam, menghela napas. Tatapannya kosong ke arah jalanan berusaha menahan amarah sambil mengeratkan genggaman tangan mereka, membiarkan wanita itu menangis untuk melampiaskan perasaannya.
Di waktu yang sama, di sebuah ruangan rapat dengan pencahayaan temaram, Nathan duduk di kursi utamanya. Tangannya memegang laporan keuangan dan grafik penurunan saham Lenz Property. Ia juga menatap layar monitor dengan kening berkerut.
"Lenz Property?" gumamnya pelan, jemarinya mengetuk meja marmer hitam di depannya. "Tiba-tiba sekali.. kenapa perusahaan itu diserang oleh Victor?" Ia membalik kertas laporan investigasi terakhir kali, disana tertera satu miliar rupiah baru saja disuntikkan ke Lenz sebulan lalu. Pergerakannya stabil, tidak ada indikasi sabotase dari dalam namun kini grafik sahamnya menurun tajam dalam satu malam.
Nathan menarik napas, lalu menekan tombol panggilan di ponselnya.
"Victor.."
Suara di seberang terdengar tenang namun Nathan bisa menangkap nada penuh kalkulasi. "Ayah sudah melihat laporan?" tanyanya sesaat, "aku hanya mengimbangi apa yang mereka hancurkan lebih dulu, Yah."
Pria paruh baya yang mulai terlihat kerutan halus namun masih tetap bugar itu tersenyum tipis setelah mendengar penjelasan lebih lanjut dari putranya
"Kau benar-benar mewarisi caraku, Nak. Melumpuhkan dari dalam tanpa meninggalkan jejak."
Setelah panggilan berakhir, Nathan bersandar di kursinya. Tatapannya mengarah ke jendela tinggi yang menampilkan pemandangan siang kota. Ia menekan nomor lain. "Ferdinan," suaranya kembali datar, namun dingin. "Kita lanjutkan pembahasan terakhir kali. Aku akan membantumu mengelola kebun," sebentar, ia berhenti... lalu melanjutkan dengan nada ambigu "dan tentang Aleesya, aku rasa sekarang adalah waktu yang tepat."
---
Langit sore mulai berubah gradasi jingga keunguan di atas perkebunan anggur milik keluarga Ferdinan. Angin membawa aroma tanah basah dan daun muda yang baru disiram. Di teras rumah utama, Ferdinan berdiri menatap jauh ke arah kebun yang sekarang kembali produktif pasca masa-masa sulit beberapa bulan lalu.
Ayah dari Aleesya itu baru saja menutup berkas laporan hasil panen saat dering ponselnya memecah keheningan. Nama yang muncul dilayar membuat langkahnya terhenti, Nathan Scott.
"Sudah lama dia tidak menelepon," gumamnya lirih, menggeser icon berwarna hijau.
"Ferdinan," suara Nathan terdengar rendah namun tenang di seberang. "Ku pikir kau sudah lupa jalan ke kebunku." balas Ferdinan ringan. Tawa kecil Nathan terdengar samar, "Aku menelepon bukan tanpa alasan, Fer. Kau tahu itu." suara itu terdengar penuh maksud.
Ferdinan menarik kursi di belakangnya, kemudian duduk menatap pemandangan sore di depannya. "Aku tahu itu. Jadi, ada apa?"
Keheningan memenuhi udara saat Nathan lama merespon pertanyaan sahabatnya itu, "Mengenai kebunmu, kau bilang sudah aman?" Ferdinan menegakkan badannya, "Sudah, ini berkat bantuanmu waktu itu. Hama-hama itu sudah musnah semua, bahkan Inggrid nampak berbinar melihat hasil panen kami. Kau tak perlu khawatir, semua berjalan sesuai rencana."
"Bagus," sahut Nathan pelan, "karena kali ini aku ingin membahas mengenai hal lain. Tentang putraku... dan putrimu." Ferdinan sedikit terkejut, jantungnya berdetak sedikit cepat tapi ia bisa mengontrol napasnya. "Aleesya?"
"Ya. Aku baru saja mendapat laporan dari Victor. Sesuatu telah terjadi padanya, dan... itu cukup membuat Victor bertindak di luar kebiasannya." di seberang sana, Nathan memainkan bibir cangkir dengan jari telunjuknya."
Ferdinan tak langsung menjawab, suara serangga sore mulai muncul samar dari kejauhan. "Kalau Victor sampai ikut campur, berarti ini bukan hal sepele."
"Benar." jawab Nathan singkat. "dan karena itu, aku pikir... pembahasan terakhir kita perlu segera dilanjutkan." imbuhnya dengan suara tegas, "Pembahasan terakhir?" Ferdinan menatap kosong ke arah kebun di depannya seolah mengingat hal yang di maksud namun pikirannya justru melayang ke arah lain.
"Kau tahu maksudku," Nathan meletakkan satu tangannya di atas meja, suaranya menurun, datar tapi mengandung makna, "dua ranting yang pernah tumbuh dari batang yang sama... kini waktunya bersatu kembali."
Kesenyapan memenuhi teras, hawa dingin yang di bawa oleh angin mulai menyapa kulit tubuh Ferdinan. Pria itu masih menatap jauh, kemudian tersenyum tipis. "Kau benar-benar tidak berubah, Nathan. Selalu tahu kapan harus menggerakkan bidak."
Lagi, suara Nathan terdengar ringan. "Aku hanya membaca situasi." jawabnya sebentar, "dan kali ini, ku rasa perasaan akan menjadi sekutuku."
Panggilan berakhir, menyisakan Ferdinan yang masih setia memegang ponsel dengan ekspresi yang sulit di baca, antara terkejut, ragu, dan... penasaran.
***