"Hai apa yang kalian lakukan di sini?"
"Ka ... ka ... kami tidak," belum selesai ucapan Rara.
"Pak ini tidak bisa di biarkan, udah seret saja mereka berdua ke rumah pak ustad secarang."
"Perbuatanya membuat malu kampung ini." sahut salah satu warga lalu menyeret gadis di dalam tidak lupa mereka juga menarik pria yang ada di dalam kamarnya.
"Jangan ..., jangan bawa kakakku." Teriak gadis berusia belasan tahun memohon pada warga yang ingin membawa kakaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lorong kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Untuk pertama kalinya Rara di hukum. Nina sangat terkejut mengetahui dari teman-temannya jika sang kakak berkelahi di sekolah. Apa lagi ketika mengetahui semua berawa dari kertas dan foto yang menghinanya. Sedih, pikiranya kembali mengingat kejadian yang tak di inginkan oleh kakaknya.
"Kak, Nina bantu yah?"
"Udah tidak usah. Kamu pulang aja dulu, kasihan Dino."
"Tapi kak ...,"
"Nin, Kakak baik-baik aja. Udah, sana." usir Rara halus.
Seseorang menepuk pundah Nina. "Ada aku di sini, kakakmu pasti aman."
"Kak Aurora,"
"Udah sana pulang. Kasihan adikmu, dia pasti bingung jam segini kamu belum sampai." jelas Aurora menasehati Nina.
"Baiklah. Kak, Nina pulang dulu yah."
"Iya, kamu hati-hati." Nina menganggu lalu melambaikan tanganya. Rara memperhatikan sampai sosok Nina tak terlihat lagi.
"Gimana kesan pertama di hukum?" ledek Aurora mengambil alat pel.
"Ngledek ni," sungut Rara tanpa menoleh.
"Hahaha .... Sekelas Rara di hukum, sejarah baru tahu."
"Ya anggep aja tanda perpisahan di sekolah ini." timpal Rara yang justru membuat keduanya tertawa bersama.
Ha ... ha ... ha ...
"Iya ..., ya betul Ra. Perpisahan yang begitu manis."
"Ledek aja terus. sampai puas ...," sahut Rara. Keduanya terus saja saling melontarkan ejekan. Tak terasa hukuman yang di berikan sudah selesi. Sebelum Aurora pulang, dia mengantar Rara ke perpustakaan tempatnya bekerja.
Perpustakaan ALK Mars, bukan hanya perpustakan biasa. Ruko yang cukup lumayan besar, juga sangat terkenal dengan toko buku serba ada. Tetapi sekarang tidak semudah dulu akses masuk kesana, ada kartu keanggotaan.
Rara memasukan ransel kedalam loker. Kemudian dia berganti baju seragam dan memasang tag namanya di sisi kiri. Remaja itu juga tak lupa mengikat rambutnya agar terlihat rapih.
"Semangat Ra," ujarnya menyemangati menatap dirinya sendiri pada cermin.
"Ra baru datang?" tegur Rina.
"Eh ..., Iya kak Rin." sahutnya terkejut.
"Semangat! Hari ini lumaya ramai." terang Rina, dia mengambil tas ranselnya.
"Kakak sudah mau pulang?"
"Iya Ra, Jadwal kerjaku sudah selesai." jawab Rina terseyum sumringah kearahnya.
"Hati-hati di jalan kak." pesan Rara tulus seperti biasanya.
"Iya ..., Kakak duluan ya. Semangat Ra." Rina mengangkat tanganya berusaha menyemangati teman kerjanya.
Rara sudah berada di kasir tempatnya bekerja. Benar saja apa yang di katakan Rina tadi. Suasana hari ini berbeda dengan biasanya, melihat sekeliling pengunjung begitu ramai. Tapi ini perpustakaan seramai apapun tidak ada yang mengobrol. Mereka sibuk denga dunia masing-masing.
Orang keluar masuk berdatangan dengan kesibukan mereka. Ada yang hanya meminjam, ada yang membeli ada juga yang membaca. Berbagai macam yang datang tanpa ada yang mengganggu aktifitas masing-masing.
Hanya ada suara musik yang selalu di putar agar suasana nyamanan dan ketenangan. Di sana adalah tempat yang selalu di rindukan Rara untuk mencari ketenangan diri.
Di luar perpustakaan ada seorang remaja datang berbincang dengan satpam. Gadis itu memohon untuk masuk kedalam karena situasinya sangat darurat. Setelah menjelaskan akhirnya pria berseragam putih hitam yang akan masuk kedalam dan menyampaikan pada atasannya.
Menunggu dengan wajah cemas. Berjalan mondar mandir menengok kearah pintu, sosok yang di cari belum juga keluar. Saat ini waktu berjalan sangat lambat baginya.
"Rara bisa ikut ibu ke ruangan sebentar."
"Baik bu." sahutnya lirih dan mengangguk.
Didalam ruangan Bu kepala meminta Rara duduk. Bingung mau menjelaskan dari mana agar remaja itu tidak terkejut. Tetapi keadaan memang sangat urgent.
"Begini Ra," perempuan itu menarik nafas sebelum melanjutkan ucapanya. "Adikmu saat ini ada di rumah sakit. Ibu tidak tahu pasti kenapa? Lebih baik kamu pulang dulu ya," terangnya dengan pelan.
Deg!
Rara langsung mendongak menatapnya, bola matanya terlihat memerah memancarkan kesedihan. Pikirannya kalut, sedih tak banyak bertanya gadis itu langsung beberes pulang. Di depan perpustakaan Rara melihat Nina raut wajahnya begitu sedih. Baju yang di kenakan Nina juga saat ini masih ada noda darah.
"Kak ...," panggil Nina air matanya jatuh tak tertahan.
Hits ... hits ... tangis Nina pecah. Bahunya bergetar hebat berhambur memeluk sang kakak. Tangannya melingkar sangat erat. Suara berat seakan ada sesuatu yang menyekik tenggorokannya
"Din ... Dino."
Hits ... Hits
Rara mematung, pikirannya kosong namun tanganya mengusap punggung Nina lembut. Berusaha tetap tenang, walaupun sebenarnya dirinya juga sangat sedih.
Rara dan Nina kini sudah berada di rumah sakit, mereka berjaan beriringan dengan wajah cemas.
"Permisi sus, bagaimana keadaan adik saya?" tanya Rara kwatir
Suster itu mengenai Nina yang tadi datang dengan korba tabrak lagi. Suster itu memandang kasihan. "Dia di Bawa keruang operasi."
Jeder!
Bagai di sambar petir di siang bolong. Nina yang tahu betul kondisi Dino semakin terisak tangisannya.
Hits ... Hits ... Din ... Dino ... maaf ...,
Rara berlari menuju ruang operasi di susul oleh Nina. Rara berjalan mondar mandir menunggu kabar dari dalam. Sedangkan Nina gadis itu masih menangis, matanya sudah sangat bengkak karena tak berhenti menangis.
Ceklek!
"Dok, bagaimana keadaan adik saya." Rara mendekat mendengar pintu terbuka dan merlihat sosok Pria keluar dari ruangan itu.
"Apa adik keluarganya?"
"Iya dok saya kakaknya."
"Kondisi pasien sangat kritis. Dia membutuhkan donor darah, apa salah satu di atara kalian ada yang sama? Stok darah yang di butuhkan tida ada stok di rumah sakit ini." Jelasnya.
Rada dan Nina menggelang, semakin kawatir mendengar keadaan Dino. Apa lagi mereka tahu jika golongan darah keduanya memang tidak sama. Bingung mau apa yang harus di lakukan.
Dokter menghela nafas, berusaha mencari kata-kata yang sedikit menenangkan. "Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Tolong bantu dengan doa, kami juga akan berusaha mencarikan pendonor darah. Tapi maaf sebelumnya kalian harus mengurus administrasi terlebih dahulu. Agar pihak rumah sakit mengetahui jika kami memang benar-benar membutuhkan pendonor darah urgent." jelasnya panjang lebar, namun ada hal lain yang tidak sanggup di ucapkan sang dokter. Kemungkinan adiknya bertahan sangat tipis.
"Baik dok." sahut Rara tanpa berpikir panjang.
"Kak, uang dari mana?" ucap Nina cemas Isak tangisnya masih memenuhi ruangan itu.
Rara berjalan cepat menuju resepsionis mengurut administrasi. Namun, betapa terkejutnya dia mengetahui nominal angka yang tertera.
"100 juta!"
"Ya Allah uang dari mana?" dalam hati Rara menangis.
"Maaf mba, ini peraturannya. Jika dalam 24 jam belum bisa melunasi kami tidak bisa membantu lebih. Ini juga sudah banyak kebijakan dari pihak rumah sakit. Karena adik anda korban tabrak lari." jelas resepsionis ramah.
"Baik, akan saya usahakan secepatnya." jawab Rara.
Rara berjalan di koridor rumah sakit, pikirannya kosong bingung harus mencari uang dimana? Siapa yang akan membantunya dengan uang sebayak itu. Ditengah kebingungannya Tuhan seakan memberi petunjuk dengan mendengar percakapan seseorang.
"Apa kamu sudah menghubungi suaminya jika istrinya sudah melahirkan."
Percakapan orang itu mengingatkannya pada sosok Pria yang bertatus suami. Ragu namun tidak ada pilihan lain selain menghubunginya. Menekan tombol hijau nama kontak suaminya.
Kring ... Kring ...
Satu kali panggilan tak ada respon. Gadis itu tidak menyerah berusaha menghubungi untuk kedua kalinya.
Kring ... Kring ...
"Bro, handpone lo bunyi dari tadi nggak lo angkat?" ujar Devan menyeringai mengetahui nama kontak asing yang tidak pernah dia ketahui sebelumnya.
"Biarkan saja paling juga Vina." sahutnya santai dia kembali fokus pada laptopnya
"Ara." ucap Devan.
Reaksi Athur langsung berubah drastis, menambah kesan penasarannya. Tangannya meraih cepat benda pipih itu dan langsung menggeser tombol hijau.
"Hallo Ra ada apa?"
"Baiklah aku akan kesana. Kirim alamatnya sekarang!"
Devan melihat jelas raut wajah kwatir sahabatnya. Kecemasan dan kawatir jelas terpancar. "Mau kemana lo?"
"Van gua harus kerumah sakit sekarang. Tolong jangan beritahu Vina." pesan Athur.
"Lo hutang penjelasan?"
"Nanti gua akan jelaskan. Sekarang gua buru-buru sangat darurat. Lo ikut gua sekarang!"
Athur segera menyambar kunci mobil, dan bergegas pergi. Sepanjang perjalanan otaknya di penuhi berbagai bayang bayang buruk tentang adik iparnya. Walaupun mereka belum lama mengenal, namun kebersamaan mereka dan kebaikannya selama dia di sana begitu tulus.
kok bisa dinikahkan sih ?
Duh kasihan sekali masih muda 17 tahun sudah dinikahkan, terlalu muda sekali, mana suaminya juga baru kenal.....kok begitu sih ?😭