Aruna hanyalah perawat psikologi biasa—ceroboh, penuh akal, dan tak jarang jadi sasaran omelan dokter senior. Tapi di balik semua kekurangannya, ada satu hal yang membuatnya berbeda: keberaniannya mengambil jalan tak biasa demi pasien-pasiennya.
Sampai suatu hari, nekatnya hampir membuat ia kehilangan pekerjaan.
Di tengah kekacauan itu, hanya Dirga yang tetap bertahan di sisinya. Sahabat sekaligus pria yang akhirnya menjadi suaminya—bukan karena cinta, melainkan karena teror orang tua mereka yang tak henti menjodohkan. Sebuah pernikahan dengan perjanjian pun terjadi.
Namun, tinggal serumah sebagai pasangan sah tidak pernah semudah yang mereka bayangkan. Dari sahabat, rekan kerja, hingga suami istri—pertengkaran, tawa, dan luka perlahan menguji batas hati mereka.
Benarkah cinta bisa tumbuh dari persahabatan… atau justru hancur di balik seragam putih yang mereka kenakan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11.Bayangan mengancam?
Bruk!
Dirga jatuh menimpa Aruna. Mereka berdua ambruk, dengan tubuh Dirga tepat menghimpit tubuh Aruna. Bibirnya menempel di pipi gadis itu, hangat dan lembut, begitu dekat hingga Aruna bisa merasakan napasnya menyapu kulitnya.
Waktu seolah berhenti. Mata Aruna membesar, napasnya tercekat. Jantungnya berdegup kencang tak karuan, wajahnya langsung panas seperti terbakar. Dirga sendiri terpaku, bibirnya masih menempel samar di pipi Aruna, matanya menatap lurus ke wajah gadis itu dari jarak sedekat ini.
“G… Ga…” suara Aruna tercekat, matanya membesar penuh keterkejutan.
Napasnya tersengal, tubuhnya menegang seketika. Sekilas, bayangan gelap berkelebat dalam kepalanya—siluet wajah, nafas kasar, sentuhan paksa yang dulu merenggut paksa dunianya.
Aruna langsung bergetar. Tangannya menekan keras dada Dirga, mendorongnya sekuat tenaga. “Jangan… jangan sentuh gue!” suaranya pecah, panik, lirih tapi tajam.
Dirga terperanjat, buru-buru menyingkirkan tubuhnya, mundur sambil terengah. Matanya membelalak melihat Aruna gemetar hebat. “Run…” panggilnya hati-hati.
Aruna menutup wajah dengan kedua tangannya, tubuhnya bergetar keras. Air mata membasahi pipinya tanpa bisa ia tahan. Jantungnya berdebar cepat, napasnya memburu tak teratur, seolah ia kembali terjebak dalam ruang gelap yang menghancurkannya.
“Aku… aku nggak bisa… aku—” suaranya patah, penuh ketakutan.
Dirga menelan ludah, wajahnya berubah cemas. Ia ingin menyentuh bahu Aruna, tapi langsung menahan diri, takut reaksinya makin parah. Ia hanya duduk dekat, mencoba menenangkan lewat suara.
“Run… dengerin gue. Itu cuma kecelakaan. Gue nggak maksud… gue nggak akan nyakitin lo. Lo aman sama gue, lo percaya kan?”
Namun kata-kata itu hanya sedikit menembus tembok yang sudah terlanjur retak. Aruna masih tersedu, tubuhnya mengecil, seperti ingin lenyap.
Dirga mengernyit, naluri seorang psikolognya langsung bekerja. “Run… reaksi lo barusan, itu bukan cuma kaget biasa. Lo gemeteran, lo nangis tiba-tiba, lo dorong gue kayak gue bahaya buat lo. Itu… gejala trauma, Run. Lo sadar nggak?”
Aruna mendongak cepat, matanya memerah, air mata masih menetes. “Apa?!” suaranya meninggi, tajam. Ia berdiri setengah bangkit, marah bercampur panik. “Lo pikir gue pasien lo? Lo pikir gue sakit? Jangan samain gue sama orang-orang yang datang ke ruangan lo buat curhat! Gue bukan itu, Dirga!”
Dirga mengangkat kedua tangannya, berusaha menenangkan. “Gue nggak maksud ngerendahin lo. Gue cuma—”
“Cuma apa? Mau analisis gue? Mau bikin gue jadi bahan catatan lo?!” Aruna bergetar, nadanya penuh luka. “Gue cuma… gue cuma nggak suka disentuh mendadak, oke? Itu aja. Orang lain juga bisa kok ngerasa nggak nyaman kalau posisinya kayak tadi. Jangan bikin seolah gue ada masalah serius.”
Kata-kata itu terdengar logis, bahkan nyaris meyakinkan. Tapi getar di suaranya, tatapannya yang menghindar, tubuhnya yang kaku—semuanya mengkhianati alasan yang ia lontarkan.
Dirga menatapnya lama, ada ragu di matanya. Ia tahu ada sesuatu yang jauh lebih besar bersembunyi, tapi ia juga tahu kalau mendesak lebih jauh sekarang, Aruna akan benar-benar lari.
Akhirnya ia menarik napas panjang, melembutkan nada suaranya. “Oke. Gue salah ngomong barusan. Gue nggak akan bahas lagi.”
Aruna mengusap kasar air matanya, meski tangannya masih gemetar. Ia menunduk, berusaha menata napas yang berantakan. Dalam hati ia tahu Dirga belum sepenuhnya percaya dengan alasannya. Tapi ia juga tahu, kalau ia membuka luka itu sekarang… dinding yang susah payah ia bangun akan hancur dalam sekejap.
______
Malam itu mereka akhirnya memilih diam. Aruna meringkuk di sisi ranjang dengan selimut tipis, matanya masih sembap karena tangisan. Dirga tidak berusaha mendekat, hanya duduk tak jauh darinya, pura-pura sibuk membaca sesuatu di ponsel agar tak terlihat terlalu memperhatikan.
Suasana apartemen hening, hanya bunyi jam dinding yang terdengar. Ada banyak kata yang ingin diucapkan, tapi keduanya memilih membiarkan waktu mengalir. Hingga akhirnya, kelelahan mengalahkan segalanya—Aruna tertidur dengan napas teratur, Dirga pun akhirnya menyandarkan kepala di sandaran ranjang, matanya ikut terpejam.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aruna dan Dirga berjalan berjingkat pelan, langkah mereka hampir tak bersuara di lantai apartemen. Lampu temaram koridor masih menyala, jam dinding menunjuk pukul lima subuh. Aroma kopi sisa semalam samar tercium dari dapur, tapi keduanya tak berani mampir. Mereka saling melirik, menahan tawa kecil, seolah sedang melarikan diri dari rumah penjaga asrama.
Begitu pintu apartemen berhasil mereka tutup, keduanya serempak menghela napas lega.
“Ahhh… akhirnya bebas juga,” bisik Aruna sambil menepuk dadanya.
Dirga masih setengah menguap, matanya setengah terpejam. “Bebas apanya? Gue ngerasa lebih kayak narapidana kabur.”
Aruna menepuk lengannya, membuat pria itu mendengus. “Senyum dong, Ga. Baru pagi lo udah kayak pasien tipes. Bikin drop suasana.”
Dirga menoleh tajam, tatapan setajam jarum suntik. “Ya iyalah, lo enak udah rapi, wangi, bawa paperbag segala. Liat gue? Celana tidur ngatung, kaos lusuh, muka kusut. Kayak satpam shift malam yang belum pulang.”
Aruna terkekeh, menutup mulutnya agar tawanya tak menggema di parkiran. “Ya salah lo sendiri. Kalau gue tungguin lo mandi, dua mama rempong itu keburu bangun dan mulai interogasi model sidang KPK lagi. Mau?”
Dirga mendesah panjang, mengacak rambut sendiri. “Gue bakal dendam sih. Rasanya pengen banget balik, mandi air panas satu jam.”
Aruna berdecak, menurunkan paperbag yang ia bawa dan menunjukkannya ke wajah Dirga. “Tenang. Karena gue ini pasangan perjanjian paling baik hati, gue bawain baju ganti. Lengkap sama parfum biar lo nggak apek.”
“Dasar licik,” gumam Dirga sambil meraih paperbag itu dengan malas.
Sebelum pria itu sempat menyalakan mobil, Aruna dengan cepat meraih kunci dari tangannya. “Udah deh, gue aja yang nyetir. Lo terlalu ngantuk, takutnya malah mobil nyelonong masuk kali.”
Tanpa menunggu jawaban, Aruna berlari kecil ke kursi pengemudi. Dirga hanya bisa mendengus, membuka pintu penumpang dengan berat hati. “Nyetir jangan kebut-kebutan, Run. Gue masih pengen hidup.”
Aruna hanya menyeringai, memutar kunci mobil sambil berkata, “Kita lihat aja nanti.”
Suasana parkiran masih sepi, hanya ada deru samar mesin pendingin dan angin dingin subuh yang menusuk. Lampu-lampu neon berkelip redup, menambah kesan lengang.
Namun, dari balik lorong menuju tangga darurat, samar-samar berdiri sosok pria berpakaian serba hitam. Wajahnya sulit terlihat jelas, hanya matanya yang menatap tajam, mengikuti gerak langkah mereka.
.
.
.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kira - kira siapa nih yang udah mengintip Aruna dan Dirga di parkiran .Apa itu teman Aruna atau Dirga, atau penghuni aparteman atau mungkin yang lebih buruk itu adalah sosok peneror Aruna Selama ini??😲
Lanjut next Bab guys😊
Jangan lupa tinggalkan jejak yaa, like 👍🏿 komen😍 dan subscribe ❤dari kalian begitu berarti untuk aku🥰