Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11
Malam itu di rumah dinas Azhar
Di ruang keluarga, Dian duduk bersandar santai di sofa sambil memainkan ponselnya. Jemarinya sibuk mengetik balasan pesan, sesekali tertawa kecil melihat candaan teman-temannya di grup sosialita.
Tiba-tiba terdengar suara bruk! keras dari arah meja makan. Berliana, si bungsu, terjatuh dari kursi yang terlalu tinggi untuknya.
“Huhuhu… Mama cantik… Berliana mau ketemu Mama cantik…” rengek Berliana dengan suara terisak. Dari pelipisnya, darah menetes perlahan, membuat baju tidurnya ternodai.
Namun, bukannya panik, Dian justru mendengus kesal.
“Eh, kamu ini ya! Mama cantik, Mama cantik! Berapa kali kubilang, Nisa itu bukan mama kamu, dia cuma pembantu! Jangan bikin malu!” bentaknya tanpa sedikit pun bergeser dari tempat duduk.
Balqis, kakaknya, asyik bermain boneka tanpa peduli dengan tangisan adiknya. Dian? Ia malah kembali sibuk dengan ponselnya, seolah tidak ada apa-apa.
Saat itulah, Azhar baru pulang dari masjid setelah shalat isya berjamaah. Baru saja ia membuka pintu, matanya langsung membelalak melihat putrinya terduduk di lantai, menangis meraung dengan darah yang mengucur dari pelipisnya.
“Astaghfirullahaladzim! Berlian, Nak! Apa yang terjadi padamu!?” serunya panik. Sajadah di tangannya sampai terlempar sembarangan.
Azhar buru-buru menggendong putrinya. Berliana menempelkan wajahnya ke dada sang ayah sambil terisak.
“Papa… Berliana mau Mama cantik… Mama Dian jahat… Papa sakit…” rengeknya pilu.
Azhar berusaha menenangkan dengan penuh kelembutan.
“Shh… sabar ya, Sayang. Papa obati dulu lukanya biar cepat sembuh. Jangan nangis lagi, Nak.”
Ia lalu membuka kotak P3K dari lemari, membersihkan luka kecil itu dengan tangan gemetar. Hatinya teriris melihat anak sekecil itu merindukan kasih sayang seorang ibu yang seharusnya hadir.
Sementara itu, Dian hanya melirik sekilas. Tatapannya dingin, tidak ada rasa bersalah sedikitpun.
Dian menurunkan ponselnya sebentar, menatap sekilas ke arah Azhar yang sibuk mengobati Berliana dengan wajah tegang. Dengan nada sinis ia berkata pelan namun tajam menusuk,
“Ya Allah, Mas… lebay banget sih. Cuma jatuh dikit aja, kayak dunia mau runtuh. Anak-anak tuh memang begitu, nggak usah dipelihara kayak kaca.”
Ia kembali menatap layar ponselnya, jemarinya gesit mengetik, seolah tak peduli.
“Lagian, coba Mas pikir… kalau tiap luka kecil kayak gitu dibesar-besarin, kapan anak-anak belajar mandiri? Jangan manja terus, nanti makin nempel sama pembantu itu.”
Azhar menghentikan gerakannya sejenak. Rahangnya mengeras, menahan emosi yang hampir meluap. Ia menatap istrinya dengan sorot tajam, sementara Berliana makin erat memeluknya, tubuh mungilnya bergetar di dada sang ayah.
Azhar menarik napas panjang, berusaha meredam bara di dadanya. Tangannya masih lembut mengusap kepala Berliana, tapi tatapannya kini menajam ke arah Dian.
“Dian…” suaranya berat namun terkendali, “ini anakmu. Darah dagingmu sendiri. Jatuh sampai berdarah begitu bukan hal sepele.”
Ia berhenti sejenak, menahan nada suaranya agar tidak meninggi.
“Kalau kamu nggak bisa panik, setidaknya tunjukkan rasa peduli. Anak kecil butuh rasa aman dari ibunya, bukan kata-kata kasar.”
Azhar kembali menatap wajah pucat putrinya yang masih terisak, lalu berbisik menenangkan sebelum kembali menoleh pada istrinya.
“Jangan pernah samakan anak dengan mainan, yang bisa dibiarin rusak begitu saja. Kamu harus ingat tanggung jawabmu, Dianti. Aku nggak mau lagi dengar ucapan seperti tadi keluar dari mulutmu.”
Nada suaranya tenang, tapi tegas dan tajam bagaikan pisau yang menyayat, membuat suasana ruang keluarga membeku.
Dian mendengus keras, lalu meletakkan ponselnya dengan kasar di atas meja.
Brak!!
Ia bangkit berdiri, menatap Azhar dengan sorot mata penuh kejengkelan.
“Mas ini ya, selalu cari-cari kesalahan aku. Padahal aku ini udah cukup capek urus rumah, masih aja disalahin. Kalau cuma luka kecil begitu aja dibesar-besarin, aku yang disalahin lagi, disuruh jadi ibu sempurna lah apalah.”
Ia melipat tangan di dada, bibirnya tersenyum miring penuh sindiran.
“Kalau memang Mas nggak puas, ya sudah suruh saja si pembantu kesayangan Mas itu yang jadi ibunya sekalian. Bukannya selama ini Mas lebih percaya sama dia?” balasnya Dian yang meninggikan volume suaranya di hadapan suaminya.
Setelah berbicara cukup kasar, tanpa menunggu balasan, Dian berbalik dan melangkah masuk ke kamar. Namun, begitu melewati Balqis yang masih duduk dengan bonekanya, ekspresinya berubah. Senyum lembut tiba-tiba menghiasi wajahnya, tangannya mengelus kepala putri sulungnya penuh manja.
“Balqis, Sayang ayo tidur sama Mama, ya. Kamu anak pintar Mama, nggak kayak adikmu itu. Kamu kan tahu Mama selalu sayang sama kamu.” ucap Dianti lemah lembut.
Balqis menoleh singkat, tersenyum kecil, lalu menggandeng tangan ibunya. Mereka pun masuk ke kamar bersama, meninggalkan Azhar yang masih duduk di ruang keluarga, hatinya terasa remuk melihat ketidakadilan kasih sayang di rumahnya sendiri.
Beberapa menit kemudian, setelah anak-anak tertidur.
Azhar menghampiri istrinya. Dian masih asyik dengan ponselnya. Tanpa bicara sepatah kata pun, Azhar merebut ponsel itu lalu melemparkannya ke sofa.
Prang!!
“Mas Azhar! Itu HP-ku! Bukan HP murah yang bisa dilempar seenaknya!” bentak Dian, berdiri menantang suaminya.
Azhar menghela napas panjang, lalu menatapnya tajam.
“Kamu sadar nggak apa yang baru saja terjadi? Anakmu jatuh, kepalanya berdarah, kamu malah cuek! Kamu lebih peduli sama dunia maya itu daripada anakmu sendiri!” balasnya Azhar yang berusaha menahan emosinya.
“Kalau Mas mau aku berubah jadi istri perhatian, turutin dulu keinginanku buat kerja di perusahaan lamaku! Kalau nggak, jangan harap aku akan peduli sama Berliana!” balas Dian lantang, menantang suaminya.
Azhar terdiam sejenak, kemudian menyeringai getir.
“Apa kurang semua yang kuberikan padamu atau kamu cuma ingin dekat lagi dengan Alif, mantanmu itu?” sindirnya dengan nada tajam.
Dian tersenyum merendahkan.
“Kalau soal uang, sepuluh juta sebulan itu kecil! Aku bosan jadi ibu rumah tangga. Kalau mau aku betah di rumah, kasih aku tiga puluh lima juta sebulan. Baru aku diam.”
Azhar menutup wajah dengan tangannya, kepalanya pening mendengar tuntutan itu.
“Ya Allah… sepuluh juta cuma untukmu sendiri, belum biaya lain-lain yang Mama tanggung. Tapi kamu masih bilang kurang?” tanyanya Azhar dengan menggelengkan kepalanya saking tak percayanya dengan apa yang diminta oleh istrinya.
Dian tak peduli, kembali duduk santai sambil memainkan ponselnya.
Akhirnya Azhar menegaskan, dengan suara penuh tekanan.
“Baik! Kalau kamu mau kerja, silakan. Tapi kalau sekali lagi kamu telantarkan anak-anak, aku ceraikan kamu! Hak asuh akan jatuh padaku, aku nggak peduli apa kata orang!” tegas Azhar yang kali ini tak mau dibantah.
Alih-alih takut, Dian malah tertawa sinis.
“Haha! Bagus! Ceraikan saja! Aku juga sudah bosan denganmu. Seandainya dulu tidak dijodohkan, aku nggak akan pernah mau menikahi pria kaku, pelit, dan nggak romantis seperti kamu!”
Kata-kata itu menusuk hati Azhar. Dengan wajah penuh luka batin, ia hanya berucap sangat lirih sambil menengadah, “Ya Allah, berikan aku kesabaran menghadapi istriku ini…”
---
Beberapa hari kemudian
Dian tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia tak banyak bicara dengan Azhar. Hari itu ia memberi tahu Nisa dengan nada datar.
“Nisa, besok aku balik ke Makassar. Jadi mulai besok masakan jangan sebanyak biasanya.” ucapnya Dian dengan raut wajah ditekuk tak seramah biasanya.
“Oh, baik Bu. Saya paham,” jawab Nisa sopan.
Namun tanpa sengaja, Nisa mendengar Dian menelepon seseorang dengan panggilan mesra. Kali ini jelas suara laki-laki. Jantung Nisa berdegup cepat.
“Ya Allah… jangan-jangan…” batinnya. Tapi segera ia tepis prasangka itu, mencoba husnudzon.
“Mungkin aku hanya salah dengar dan salah paham saja,” batinnya Nisa.
---
Malam harinya di rumah Nisa…
Usai shalat isya, Nisa baru saja hendak naik ke ranjang ketika pintunya diketuk. Saat dibuka, berdirilah Azhar dengan seragam dinasnya.
“Mas Azhar!? Kenapa ke sini? Bukannya Mbak Dian dan anak-anak masih di rumah?” tanya Nisa cemas.
Tanpa kata, Azhar langsung memeluk Nisa erat. Bahunya bergetar menahan tangis.
Nisa membalas pelukan itu dengan lembut, tidak bertanya banyak. Ia tahu, suaminya butuh tempat bersandar.
“Sayang… jangan pernah tinggalkan aku, apa pun yang terjadi…” bisik Azhar di sela tangisnya.
Nisa hanya mengangguk, menepuk pelan punggung suaminya.
Pak Daud yang kebetulan lewat, melihat pintu kamar terbuka. Ia hanya menggeleng, lalu tersenyum kecil.
“Semoga cepat dapat cucu kalau bisa kembar, biar makin ramai rumah ini,” gumamnya sambil berlalu.
Keesokan harinya..
Nisa memutuskan berhenti menjadi ART di rumah Faris. Tubuhnya belakangan sering lelah, apalagi ia ingin lebih banyak waktu dengan Azhar sebelum suaminya itu berangkat ke Lebanon.
Saat berpamitan, Faris menahan kecewa. Ia menyerahkan amplop berisi gaji dan bonus.
“Terima kasih, Mbak Nisa. Masakanmu selalu bikin betah. Semoga Allah membalas kebaikanmu.” tuturnya Faris yang terlihat jelas guratan kecewa di wajahnya.
Nisa tersenyum sopan sambil menunduk. “Alhamdulillah, terima kasih banyak, Pak. Saya pamit, assalamualaikum.”
Dalam hati Faris berat melepas kepergian Nisa, wanita yang diam-diam membuatnya bertahan di daerah tugas ini.
“Waalaikumsalam warahmatullahi..”
Sore itu, tanpa sengaja Nisa bertemu dengan Azhar di jalan, kebetulan Azhar bersama dengan Ikram yang juga baru pulang dari kantor. Mereka sempat bercanda. Ikram bahkan berteriak saat Nisa masuk ke dalam mobilnya Azhar.
“Semoga istrinya Pak Mayor segera hamil! Kalau bisa kembar!” teriak Ikram anggota TNI yang paling dekat dengan Azhar.
Azhar hanya tersenyum kecil, lalu menggenggam tangan istrinya di kursi mobil.
“Kita ke pantai. Aku ingin menikmati sisa hari kita sebelum aku balik ke Makassar,” ucap Azhar lirih.
Nisa menoleh, menatap suaminya dalam-dalam.
“Dimanapun Mas berada, Insha Allah saya akan ikut. Tapi untuk sementara, biar saya urus Bapak dulu di sini. Kalau sudah waktunya, pasti saya menyusul.” imbuhnya Nisa.
Azhar mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. Mobil pun melaju ke arah pantai, membawa keduanya menikmati senja terakhir sebelum perpisahan yang cukup panjang.
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor