Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Marvel berjalan mondar-mandir di dalam kamar hotel sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan aplikasi peta. Malam nanti acara pertunangannya akan digelar, tetapi pikirannya justru melayang pada sang asisten pribadi.
"Kenapa lokasinya tidak bisa dilacak?" tanya Marvel dengan nada kesal, menghentikan langkah dan menoleh ke arah salah satu anak buahnya.
"Mungkin karena fitur lokasi dimatikan, Tuan, atau mungkin ponselnya dinonaktifkan."
"Memangnya tidak bisa dilacak kalau ponselnya mati?"
Pria yang berdiri di sisi kanan Marvel itu menggeleng. "Tidak, kecuali Anda sudah memasang alat pelacak khusus sebelumnya."
Marvel mendengus frustasi dan mematikan ponsel di tangannya. Kalau saja ada Dave, urusan seperti ini pasti bisa diselesaikan dengan cepat. Sayangnya ia sedang memberi pelajaran pada orang kepercayaannya itu—pelajaran yang tak akan pernah Dave lupakan seumur hidupnya karena telah berani menyentuh sesuatu yang menjadi miliknya.
Perlahan, Marvel mengangkat wajahnya. Sorot matanya tajam menusuk, membuat anak buahnya itu refleks menunduk. “Saya tidak mau tahu alasan apa pun! Hari ini juga kalian harus menemukannya! Cek semua CCTV, selidiki apartemennya, bahkan kalau perlu kejar dia sampai ke kampung halamannya! Jangan kembali sebelum berhasil!”
"Dimengerti, Tuan! Saya akan bergerak sekarang." Anak buah Marvel itu mengangguk singkat dan segera melangkah keluar.
Marvel menekan pelipisnya, rasa lelah bercampur amarah membuat kepalanya semakin berat. Baru beberapa jam lalu ia kembali dari Bali, tetapi sudah harus langsung menuju hotel untuk persiapan pertunangannya. Kini kesabarannya benar-benar diuji, terlebih setelah mendengar kabar bahwa Maura nekat melarikan diri. Wanita itu benar-benar tidak memiliki rasa takut.
Ia melangkah menuju sofa kulit hitam di sudut kamar dan menjatuhkan tubuhnya dengan kasar. Satu tangan meraih kotak rokok di atas meja, tetapi sebelum sempat menyalakannya, ponselnya bergetar.
Nama Sam muncul di layar.
"Tuan, saat anak buah saya mengejar Non Maura, dia terserempet motor di dekat halte. Beberapa orang membawanya pergi sebelum kami mendapatkannya." Suara Sam terdengar terburu-buru dari seberang.
Kening Marvel mengerut. "Siapa yang sebenarnya kamu maksud?"
"N-non Maura."
Rahang Marvel menegang. "Dan kamu membiarkan mereka membawanya begitu saja?"
Sam menarik napas cepat, mencoba menahan nada gugupnya. “Maaf, Tuan. Orang itu langsung membawanya pergi dengan mobil. Sebelumnya kami tertinggal cukup jauh. Saya sudah berusaha, tapi—”
“Cukup!” potong Marvel tajam. Ia bersandar ke sofa, jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran tangan dengan ritme tak sabar. “Saya tidak mau mendengar alasan. Cepat cari wanita itu atau kamu akan bernasib sama seperti Dave!"
Marvel mematikan panggilan sepihak, lalu kembali meraih rokok yang tadi urung ia nyalakan. Ia menyalakannya dengan gerakan cepat, menarik isapan dalam, kemudian mengembuskan asap kasar ke udara.
“Marvel!” suara Jesica tiba-tiba memecah ketegangan. Ia masuk dengan langkah ringan, membawa gaun berwarna pastel di tangannya. “Lihat, ini gaun yang akan kupakai nanti malam. Bagus, kan?”
Marvel hanya melirik sekilas, wajahnya tanpa ekspresi.
Jesica mendekat, memamerkan gaun itu seolah mencari pengakuan. “Aku memilihnya khusus untuk acara ini. Semua orang pasti akan iri padaku.”
Marvel menghela napas, lalu bersandar di sofa sambil menatap rokok di tangannya. “Pakailah kalau kamu suka,” jawabnya datar.
Jesica sempat terdiam, sedikit kesal karena sikap dingin Marvel, tetapi ia cepat menutupinya dengan senyum tipis. “Kamu sudah menyetujui pertunangan ini, tapi kenapa sekarang bersikap seperti ini?" Dengan perasaan kesal ia duduk di samping pria itu, melipat tangannya di depan dada dengan gaya angkuh.
Marvel tidak menanggapi. Matanya tetap tertuju pada asap rokok yang mengepul, sementara pikirannya hanya dipenuhi satu nama—Maura. Wanita itu benar-benar menguasai akal sehatnya.
Jesica melirik Marvel sekilas lalu, mendesah panjang. "Baiklah," katanya pelan. "Kalau kamu merasa pertunangan ini tidak penting, aku bisa mengatakan pada Papa untuk membatalkannya. Biarkan saja empat tahun ini sia-sia!" Ia menunduk pura-pura merajuk.
Selama empat tahun berpacaran, mereka sering putus nyambung dan terlibat pertengkaran hebat karena berbagai alasan. Kesalahan dominan pada Marvel—sibuk dengan pekerjaan, sibuk bersenang-senang dengan wanita lain hingga Jesica merasa kurang diperhatikan. Namun, mereka selalu berakhir bersama.
Marvel menghela napas panjang, lalu mematikan rokoknya di asbak. Ia menoleh pada Jesica yang masih menunduk pura-pura merajuk. “Sudahlah, jangan berbicara yang tidak perlu. Maafkan aku, aku sangat lelah."
Jesica mengangkat wajahnya perlahan, seolah ragu-ragu, lalu tersenyum kecil. “Jadi, kamu tidak serius ingin membatalkannya?”
Marvel menatapnya sekilas. “Aku tidak pernah mengatakan itu.”
Jesica langsung tersenyum lega, bahkan menyandarkan kepalanya di bahu Marvel. “Baiklah, kalau begitu aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk malam ini.”
Marvel tidak menolak, hanya membiarkan sikap manja Jesica. Dalam hatinya, ia sudah cukup tahu, menyinggung pertunangan sama saja membuka masalah baru yang tidak ia butuhkan saat ini. Kerja sama antar perusahaan harus tetap berjalan, Marvel tidak mau kerja kerasnya berakhir sia-sia.
***
Di Rumah sakit, Maura sudah diberi perawatan. Ia hanya mengalami luka ringan di lutut dan siku. Dengan kaki sedikit terpincang ia mengelilingi setiap kamar di rumah sakit itu, mencari keberadaan Dave. Ingatannya masih jelas mengenai ruangan yang pernah ia lihat di foto, tetapi sejauh ini belum ada kamar yang cocok dengan bayangannya.
Maura hampir menyerah. Maura akhirnya menjatuhkan diri di kursi panjang yang disediakan, meringis sambil memijit pelan tungkaknya yang terasa pegal.
"Maaf, Mbak, ada yang bisa saya bantu? Saya lihat tadi mondar-mandir," tanya seorang suster yang berhenti di depannya.
"Saya mencari kamar saudara saya. Namanya Dave, yang saya tahu kaki dan tangannya patah, mungkin karena kecelakaan," jawab Maura.
"Maaf, kalau boleh tahu siapa nama lengkapnya?"
Maura mengerjap kikuk. "Saya tidak ingat nama panjangnya." Ia menampilkan cengiran bodoh seraya menggaruk belakang kepalanya. "Dave wajahnya seperti orang China campuran barat, mirip bule tapi matanya sedikit sipit. Badannya tinggi, besar."
"Oh, yang Anda maksud Pak Dave Sanjaya?"
Maura mengangguk-angguk, walau tidak yakin.
"Kamarnya dikawal ketat oleh beberapa orang berseragam hitam, tidak sembarang orang bisa masuk. Beliau ada di ruangan VVIP lantai tiga," jelas suster berseragam putih itu.
"Ah, iya benar. Itu pasti Dave yang saya cari." Maura tersenyum senang. Tidak salah lagi, dia pasti Dave yang dijaga anak buah Marvel.
Maura bangkit dari kursinya, lalu bergegas menuju lift. Namun, begitu pintu lift terbuka di lantai tiga, pandangannya langsung disambut dua pria berjas hitam yang berdiri tegap di depan pintu koridor. Tatapan mereka tajam, seolah siap menghadang siapa pun yang berniat mendekat.
Maura menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang. Bagaimana caranya ia bisa masuk tanpa dicurigai?