NovelToon NovelToon
The Path Of The Undead That I Chose

The Path Of The Undead That I Chose

Status: sedang berlangsung
Genre:Iblis / Epik Petualangan / Perperangan / Roh Supernatural / Kontras Takdir / Summon
Popularitas:259
Nilai: 5
Nama Author: Apin Zen

"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."



Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.

Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.

Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pemanggilan di Jantung Menara

Menara Umbra bergetar.

Debu batu berjatuhan dari langit-langit, dan lantai yang mereka pijak terasa seperti nadi raksasa yang berdenyut.

Bell berdiri di ambang jendela tinggi, memandang ke luar—lautan iblis mulai mengepung dari segala arah.

Eryndra menarik napas panjang.

> “Mereka datang dari semua gerbang… tidak mungkin kita keluar lewat jalan biasa.”

Lythienne, sambil memegang tongkatnya yang berkilau samar, berbisik seakan bicara pada dirinya sendiri:

> “Jika tetap di sini, kita akan terperangkap.

Jika pergi… mereka akan memburu kita tanpa henti.”

---

Dari kabut di bawah menara, siluet Raksasa Iblis berkulit baja muncul.

Matanya menyala merah, setiap langkahnya membuat tanah retak.

Di punggungnya, pasukan iblis yang lebih kecil memanjat dengan kecepatan yang mengerikan.

> “Dia salah satu jenderal Neraka,” gumam Bell.

“Kalau dia ada di sini, berarti yang memanggilku… juga sedang mengawasi.”

---

Tiba-tiba, udara di dalam menara berubah.

Dari dinding yang retak, bayangan merayap seperti akar tanaman.

Bayangan itu bergerak cepat, mencoba menyelimuti mereka.

Eryndra melompat mundur sambil menghunus pedangnya, memotong bayangan yang mendekat.

Namun setiap bayangan yang terbelah justru menjadi dua, lalu merangkak lagi.

> “Mereka mencoba memutuskan kita dari dunia luar,” kata Lythienne dengan nada panik.

“Kalau bayangan itu menutup seluruh menara, kita akan terjebak di dimensi mereka.”

---

Bell menatap kedua rekannya.

> “Kita tidak punya pilihan.

Kita bertahan di menara ini… tapi bukan untuk menunggu mati.

Kita akan mengubah menara ini menjadi perangkap.”

Eryndra menyipitkan mata.

> “Perangkap untuk apa?”

Bell mengangkat fragmen ketiga, cahaya birunya menari di matanya.

> “Untuk memanggil sesuatu yang bahkan iblis takutkan.”

Di tengah ruang utama Menara Umbra, lantai berbentuk lingkaran mulai memancarkan pola kuno yang terukir di batu hitam.

Fragmen ketiga di tangan Bell bergetar, mengeluarkan nada rendah seperti bisikan ribuan roh.

Eryndra menatap lingkaran itu dengan cemas.

> “Bell… apa kau yakin ini tidak akan menghancurkan kita semua?”

Bell menunduk sedikit, menatap pantulan wajahnya di permukaan fragmen.

Matanya terlihat semakin pucat, hampir tak berwarna.

> “Tidak ada yang pasti. Tapi kalau ini gagal, kita semua mati—dengan atau tanpa ritual.”

---

Lythienne mulai merapal mantra, bahasa tua yang bahkan Eryndra tak mengerti.

Cahaya keunguan keluar dari ujung tongkatnya, mengunci fragmen di udara tepat di atas lingkaran sihir.

Udara menjadi berat, seolah-olah gravitasi menekan mereka ke tanah.

Dari luar, dentuman pintu gerbang menara menggema—pasukan iblis sudah memecah pertahanan luar.

Langkah-langkah mereka terdengar semakin dekat, berderap di tangga spiral.

---

Tiba-tiba, api biru menyala dari simbol di lantai, dan suara gemuruh kuno terdengar.

Bayangan di seluruh ruangan mulai berkumpul di satu titik, membentuk siluet raksasa bersayap.

> “Siapa yang berani memanggilku… di tanah iblis?”

Suara itu dalam, mengguncang tulang.

Bell berdiri tegak, menatap makhluk itu tanpa gentar.

> “Aku—Bell Grezros, pewaris Evenard… memanggilmu untuk menghancurkan gerbang Neraka ini.”

---

Makhluk bersayap itu menyeringai samar.

> “Kau… bukan manusia lagi. Tapi juga bukan iblis. Menarik.”

Sebelum Bell sempat menjawab, pintu utama menara hancur.

Ratusan iblis menyerbu masuk, dipimpin oleh Raksasa Iblis berkulit baja.

Ritual belum selesai, namun cahaya dari fragmen mulai menyelimuti ruangan—dan pertempuran di jantung Menara Umbra pun dimulai.

Suara teriakan perang bercampur dengan dentuman sihir memenuhi aula besar Menara Umbra.

Fragmen ketiga melayang di tengah lingkaran sihir, memancarkan cahaya keperakan yang membuat bayangan di dinding bergerak liar.

Makhluk bersayap yang dipanggil Bell—Seraph Umbra—membentangkan sayapnya. Dari setiap helai bulu gelapnya, percikan cahaya dan api hitam meledak, membantai barisan iblis terdepan.

> “Bell, tahan mereka di sisi kiri!”

Eryndra berteriak sambil memanggil pedang petir dari udara.

Bell tidak menjawab—ia langsung menerjang. Tubuhnya bergerak seperti kabut, menembus dua iblis sekaligus sebelum memenggal kepala ketiga. Darah hitam mengotori lantai batu, tetapi Bell tidak berhenti.

---

Di sisi lain, Lythienne menancapkan tongkatnya ke lantai, memanggil lingkaran perlindungan yang berdenyut setiap kali diserang.

Namun pasukan iblis tak henti datang, dan di antara mereka berdiri Raksasa Iblis Baja, sosok yang pernah menjadi jenderal dalam invasi Evenard.

Bell menatapnya, matanya menyala redup.

> “Kau… yang memulai semua ini.”

Raksasa itu tertawa keras, suaranya seperti besi beradu.

> “Dan aku juga yang akan mengakhirimu, mayat pangeran!”

---

Pertarungan keduanya pecah—pedang Bell melawan gada raksasa yang mampu memecahkan pilar batu.

Setiap benturan menciptakan gelombang kejut yang mengguncang menara.

Seraph Umbra berbalik menatap Bell.

> “Selesaikan ini cepat. Ritualnya hampir mencapai puncak.”

Bell melompat, menusukkan pedangnya ke celah dada baja Raksasa itu, lalu dengan kekuatan yang tak manusiawi, ia mendorongnya sampai tubuh iblis itu roboh menghantam lantai, retakannya merambat di seluruh ruangan.

---

Fragmen ketiga bersinar semakin terang.

Langit-langit menara pecah, memperlihatkan langit malam yang berputar aneh—ruang dan waktu mulai terdistorsi.

Pasukan iblis tersisa mundur, tetapi aura kegelapan yang lebih besar terasa mendekat.

> “Ini belum selesai,” kata Bell dengan suara dingin, darah hitam menetes dari pedangnya.

“Yang sebenarnya datang… baru saja terbangun.”

Dingin.

Bukan dingin yang berasal dari angin malam atau udara beku, melainkan dingin yang merayap dari dalam tulang, seolah jiwa sedang dililit rantai tak kasatmata.

Fragmen ketiga yang mengambang di tengah lingkaran sihir tiba-tiba berhenti berputar.

Cahaya peraknya meredup, lalu retakan-retakan hitam merayap di permukaannya.

Dari retakan itu, asap gelap merembes keluar, berputar-putar di udara, membentuk siluet yang semakin padat.

---

Suara itu datang—dalam, berat, seakan berbicara langsung di telinga masing-masing orang.

> “Pangeran Evenard… akhirnya aku memandangmu lagi.”

Bell merasakan sesuatu mencengkeram pikirannya.

Pandangan sekelilingnya meredup, dan untuk sepersekian detik, ia tidak lagi melihat Menara Umbra—melainkan padang gurun api di bawah langit merah darah, tempat ribuan iblis berbaris tanpa suara.

Di puncak bukit batu, sosok tinggi berjubah api berdiri.

Matanya menyala seperti bara yang tak pernah padam.

---

Lythienne berbisik, nyaris tak terdengar,

> “Itu… salah satu Ard’Vhar, penguasa gerbang ketiga Neraka.”

Eryndra menggenggam pedangnya erat, tapi tangannya sedikit bergetar.

Aura iblis ini berbeda—lebih padat, lebih tua, dan seakan mengandung semua kebencian dunia.

---

Siluet itu mulai menembus dunia nyata.

Udara di menara bergetar, pilar-pilar batu berderak, dan bayangan di dinding mulai bergerak sendiri tanpa mengikuti sumber cahaya.

> “Kau menolak tawaranku ratusan tahun lalu, Bell Grezros.

Sekarang, aku akan melihat apakah kau masih… menolak takdirmu.”

---

Bell memandangnya, matanya yang pucat memantulkan api iblis itu.

> “Aku tidak pernah memilih menjadi milikmu. Dan aku tidak akan mulai sekarang.”

Iblis itu tertawa rendah—suara yang lebih seperti guntur di bawah tanah.

> “Kita lihat saja.

Tapi ingat… setiap langkahmu semakin membawamu padaku. Dan pada akhirnya… semua jalan menuju Neraka.”

---

Asap hitam meledak, memenuhi ruangan.

Fragmen ketiga jatuh ke lantai, tetapi tidak pecah—justru mengeluarkan suara lirih, seperti detak jantung yang semakin cepat.

Bell, Eryndra, dan Lythienne bersiap.

Namun yang muncul dari kabut bukan sekadar iblis—melainkan perwujudan rasa takut mereka sendiri, masing-masing dalam bentuk yang hanya mereka kenal.

Dan suara Ard’Vhar bergema untuk terakhir kali malam itu:

> “Mari kita mulai… ujian pertamamu.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!