NovelToon NovelToon
Red Thread

Red Thread

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Trauma masa lalu / Office Romance / Ibu susu
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: About Gemini Story

Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.

Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bukan Sekedar Nama

Pagi itu, Zürich diselimuti kabut salju yang lembut seperti helaian sutra putih yang turun perlahan dari langit. Dari balik jendela kaca berlapis ganda kamar hotel mewah di lantai delapan, pemandangan kota tampak seperti lukisan hidup—atap bangunan kuno berselimut salju, jalur trem membelah jalanan sepi, dan cahaya keemasan yang berpendar lembut dari kafe-kafe yang baru membuka tirai pagi.

Kamar tempat Althea dan Al menginap adalah suite berkelas tinggi, lapang dan hangat, didekorasi dengan gaya modern minimalis yang berpadu dengan aksen kayu alami khas Swiss. Di sisi jendela, tirai beludru cream tersibak setengah, membiarkan cahaya pagi masuk perlahan, menari di atas lantai kayu ek yang mengilap.

Namun pagi itu tidak diawali oleh keheningan yang menenangkan.

Tangisan nyaring memecah kesunyian. Bukan tangisan biasa. Ada nada panik, kesakitan, seperti rintihan kecil yang berusaha bertahan.

Althea terbangun lebih dulu, tubuhnya masih diselimuti kehangatan selimut ketika ia menoleh panik ke sisi tempat tidur. Baby Cio, yang semalam tertidur di tengah mereka, menangis keras, tubuhnya menggeliat tak nyaman.

Dengan gerakan spontan, Althea mengangkat tubuh mungil itu dan mendekapnya. Tapi saat telapak tangannya menyentuh dahi Baby Cio, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.

“Panas… dia demam…” bisiknya, matanya membesar, napasnya memburu.

Al yang ikut terbangun seketika menyalakan lampu baca di sisi tempat tidur. Ia mendekat dan meneliti wajah Baby Cio—kulitnya yang biasanya putih ke-pinkan kini tampak kekuningan, tak sehat. Ada kilau lesu di matanya yang sembab.

“Warna kulitnya… Thea, dia lebih kuning dari kemarin.” suara Al terdengar tegang tapi masih berusaha tenang.

Althea menggigit bibir, mencoba menahan gemetar di tangan. Ketakutan langsung menyelimuti pikirannya, membebani dadanya. Ia mendekap Baby Cio lebih erat, seolah dengan begitu bisa menyerap sakitnya.

Tanpa membuang waktu, Al bangkit dari ranjang dan berjalan cepat ke lemari pakaian, menarik jaket, syal, dan perlengkapan penting lainnya. Ia tetap tenang, tapi gerakannya cekatan.

“Thea, kita harus ke rumah sakit sekarang.”

Althea mengangguk, air matanya mulai menggenang meski belum jatuh. Dengan hati-hati, ia membaringkan Baby Cio di atas selimut, lalu mulai mengganti pakaiannya dengan gerakan terburu-buru, takut tangisnya yang nyaring itu berarti kesakitan yang tak tertahan.

Di luar jendela, salju masih turun pelan. Kamar hotel yang semalam terasa nyaman dan hangat kini seperti menjadi ruang darurat bagi dua orang dewasa yang tengah dilanda kepanikan—dan satu bayi kecil yang menjadi dunia mereka.

Al memeriksa tas, memastikan termometer, dokumen, botol susu cadangan, hingga selimut kecil untuk Baby Cio sudah masuk. Althea memeluk bayi itu erat dalam selimut hangat berwarna abu-abu, mencoba menenangkan tangisannya dengan nyanyian lirih yang terputus-putus oleh isakan kecilnya sendiri.

Ketika mereka keluar dari kamar, keheningan koridor hotel terasa aneh. Lampu-lampu gantung kristal menyala temaram, karpet tebal meredam suara langkah mereka. Tak ada tamu lain yang terlihat—hanya suara lift berdenting pelan saat turun menuju lobi. Di luar, Zürich memulai harinya dalam balutan salju yang indah—sementara dua hati penuh cemas tengah membawa separuh hidup mereka yang sedang berjuang melawan waktu.

Mobil mereka menyusuri jalan Bahnhofstrasse—jalan utama paling bergengsi di Zürich yang biasanya ramai oleh pejalan kaki dan pemburu barang mewah. Namun pagi ini, hanya ada segelintir orang yang menapaki trotoar yang licin, membungkus diri dalam mantel wol tebal dan syal yang menutupi sebagian wajah.

Salju masih turun, halus seperti debu perak yang jatuh tanpa suara, membuat kaca mobil mereka sedikit berkabut. Pengemudi berkonsentrasi penuh, membelah jalan-jalan bersalju dengan hati-hati. Di luar, lampu lalu lintas berpendar lembut dalam balutan kabut dingin.

Al menyetir diam menatap jalan di depan, rahangnya mengencang. Di sebelahnya, Althea menggenggam tangan mungil Baby Cio yang terus mengerang lemah di pangkuan Althea—wajahnya pucat kekuningan, napasnya cepat dan tak tenang.

Suhu di luar sekitar -4°C. Namun yang membekukan mereka bukan dingin udara, melainkan ketakutan di dalam dada mereka.

Mobil kini melewati tepi sungai Limmat, yang alirannya perlahan dan membentuk kabut tipis di permukaannya karena perbedaan suhu. Di seberang sungai, menara gereja Fraumünster dan Grossmünster menjulang, kabur sebagian oleh butir-butir salju. Di jembatan Münsterbrücke, tampak seorang pemusik jalanan berdiri sendirian, meniup alat musik tiup kecil—mungkin untuk menghangatkan pagi meski tak ada yang mendengar.

Semua pemandangan indah itu seperti kontras yang menyakitkan dengan suasana dalam mobil. Kota mungkin terlihat tenang, namun di dalam hati Althea dan Al, badai telah berkecamuk.

“Dia terlihat makin pucat…” suara Althea pecah, nyaris tak terdengar. Tangannya tak berhenti membelai wajah bayi kecil itu.

“Rumah sakit tinggal beberapa menit lagi. Bertahan, Cio…” gumam Al dengan suara rendah namun penuh ketegangan.

Althea menunduk, bibirnya menyentuh dahi Baby Cio yang panas membara. Di luar, lonceng gereja berbunyi pelan, menandakan pukul delapan pagi. Namun pagi ini bukan tentang rutinitas. Ini tentang nyawa kecil yang menjadi poros dunia mereka kini.

Dan Zürich yang biasanya ramai dan anggun di pagi hari, terasa sepi, membisu—seolah ikut mengheningkan diri menyaksikan perjalanan genting mereka.

♾️

Di Rumah Sakit – Zurich University Hospital

Sesampainya di rumah sakit, Al berlari lebih dulu. “Dokter! Tolong! Bayi kami sakit! Tolong!” teriaknya.

Thea membawa Baby Cio yang lemas dalam pelukannya, wajahnya sudah basah air mata. Beberapa petugas medis segera menghampiri dan membawa mereka ke IGD. Baby Cio langsung dibawa ke ruang tindakan. Suara monitor dan langkah kaki para dokter memenuhi lorong.

Thea hanya bisa menangis di pelukan Al, tak bisa menghentikan rasa bersalahnya.

“Ini salahku… aku… aku terlalu memaksakan menjadi seorang Ibu… aku tak cukup peka… aku harusnya bisa jaga dia lebih baik…”

“Cukup, Thea. Jangan salahkan dirimu. Kita sama-sama merawatnya. Kau ibu yang luar biasa…” Al memeluknya erat, mengusap punggungnya pelan.

Beberapa saat kemudian, dokter keluar dengan ekspresi serius.

“Kami butuh donor darah segera. Golongan darah Baby ini AB rhesus negatif, sangat langka. Sayangnya, stok kami kosong.”

Thea tertegun. Ia tahu golongan darahnya A. Ia langsung merasa pasrah dan makin hancur.

Namun, tanpa ragu, Aleron melangkah maju. “Ambil darah saya, Dok. Saya AB rhesus negatif.”

Dokter dan Thea sama-sama menoleh padanya.

Thea membeku. Ia baru sadar—Aleron adalah satu dari sedikit orang yang bisa menyelamatkan Cio.

Namun dokter segera menggeleng. “Maaf, tapi menurut prosedur medis, orang tua kandung tidak bisa langsung mendonorkan darah ke anaknya karena risiko penggumpalan darah.”

Al langsung berkata, cepat dan tegas, “Kami bukan orang tua kandungnya.”

Dokter mengerutkan dahi. “Tapi… bayi ini sangat mirip kalian berdua…”

“Kami hanya... yang menemukannya, dan merawatnya.”

Tak ingin kehilangan waktu, dokter langsung memanggil suster dan menyuruh Al ikut untuk prosedur pengambilan darah darurat.

Thea yang masih syok langsung mengikuti mereka. Meski tubuhnya lemas karena cemas, ia tak ingin meninggalkan Baby Cio.

Dokter menoleh saat mereka berjalan menuju ruang transfusi.

“Setelah transfusi darah selesai dan kondisinya stabil… kami akan menjelaskan lebih detail mengenai keadaan Baby Cio.”

♾️

Di sebuah kamar rumah sakit di ruang IGD Zurich University Hospital, dua orang dewasa duduk tenang namun hati mereka bergejolak. Mereka duduk di sisi ranjang bayi mungil bernama Abercio Nathaniel Moonstone, yang kini tertidur lemah dengan selang transfusi darah yang tersambung dari kantung darah berlabel "AB Rh-", darah milik Aleron Rafael Moonstone.

Suasana IGD tampak tenang namun penuh kewaspadaan. Lampu-lampu putih menyala terang, suara mesin medis dan langkah para perawat sesekali terdengar. Bau antiseptik khas rumah sakit menyeruak kuat. Monitor detak jantung Baby Cio memperlihatkan denyut yang perlahan kembali stabil, membuat Althea dan Al bisa bernapas sedikit lega. Di kursi dekat ranjang, Althea yang wajahnya sembab karena terlalu banyak menangis menatap putranya dalam diam. Mukanya memerah, matanya berkaca-kaca, dan tangan mungil Baby Cio yang menggenggam ujung jari telunjuknya membuat hatinya serasa meledak.

Al duduk tepat di sebelahnya, tetap siaga. Thea sempat menyuruhnya untuk berbaring sejenak, namun Al menggeleng. "Aku baik-baik saja, Thea. Aku tidak akan meninggalkan kalian," ucapnya lembut namun pasti.

Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Thea memikirkan betapa Baby Cio kini sudah menjadi bagian jiwanya, bagian tubuhnya, bagian hidupnya. Ia bukan hanya bayi yang ditemukan di Zermatt. Ia kini adalah alasan Thea untuk tetap hidup. Kehadirannya adalah warna baru yang bahkan bisa menghapus kelam masa lalu.

Al memandangi kantung darah yang menggantung di sisi ranjang. Di sana, darahnya mengalir perlahan masuk ke dalam tubuh kecil itu. Kini bukan hanya nama Baby Cio yang menyandang marga Moonstone, namun darahnya juga mengalir darah keluarga Moonstone. Ia merasakan ikatan itu semakin kuat. Kini, di tubuh Baby Cio, mengalir sebagian dari dirinya. Bagaimana bisa ia meninggalkan bayi ini? Bagaimana bisa ia hidup jika tak ada suara tangis atau senyum bayi ini menyambut harinya?

Beberapa saat berlalu, hingga suara langkah perlahan terdengar. Seorang dokter wanita paruh baya dengan senyum hangat masuk ke dalam ruangan.

"Mr. Moonstone, Mrs. Moonstone," panggilnya lembut.

"Maaf, bisakah kalian ikut saya sebentar ke ruang konsultasi? Baby Cio akan dijaga oleh perawat kami, kondisinya sekarang sudah stabil."

Meski hati mereka enggan, Al dan Thea berdiri. Mereka mencium kening Baby Cio pelan, seolah menanamkan harapan dan perlindungan sebelum pergi.

♾️

Ruangan konsultasi dokter Lucy tidak besar, namun terasa hangat dan pribadi. Lampu kuning lembut menerangi ruangan, memberikan kontras nyaman dari cahaya putih steril di IGD. Sebuah meja kerja dari kayu ek tua berdiri di tengah ruangan, dengan tumpukan map rekam medis dan monitor kecil. Di belakang meja, ada rak buku berisi jurnal medis, beberapa foto keluarga, dan satu pot kecil tanaman lavender. Aroma lembut herbal memenuhi udara—mungkin dari diffuser di pojok ruangan—membuat suasana tak terlalu menegangkan.

Althea dan Aleron duduk berdampingan di dua kursi empuk berwarna krem yang disediakan di depan meja dokter. Al memegang lututnya, sedikit condong ke depan, sementara Thea meremas kedua tangannya yang diletakkan di pangkuan. Bekas tangisan masih jelas di wajahnya, dan matanya belum benar-benar tenang.

Dokter Lucy, wanita paruh baya dengan rambut kecokelatan digelung rapi dan wajah bersahabat namun tegas, duduk di seberang mereka. Ia membuka map rekam medis Baby Cio, lalu mengangkat wajahnya dengan tatapan menyelidik.

“Tadi kalian mengatakan, kalian bukan orang tua kandung Baby Cio?” tanyanya hati-hati, namun jelas. Suaranya seperti membelah keheningan yang menggantung tebal di ruangan itu.

Thea mengangguk, dan dengan suara pelan namun mantap, mulai menjelaskan, “Kami menemukannya di Zermatt… saat sedang dinas kerja. Dia ditinggalkan di tempat terbuka, dan... setelah kami cari tahu, orang tuanya sudah meninggal dunia. Kami sudah melapor ke pihak berwajib.”

Lucy mengangguk perlahan, menyimak tanpa memotong. Ia lalu mengajukan pertanyaan berikutnya, “Selama ini... apa Baby Cio mendapat ASI?”

Al yang menjawab kali ini. “Tidak, Dokter. Tapi kami memberikan susu formula terbaik. Kami pastikan gizinya lengkap, mendekati ASI.”

Lucy menutup map di depannya, lalu meletakkan kedua tangan di atas meja. Tatapannya kini lebih dalam. “Saya tahu kalian sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi, sebagus apapun atau semahal apapun susu formula tetap tidak bisa menyaingi ASI”

Dokter Lucy menghela napas lalu melanjutkan perkataannya, "Bilirubin Baby Cio sangat tinggi. Jika kalian terlambat beberapa menit saja pagi ini, dia mungkin tidak akan selamat.”

Kata-kata itu menghantam Thea seperti palu. Althea menunduk, tangan di wajahnya, tubuhnya sedikit gemetar. Aleron spontan menyentuh punggungnya lembut.

Dokter Lucy melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, namun serius, “Penyebab kenaikan bilirubin bisa bermacam-macam, tapi pada bayi baru lahir, terutama seperti Baby Cio yang tidak mendapat ASI... itu sangat berisiko. Cairan dalam ASI membantu bayi membuang bilirubin berlebih melalui urine dan feses. Tanpa itu, kadar bilirubin bisa meningkat tajam.”

Mereka terdiam. Ruangan terasa hening. Hanya suara napas tertahan dan detik jam dinding yang terdengar.

Aleron mencoba bersuara, walau terdengar berat, “Lalu... apa yang bisa kami lakukan sekarang?”

“Secara medis, Baby Cio perlu menerima asupan ASI sesegera mungkin. Kami bisa mencoba dari bank ASI, tapi stoknya terbatas dan tidak selalu cocok. Pilihan lain—dan yang lebih stabil untuk jangka panjang—adalah mencari ibu susu.”

Aleron dan Thea saling pandang sejenak. Pikirannya penuh. Thea memejamkan mata, seolah sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Lalu ia membuka suara—pelan, tapi suaranya tak goyah.

“Dok... apakah seseorang yang belum pernah hamil dan melahirkan... bisa menyusui?”

Dokter Lucy tampak sedikit terkejut, tapi tidak tergesa menjawab. “Bisa,” jawabnya akhirnya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.

“Itu disebut induksi laktasi. Kami merangsang produksi ASI melalui kombinasi stimulasi fisik, terapi hormon, dan kadang suplemen. Tapi kuncinya adalah niat dan konsistensi. Ini bukan proses singkat, tapi sangat mungkin dilakukan.”

Al menoleh cepat ke Thea. “Thea... kamu—”

Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Thea menoleh dengan pandangan tegas dan anggukan kecil. Isyarat itu jelas, dia sudah memutuskan. Jangan membujuknya.

Dokter Lucy memperhatikan keduanya, lalu berkata dengan lembut namun penuh rasa hormat, “Apakah anda yakin, Mrs. Moonstone?"

Thea menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab mantap, “Ya, aku yakin. Aku ingin melakukan induksi laktasi. Aku ingin memberikan ASI-ku sendiri untuk Baby Cio.”

Dokter Lucy tersenyum pelan—senyum seorang wanita yang mengerti betapa dalam keputusan ini. “Baik. Kita bisa mulai pemeriksaan awal hari ini. Aku akan bantu dari awal sampai akhir.”

Thea mengangguk. Al tetap diam di sampingnya, matanya belum berpaling dari wajah Thea.

Sebelum mereka keluar, Lucy berkata lembut, “Kalian berdua... sudah menjadi segalanya untuk bayi itu. Apa pun yang kalian pilih, aku percaya, dia ada di tangan yang tepat.”

Mereka mengucapkan terima kasih lirih, lalu keluar menuju ruang perawatan. Di sepanjang lorong, langkah Thea mantap, meski matanya berkaca-kaca lagi. Ia tahu, keputusan ini akan mengubah segalanya. Tapi tak ada sedikit pun keraguan di hatinya.

♾️

Lorong rumah sakit siang itu cukup ramai. Cahaya lampu putih pucat memantul di lantai ubin, menciptakan bayangan samar langkah kaki mereka. Althea berjalan sedikit lebih cepat dari Aleron. Di kepalanya hanya ada satu hal, melihat kembali Baby Cio. Jantungnya masih belum tenang, dan rasa takut di dadanya belum sepenuhnya surut.

Sesampainya di ruang IGD, Baby Cio masih tertidur lelap di ranjang bayi mungil itu. Selang kecil masih terhubung ke jarum di lengan mungilnya, mengalirkan darah dari kantung yang kini hanya tersisa seperempatnya—darah milik Aleron Rafael Moonstone.

Al dan Thea berdiri di kedua sisi ranjang. Al menatap wajah bayi itu dengan ekspresi dalam, sementara Thea tak kuasa menahan senyum lirih bercampur haru. Ia mengusap kepala Baby Cio perlahan, hati-hati, seolah menyentuh sesuatu yang begitu rapuh.

"Dia terlihat lebih tenang sekarang..." bisik Al.

Di dalam benak Thea, ia telah memutuskan. Ia akan menjadi ibu bagi Baby Cio, sepenuhnya. Jika Al menolak, tak masalah. Ia akan menyematkan nama Rosewood di belakang nama anak ini. Tapi tanpa ia tahu, Al sebenarnya juga ingin mengadopsi Baby Cio.

"Ya..." jawab Thea nyaris tak bersuara. Ia lalu menunduk, menyembunyikan air matanya yang kembali tumpah. Tangannya menggenggam jari mungil Baby Cio.

"Kau tahu, dia... dia adalah warna baru di hidupku, Al. Setelah semua yang gelap dan sepi... dia seperti cahaya kecil yang memberiku alasan untuk tetap hidup."

Al menoleh padanya. Suara Thea begitu jujur dan begitu dalam. Ia tak menjawab, hanya diam dan ikut menatap bayi itu. Tapi pikirannya melayang jauh. Ia menatap kantung darah yang kini hampir kosong. Darahnya, darah keluarga Moonstone, kini menyatu dalam tubuh Baby Cio.

"Darahku kini mengalir dalam dirinya. Bagaimana aku bisa hidup tanpanya sekarang?" gumam Al dalam hati.

Beberapa menit berlalu dalam diam. Hanya suara alat medis dan detik jarum jam yang menemani mereka. Suasana IGD terasa seperti berada di dalam kubah waktu, membekukan momen itu.

Lalu suara lembut Thea memecah keheningan."Al..."

Al menoleh pada Thea, matanya berbinar, tapi kini ada cahaya tekad di dalamnya. "Aku akan mengadopsi Baby Cio. Aku ingin dia menjadi anakku seutuhnya. Aku akan menyusuinya, memberikan ASI-KU sendiri yang akan mengalir menjadi darah dalam dirinya, untuk kehidupannya... aku akan memberinya hidup yang layak, penuh cinta, dan... perlindungan."

Al mematung. Matanya menatap wajah Thea yang begitu tenang namun tegar.

"Untuk keluarga dan sahabatku... aku akan menjelaskan nanti. Mereka pasti bisa menerima dan menghargai keputusanku. Dan kalau kau... tidak ingin ikut mengadopsi Baby Cio... aku tidak masalah."

Thea menghela napas pelan, lalu melanjutkan, "Aku bisa mencantumkan namaku saja di akta lahir. Tidak masalah kalau kolom ayah dibiarkan kosong. Kalau perlu, aku akan mengganti marganya menjadi Rosewood."

Ucapan itu seperti tamparan lembut di hati Aleron.

"Thea..." panggil Al, suaranya pelan, hampir goyah. Ia menatapnya dalam.

"Hei..." Al tersenyum kecut.

"Kau tahu, saat darahku masuk ke tubuhnya... aku merasa seperti menemukan sesuatu yang hilang. Rasanya... seperti aku baru saja terikat padanya dengan cara yang tidak bisa dijelaskan."

Thea menatapnya.

"Aku sebenarnya ingin mengadopsi Baby Cio sejak awal. Tapi aku menunggu waktu yang tepat untuk bicara... ternyata kamu duluan."

Thea menerjapkan mata, sedikit terkejut.

"Dan kalau kamu pikir aku bisa membiarkan namaku tidak tercantum di akta lahir, maka kamumsalah." Al tersenyum, sedikit getir tapi hangat.

"Darahku, darah keluarga Moonstone mengalir dalam dirinya. Aku akan berada di sana. Di semua berkas dan di seluruh hidupnya."

"Baiklah..." gumam Thea pelan.

"Tapi kalau suatu saat... kau punya pasangan, keluarga sendiri... aku dan Baby Cio tidak akan menahanmu, Al. Aku tidak akan menghalangimu kalau kau ingin melepaskan semua keterikatan secara hukum. Aku tidak ingin membebani hidupmu..."

Al terdiam. Wajahnya menegang, lalu melembut. Ia mendekat, lalu meraih tangan Thea, menggenggamnya erat.

"Jangan bicara seperti itu," suaranya rendah tapi penuh getaran.

"Aku tahu kau kuat. Aku tahu kau bisa membesarkan Baby Cio sendiri. Tapi kali ini, aku tidak akan pergi. Aku tidak akan berjanji dengan kata-kata. Tapi aku akan buktikan."

Ia menatap dalam ke mata Thea. "Aku akan jadi rumah. Garda terdepan. Orang pertama yang melindungi kalian. Dan... aku ingin kau percaya lagi, Thea. Padaku. Pada dunia ini."

Thea terdiam, tak mampu menjawab. Tapi matanya basah, bukan karena duka, melainkan haru. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, ia merasa bahwa mungkin... dirinya tidak lagi sendiri.

Di ruang IGD yang tenang, hanya suara mesin monitor dan napas kecil Baby Cio yang terdengar. Althea duduk di samping ranjang bayi itu, menatapnya penuh perhatian, sementara Al berdiri tak jauh darinya. Mata mereka memantau napas Baby Cio yang mulai teratur, meskipun selang dan infus masih terpasang di tubuh kecilnya.

Lalu, seorang suster mengetuk lembut dan masuk ke dalam ruangan. “Mrs. Moonstone, Dokter Lucy sudah siap. Beliau juga meminta Anda dan Mr. Moonstone datang ke ruangannya untuk memulai proses induksi laktasi.”

Althea menoleh, lalu menunduk pada Baby Cio dan mengecup lembut kening bayi mungil itu. “Sebentar ya, Sayang…”

Al mendekat, mengangguk pada suster, dan membimbing Althea keluar ruangan. Thea menatap Baby Cio satu kali lagi sebelum melangkah ke arah pintu, langkahnya mantap. Kini ia tahu, ia tak lagi sendiri. Ia seorang ibu. Hatinya penuh keyakinan, Althea melangkah menuju ruangan baru—ruangan di mana ia akan memulai babak baru dalam hidupnya, menjadi ibu, sepenuhnya, dengan segenap jiwa dan tubuhnya.

♾️

Lorong rumah sakit yang bersih membawa mereka menuju ruangan Dokter Lucy. Lampu-lampu gantung bersinar hangat di langit-langit, menciptakan nuansa nyaman meski di tengah tekanan batin yang mereka rasakan.

Sesampainya di ruang konsultasi, pintu terbuka otomatis memperlihatkan interior ruangan yang hangat dan profesional. Aroma lembut herbal terapung di udara. Dokter Lucy, seorang wanita paruh baya dengan tatapan tenang dan penuh empati, berdiri menyambut mereka.

“Silakan duduk. Aku sudah siapkan semuanya,” ucapnya hangat, lalu menatap Althea dengan mata penuh empati. “Anda sudah yakin dengan pilihan anda?”

Althea mengangguk mantap. “Sudah, Dok. Saya ingin melakukannya sekarang.”

Dokter Lucy mempersilakan Althea duduk di kursi pemeriksaan khusus yang sudah dilapisi kain lembut. Ia lalu mengenakan sarung tangan dan mempersiapkan alat. Sambil memulai pemeriksaan, ia menjelaskan dengan lembut,

“Induksi laktasi adalah metode untuk menstimulasi tubuh Anda agar mulai memproduksi ASI meskipun Anda tidak melewati proses kehamilan dan melahirkan. Ini bisa dilakukan secara hormonal atau non-hormonal. Proses ini membutuhkan komitmen emosional yang kuat, karena melibatkan hormon-hormon seperti prolaktin dan oksitosin. Karena waktu kita terbatas, kita akan fokus pada metode kombinasi, rangsangan manual, suplemen, dan jadwal pemompaan.”

Al berada disampingnya, canggung. Matanya tak lepas dari wajah Althea yang tampak gugup tapi bertekad. Saat Dokter Lucy mengarahkan alat pemeriksaan payudara, Al refleks membalikkan tubuh, lalu menatap langit-langit, berusaha memberi ruang.

Namun, Dokter Lucy malah tertawa kecil, “Oh—tidak perlu terlalu tegang begitu, Mr. Moonstone. Nanti saya butuh bantuan Anda.”

Al menoleh cepat, kaget. “Hah? Maaf, bantuan apa, Dok?”

Dokter Lucy tersenyum simpul. “Sentuhan dari pasangan juga membantu proses ini. Stimulasi emosional dan fisik berperan besar dalam produksi hormon oksitosin. Tapi saya minta maaf kalau saya salah—kalian pasangan suami istri yang mengadopsi bayi ini, bukan?”

Al dan Althea saling menoleh sebentar. Tatapan mereka saling mengunci, namun tak satu pun dari mereka membantah. Tak ada kalimat “bukan” atau penjelasan tambahan. Hanya keheningan yang saling menyetujui. Lalu Althea mengangguk pelan, dan Al hanya tersenyum kecil, menerima asumsi itu seolah-olah itu kenyataan.

Dokter Lucy tampak lega. “Saya senang mendengarnya. Dalam pengalaman saya, induksi laktasi berjalan lebih efektif saat pasangan turut terlibat. Dukungan dari suami sangat berpengaruh pada kestabilan emosi sang ibu, dan itu kunci dari pelepasan oksitosin.”

Al langsung duduk lebih dekat. “Apa yang harus saya lakukan untuk membantu?”

“Duduk di sampingnya. Genggam tangannya. Beri ketenangan dan rasa aman. Ini bukan hanya tentang tubuh, tapi hati. Saya akan memulai stimulasi menggunakan alat khusus, dan bila perlu, terapi hormon bisa dijadwalkan setelah hasil darah keluar.”

Al mengangguk mantap, lalu menggenggam tangan Althea. Tangan itu dingin—entah karena ruangan atau karena gugup. Namun, Al mengeratkan genggamannya dengan lembut, memberikan rasa hangat.

Dokter Lucy mulai menempelkan alat pada area dada Althea, melakukan stimulasi dengan lembut menggunakan pompa laktasi medis. Sementara alat itu bekerja perlahan, suasana di dalam ruangan berubah—diam, tenang, namun sarat makna.

“Kalau kamu gugup… aku juga,” gumam Al sambil menatapnya.

“Tapi kamu nggak sendiri. Aku di sini.”

Althea menoleh, menatap mata pria itu, dan seulas senyum tipis terbit di bibirnya meski matanya berkaca. “Aku tahu.”

“Aku tahu ini tidak mudah… tapi kamu luar biasa, Thea.”

Althea menoleh pelan, matanya penuh emosi yang sulit dijelaskan. “Aku hanya ingin Baby Cio… merasa dicintai seutuhnya menjadi anakku.”

“Kau sudah melakukannya,” bisik Al.

“Lebih dari siapa pun.”

Saat proses stimulasi dimulai—dengan alat yang ditempelkan di bagian payudara dan sensor yang melacak respons hormonal—suasana menjadi semakin intim dan hening. Althea menggenggam tangan Al lebih erat, dan Al membalas dengan jemari yang kuat namun lembut.

Mereka tak berbicara lagi, tapi tatapan mata dan kehangatan genggaman mereka sudah lebih dari cukup untuk berbicara tentang rasa percaya, dukungan, dan hubungan yang perlahan bertumbuh dari akar yang dalam—bukan karena keterpaksaan, tapi karena keinginan yang diam-diam menyatu dalam ketulusan.

Mereka tak sadar, genggaman tangan mereka belum terlepas sejak awal.

Dokter Lucy memeriksa alat sambil tersenyum kecil, tampak puas dengan hasil awal. “Tubuhmu merespons dengan baik. Ini pertanda bagus. Kita akan lanjutkan stimulasi selama beberapa hari ke depan, lalu dimulai sesi pemompaan rutin. Dalam satu minggu, kamu mungkin bisa menyusui langsung.”

Althea menunduk pelan, senyumnya tipis. “Terima kasih, Dok…”

“Dan anda,” Dokter Lucy menatap Al. “Terus dampingi dia. Saya bisa lihat kalau dia kuat, tapi kekuatan itu bersinar karena kamu di sampingnya. Pastikan dia istirahat, minum vitaminnya, dan tetap dalam suasana emosional yang hangat. Itu tanggung jawab besar.”

Al mengangguk pelan. “Saya akan pastikan itu, Dok dan saya tidak akan pergi ke mana-mana.”

Setelah semuanya selesai, Al memakaikan jaket ke bahu Althea secara otomatis. Gerakannya halus, tak terlalu cepat. Althea sempat menoleh, melihat matanya, dan keduanya membeku dalam tatapan yang terlalu lama.

“Terima kasih… sudah temani aku,” gumamnya.

Al mengangguk. “Kita… orangtua sekarang, kan?”

Althea tertawa pelan, mata berbinar. “Sepertinya begitu.”

Mereka berjalan beriringan kembali ke ruang Baby Cio, lebih diam dari sebelumnya, tapi kedekatan mereka kini tidak lagi bisa disembunyikan.

Dan meski malam belum selesai, perasaan di antara mereka sudah memulai bab baru yang lebih dalam—tanpa perlu satu pun dari mereka berkata "ya" atau "tidak" saat ditanya… apakah mereka suami istri.

1
Stella
Bagus banget, jadi mau baca ulang dari awal lagi🙂
About Gemini Story: wahhh terimakasih kak 🤗 sehat selalu ya kak🤗
total 1 replies
Jena
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
About Gemini Story: wahh terimakasih kak 🤗 aku seneng ada yang suka sama cerita aku hehe ☺️ sehat dan bahagia selalu ya kak 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!