NovelToon NovelToon
Pernikahan Balas Dendam

Pernikahan Balas Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:354
Nilai: 5
Nama Author: arinnjay

Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 : Rooftop

Langit malam Jakarta tampak gelap tanpa bintang. Awan menggantung berat, seakan menahan hujan yang tak jadi turun. Angin malam berhembus dingin, menyelusup ke balik jas yang dikenakan Damian.

Ia berdiri di rooftop Hotel Delmar, gedung tertinggi di pusat kota, persis seperti yang ia janjikan dalam pesan ke Adam. Di belakangnya, lampu-lampu kota berkedip bagai napas kota yang nyaris habis.

Di tangannya, sebuah koper hitam. Isinya: salinan semua bukti terakhir yang belum disebar—jejak digital, rekaman suara, dan surat wasiat Nadine yang tak pernah sampai ke publik.

Di telinganya, earset kecil tersambung ke Saka yang mengawasi dari mobil tak jauh dari lokasi.

> “Status clear. Belum ada gerakan dari bawah,” suara Saka terdengar lirih di telinganya.

Damian menarik napas dalam. Matanya menatap pintu logam yang belum terbuka. Waktu menunjukkan pukul 22.02.

Lalu pintu itu terbuka.

Adam muncul.

Jas hitam. Rambut sedikit lebih panjang dari terakhir kali mereka bertemu. Wajahnya lebih lelah. Tapi sorot matanya tetap sama—dingin, tajam, dan penuh perhitungan.

Mereka saling diam untuk beberapa saat.

“Kamu datang sendiri,” kata Damian lebih dulu.

Adam tersenyum kecil. “Sama sepertimu.”

“Jadi kita akan bicara... atau bertarung?” Damian mengangkat alis.

Adam mengangkat bahu. “Keduanya, mungkin.”

Ia melangkah mendekat. Sepuluh langkah. Lima langkah.

Lalu berhenti tepat di hadapan Damian.

“Masih keras kepala seperti biasa,” gumamnya.

“Masih suka menghilang tanpa penjelasan,” balas Damian datar.

Adam tertawa kecil, tapi matanya tidak ikut tersenyum.

“Aku hampir nggak mengenalmu lagi, Dam.”

“Lucu. Aku juga ngerasa gitu tentang kamu.”

Damian meletakkan koper di antara mereka. “Semua ada di sini. Kamu bisa ambil, bakar, simpan, kubur. Tapi itu nggak akan menghapus kenyataan. Dunia sudah tahu.”

Adam menatap koper itu, lalu menatap Damian.

“Kamu pikir kamu menang?”

“Aku nggak butuh menang. Aku cuma butuh berhenti menyembunyikan.”

Hening. Angin berhembus lebih kencang. Jakarta seperti menahan napas.

“Semua yang kamu bongkar... kamu pikir itu menghancurkan sistem?” tanya Adam pelan. “Nggak, Dam. Yang kamu hancurkan justru sisa kepercayaan orang pada keadilan. Sekarang, semua jadi takut. Semua jadi ragu.”

Damian menatapnya tajam. “Kalau keadilan yang kamu maksud harus dibangun di atas kebohongan, maka itu bukan keadilan. Itu neraka yang dibungkus rapi.”

Adam diam. Lalu, pelan, ia berjalan ke arah koper.

Tangannya nyaris menyentuh pegangan logam itu.

Dan saat itu juga, suara langkah tergesa terdengar.

Arumi muncul.

Napaknya cepat, wajahnya penuh ketegangan. Damian langsung menoleh. “Arumi?”

“Maaf,” katanya pendek. “Aku nggak bisa diam di bawah. Aku tahu kamu nggak akan ceritain semuanya ke aku kalau akhirnya kamu terluka.”

Adam menatap Arumi. Tatapan yang tajam, tapi bukan benci. Lebih ke... bingung.

“Kamu perempuan yang membuat Kakakku berubah,” gumamnya pelan.

Arumi menatap balik tanpa takut. “Dan kamu laki-laki yang bikin Kakakmu hancur.”

Damian berdiri di antara mereka.

“Kita udah cukup berputar,” katanya. “Jadi sekarang aku cuma mau tahu satu hal—apa kamu yang bunuh Rose?”

Adam terdiam. Lama. Lalu ia menatap langit.

“Aku yang buka jalannya. Tapi bukan aku yang tekan pelatuknya.”

Damian maju satu langkah. “Siapa?”

Adam menarik napas. “Kamu yakin mau tahu?”

Damian mengangguk.

Adam mengeluarkan ponsel dari saku jasnya. Ia buka satu rekaman audio, lalu memutar.

Suara perempuan.

> “Dia terlalu tahu banyak. Kalau kau nggak berani urus dia, biar aku yang atur.”

> “Tapi dia bukan ancaman langsung.”

> “Semua yang punya potensi jadi ancaman harus dihilangkan. Itu protokol. Termasuk Raka. Termasuk Arumi kalau perlu.”

Damian membeku.

Arumi menutup mulutnya.

Itu suara Nadine.

Ibunya sendiri.

---

Hening menelan mereka. Dunia terasa begitu senyap, seakan semua suara tenggelam dalam lubang besar bernama pengkhianatan.

Damian menunduk. Bahunya bergetar. Bukan karena dingin. Tapi karena luka yang terlalu dalam untuk disuarakan.

“Ibu... dia... dia yang perintahkan kematian Rose?” bisiknya.

Adam menatap kakaknya. “Aku berusaha hentikan. Tapi waktu itu aku terlalu lemah. Dia lebih dulu bergerak. Dan setelah Rose... aku sadar, ini bukan sistem yang bisa dikendalikan. Ini mesin pembunuh.”

Arumi menyeka air mata yang mulai jatuh.

“Apa kamu masih lanjut? Dengan semua ini?” tanyanya lirih.

Adam terdiam. “Aku nggak tahu. Kadang aku pikir... aku jalan terlalu jauh buat mundur.”

Damian menatapnya. “Kalau kamu masih bisa merasa bersalah, berarti kamu belum sepenuhnya hilang.”

Adam menunduk. Tangannya mengepal.

“Apa kamu percaya kita bisa mulai dari awal?” tanyanya tiba-tiba.

Damian tidak menjawab. Tapi Arumi melangkah maju.

“Kalau kamu masih punya hati, tinggalkan semua ini. Aku tahu kamu bukan monster. Kamu cuma anak yang dikorbankan.”

Adam menatapnya. Kali ini... matanya mulai berkaca-kaca.

“Kalau aku pergi... sistem ini tetap ada. Elapse akan terus jalan.”

Damian mengambil koper, lalu melemparkannya ke depan Adam.

“Kalau kamu mau, ambil. Tapi kalau kamu percaya masih ada waktu buat berubah... bantu kami buka semuanya. Biar kita mulai lembar baru.”

Angin berembus lagi. Petir menyambar jauh di utara.

Adam menatap koper itu. Lalu ia duduk perlahan.

“Berikan aku waktu seminggu. Aku akan matikan Exodus dari dalam. Aku akan serahkan semua nama yang terlibat.”

Damian dan Arumi saling pandang. Arumi mengangguk.

“Kamu punya satu minggu,” kata Damian.

“Dan satu syarat,” tambah Arumi. “Kamu nggak boleh sentuh siapa pun lagi.”

Adam mengangguk. Perlahan. Tapi kali ini... sungguh.

---

Tiga hari kemudian.

Damian dan Arumi pindah ke rumah aman di pinggiran kota. Bersama Saka, mereka menyiapkan penyebaran data besar-besaran ke 17 media dunia.

Hari kelima, kabar tentang pembekuan rekening Elapse mulai muncul di media.

Hari keenam, empat nama besar dalam daftar pendiri yayasan Nadine ditangkap diam-diam.

Hari ketujuh...

Damian mendapat pesan terakhir dari Adam.

> “Maaf... aku tak bisa jadi orang yang kamu harapkan. Tapi aku bisa jadi orang yang menghancurkan mimpi buruk ini dari dalam.”

> “Simpan nama Ezra Halim. Suatu saat nanti, dia akan jadi bukti... bahwa seseorang pernah bertobat.”

> “Terima kasih sudah jadi kakak.”

Lalu tak ada kabar lagi.

Adam menghilang.

Dan untuk pertama kalinya... Damian tak mencari.

Ia tahu. Adiknya sedang menebus.

Dengan caranya sendiri.

---

Minggu itu, Arumi berdiri di jendela rumah aman, memandangi langit pagi yang perlahan cerah.

Damian memeluknya dari belakang. Hangat. Tenang.

“Dunia belum baik-baik saja,” bisiknya.

“Tapi setidaknya kita sudah buat satu bagian kecil dari dunia ini jadi lebih jujur,” jawab Arumi.

Damian mencium puncak kepalanya. “Dan kamu… tetap di sini.”

Arumi tersenyum. “Aku nggak pergi ke mana-mana.”

Mereka berdiri begitu lama. Tanpa kata. Hanya suara pagi dan napas mereka yang saling menyatu.

Karena setelah semua dendam, semua luka, dan semua kehilangan...

Mereka masih di sini.

Bersama.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama...

Mereka merasa pulang.

---

IKUTIN TERUS YAAA

Jangan lupa like dan komen okeeyyy

1
Araceli Rodriguez
Ngangenin deh ceritanya.
Cell
Gak kepikiran sama sekali kalau cerita ini bakal sekeren ini!
filzah
Karakter-karakternya sangat hidup, aku merasa seperti melihat mereka secara langsung.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!