Di dunia di mana Spirit Master harus membunuh Spirit Beast untuk mendapatkan Spirit Ring, Yin Lian lahir dengan kekuatan yang berbeda: Kontrak Dewa. Ia tidak perlu membunuh, melainkan menjalin ikatan dengan Spirit Beast, memungkinkan mereka berkembang bersamanya. Namun, sistem ini dianggap tabu, dan banyak pihak yang ingin melenyapkannya sebelum ia menjadi ancaman.
Saat bergabung dengan Infernal Fiends Academy, akademi kecil yang selalu diremehkan, Yin Lian bertemu rekan-rekan yang sama keras kepala dan berbakatnya. Bersama mereka, ia menantang batas dunia Spirit Master, menghadapi persaingan sengit, konspirasi dari akademi besar, serta ancaman dari kekuatan yang mengendalikan dunia di balik bayangan.
Di tengah semua itu, sebuah rahasia besar terungkap - Netherworld Spirit Realm, dimensi tersembunyi yang menyimpan kekuatan tak terbayangkan. Kunci menuju puncak bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga keberanian untuk menghadapi kegelapan yang mengintai.
⚠️pict : pinterest ⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
Ruangan itu sunyi.
Cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela menerangi wajah Yin Hao yang tegas, menyorot tatapan matanya yang sulit ditebak.
Di hadapannya, Yin Lian berdiri dengan tubuh kecilnya yang tegap, meskipun hatinya dipenuhi kebingungan.
Tanpa peringatan, Yin Hao meraih kedua tangan Yin Lian dan menggenggamnya erat.
Tangannya besar dan kokoh, sepenuhnya menutupi tangan kecil putrinya yang terasa dingin.
"Yin Lian, aku ingin kau berjanji padaku."
Suaranya terdengar rendah, penuh tekanan.
Yin Lian menatap mata ayahnya yang kelam, seakan mencari jawaban di sana.
"Berjanji apa?" tanyanya pelan.
Yin Hao menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya berkata dengan suara tegas,
"Jangan pernah menunjukkan atau memberi tahu siapa pun tentang Martial Soul di tangan kirimu."
Yin Lian terdiam.
Hatinya dipenuhi pertanyaan.
Kenapa?
Bukankah memiliki Martial Soul adalah suatu kebanggaan?
Bukankah setiap anak yang membangkitkan kekuatan mereka akan dikenang dan dihormati?
Maka, kenapa ayahnya ingin dia menyembunyikannya?
"Kenapa, Ayah?"
Yin Hao tidak langsung menjawab.
Tatapannya tetap dingin, tapi ada sedikit keraguan di sana. Seakan ia tengah berpikir apakah kata-kata yang akan keluar dari mulutnya adalah keputusan yang benar.
Namun, akhirnya ia berkata,
"Kapan aku boleh menggunakannya?" tanya Yin Lian lagi, suaranya dipenuhi kebingungan.
"Hanya jika nyawamu dalam bahaya."
Mata Yin Lian berkedip.
"Tetapi jika tidak, dan kau masih mampu menghadapinya... gunakan Martial Soul di tangan kananmu."
Kata-kata itu membuat Yin Lian semakin bingung.
Kenapa seolah-olah Martial Soul di tangan kirinya adalah sesuatu yang terlarang?
Kenapa ia hanya boleh menggunakannya dalam keadaan putus asa?
Namun, Yin Lian tahu bahwa ayahnya tidak akan memberi jawaban lebih dari ini.
Jadi, dengan sedikit ragu, ia akhirnya mengangguk pelan.
Baru setelah itu, Yin Hao menghela napas, melepaskan genggaman tangannya dan berdiri kembali.
Cahaya bulan kembali memantulkan bayangannya di lantai.
"Besok, bereskan pakaianmu."
Nada suaranya berubah.
Sekarang terdengar dingin, seolah percakapan tadi tidak pernah terjadi.
Yin Lian menatapnya dengan kening berkerut.
"Kenapa?"
"Wu Cheng akan menjemputmu besok."
Yin Lian membelalakkan matanya.
Kakek Wu Cheng?Kapan ayahnya berbicara dengan kakeknya?
Setahunya, selama ini ayahnya tidak pernah meninggalkan rumah, dan setiap hari mereka selalu bersama.
Kenapa tiba-tiba aku harus pergi?
"Aku tidak mau," katanya spontan.
Suara kecilnya terdengar bergetar.
"Aku ingin tetap di sini bersamamu."
Yin Hao menatapnya tajam.
Tiba-tiba, tatapannya kembali dingin, berbeda dari tadi.
"Yin Lian, aku bukan anak kecil yang harus terus kau urus."
Yin Lian menegang.
"aku juga bukan orang yang tidak berguna yang tidak bisa mengurus hidupku sendiri."
Dadanya terasa sesak.
"Tapi... aku hanya ingin tetap di sini... Aku bisa membantu—"
"Siapkan pakaianmu besok pagi."
Yin Hao langsung berbalik, berjalan menuju kamarnya.
Yin Lian masih berdiri terpaku, hatinya bergejolak.
Kenapa tiba-tiba seperti ini?
Apa karena Martial Soul-ku?
Apa Ayah malu karena aku membangkitkan dua Martial Soul?
Pintu kamar Yin Hao tertutup.
Yin Lian masih berdiri di tempatnya, menatap pintu kayu itu.
Untuk pertama kalinya, ia merasakan ada sesuatu yang perlahan menjauh dari genggamannya.
Sesuatu yang selama ini ia kejar, namun tetap terasa jauh.
Kasih sayang seorang ayah.
Dan malam itu, Yin Lian tidak bisa tidur.
Fajar baru saja menyingsing ketika suara ketukan terdengar di pintu depan.
Tok. Tok. Tok.
Ketukan itu lembut namun cukup jelas untuk terdengar di rumah kecil itu.
Di dalam, aroma bubur yang baru matang memenuhi udara.
Yin Lian, yang sedang menuangkan bubur ke dalam mangkuk di atas perapian, menoleh ke arah pintu dengan cepat.
"Pagi-pagi sekali..." gumamnya pelan.
Ia meletakkan sendok kayu di tepi panci sebelum bergegas ke pintu.
Saat ia membukanya, sosok seorang pria tua berdiri di ambang pintu.
Kakek Wu Cheng.
Janggut putihnya yang panjang bergerak sedikit tertiup angin pagi.
Matanya yang tajam segera menyapu sekeliling rumah.
Ia melihat betapa bersihnya tempat itu—lantai telah dipel, meja tertata rapi, dan perapian masih menyala dengan bubur yang hangat.
Tatapan Wu Cheng melembut, lalu ia menatap Yin Lian yang berdiri di hadapannya.
"Xiao Lian... sebelum kau pergi ke akademi, apakah kau juga harus menyiapkan makanan dan membersihkan rumah untuknya?" tanyanya dengan suara pelan.
Nada suaranya lembut, hampir seperti bisikan.
Seolah-olah ia tidak ingin pertanyaannya terlalu menusuk gadis kecil itu.
Yin Lian mengerjapkan mata sebelum meletakkan jari telunjuknya di bibirnya.
"Shhh..."
Ia menoleh ke dalam rumah, memastikan sesuatu sebelum kembali menatap kakeknya.
Kemudian, dengan cepat, ia mengambil tas kecil yang sudah disiapkannya sejak tadi malam.
Ia berlari ke arah Wu Cheng dan berbisik,
"Ayah masih tidur."
Wu Cheng terdiam.
Yin Lian menggenggam tali tasnya erat-erat.
"Aku tidak mau Ayah terbangun tanpa makanan dan arak di atas meja."
Matanya berbinar penuh tekad, meskipun suaranya terdengar sedikit bergetar.
Wu Cheng menatap gadis itu dengan perasaan campur aduk.
Namun, ia hanya menghela napas pelan dan mengangguk.
Tanpa suara, Yin Lian menutup pintu dengan hati-hati.
Tangannya masih terasa dingin saat menyentuh pegangan pintu kayu itu.
Dengan langkah ringan, ia mengikuti Wu Cheng menjauh dari rumahnya.
Tak sekali pun ia menoleh ke belakang.
Namun dalam hatinya, ia tahu bahwa begitu pintu itu tertutup, kehidupan yang selama ini ia jalani juga perlahan berubah.
Cahaya matahari pagi merayap perlahan melewati atap-atap rumah, menyinari balai desa yang mulai ramai dengan aktivitas. Suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka bercampur dengan tawa anak-anak yang berlarian di jalanan berbatu. Aroma roti panggang yang baru matang melayang di udara, bercampur dengan wangi teh herbal yang mengepul dari gerobak seorang penjual tua di sudut jalan.
Yin Lian berjalan dengan langkah ringan di samping Kakek Wu Cheng, mengenakan pakaian sederhana berwarna biru muda. Di pundaknya tergantung sebuah tas kecil yang telah ia siapkan semalam. Matanya yang jernih menatap sekeliling dengan penuh kewaspadaan, mengamati hiruk-pikuk desa yang jarang ia datangi.
Meskipun berjalan dengan mantap, Kakek Wu Cheng tampak sedikit ragu. Ia mengusap janggut putihnya sambil melirik ke sekeliling. Sejujurnya, ia tidak tahu persis di mana letak akademi yang mereka tuju.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya menghentikan langkahnya di depan seorang pedagang buah.
"Permisi, Tuan," kata Kakek Wu Cheng sopan. "Kami sedang mencari Akademi Tianlong. Apakah Anda tahu di mana letaknya?"