Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cacat - 11
...Denganmu aku bisa kembali merasakan indahnya dunia. ...
***
Kakinya baru saja berpijak di teras rumah, dan ia langsung dikejutkan oleh kehadiran Dikta dan Ananta yang kini tersenyum ke arahnya dari jendela.
Dan senyuman itu terlihat horor dimatanya.
"Apa, sih?"
Kedua sepupunya itu menatap satu sama lain. Mereka saling mengerutkan kedua alisnya heran, dan berpikir kenapa Rai bisa melihatnya dari luar.
"Kok keliatan sih, Ta?" Tanya Ananta kepada Dikta yang kini menggelengkan kepala.
Rai menghela napas panjang ketika mendengar pertanyaan paling bodoh tahun ini "Gimana gak keliatan, orang kacanya transparan!" Teriak Rai kesal.
Karena sudah ketahuan, Dikta dan Ananta mulai keluar. Mereka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan menyengir tanpa beban. "Kita kira kamu punya mata batin."
Rai memutar bola matanya malas. "Anak SD juga tau atuh, Akang, Teteh. Kalau kaca ini emang transparan, dan bisa lihat keluar maupun ke dalam. Kumaha, sih?!"
Lelaki yang lebih tua satu tahun darinya itu mencuri pandang ke arah mobil Rey, yang terpakir dengan sempurna di depan rumahnya. "Abisnya kita penasaran sama orang yang nganterin kamu itu. Cowok atau cewek?"
"Cowok. Lagi pun bukan nganter, tapi bareng. Rumah kita kebetulan deketan, 'kan."
Ananta dan Dikta kembali menatap satu sama lain dengan senyum jahil mereka yang membuat Rai curiga. "Rai punya pacar! Aduin ke Tante Gita, ah!" Ucap mereka bersamaan sembari berlari masuk ke dalam.
Adik kakak itu selalu saja membuat kepala Rai pusing. Tingkah mereka selalu berhasil membuat Rai mengucap istighfar.
Setelah melepas sepatu dan menyimpannya di rak dengan asal, Rai masuk ke dalam dan menghampiri keramaian yang sedang diciptakan Dikta maupun Ananta di kamar Ibunya.
Mereka sedang asyik bercerita, sembari sesekali melemparkan tawa yang membuat hati Rai menghangat seketika.
Ketika ia hanya berdua dengan Ibunya, rumah ini terlihat mati dari depan. Seperti tak ada orang yang menempati, padahal ada dirinya yang setia mengisi.
"Anak Tante udah besar rupanya. Udah punya pacar, tuh!" Ananta, Gadis berkulit sawo matang itu begitu semangat bercerita. Dan Ibunya hanya bisa Mengangguk-anggukan kepala ketika mendengarnya.
"Pacar apanya? Dia cuman temen." Rai berusaha menegakkan kebenaran tentang dirinya.
"Temen hidup 'kan maksudnya?"
Ananta menaik turunkan alisnya untuk menggoda, membuat Rai menghela napas kasar setelahnya.
Astaga, untuk beberapa bulan ke depan ia harus tinggal dengan mereka. Apa bisa? Apa ia ikut pindah lagi ke Bandung, ya?
Karena malas untuk beradu omongan dengan sepupunya yang kurang waras, Rai langsung mendekati ibu dan juga Tantenya untuk salim kepada mereka. "Om Edy gak ikut?"
"Ikut, lagi beli makan dia."
Rai mengangguk mengerti. Lalu ia mulai melangkah ke belakang untuk pamit berganti pakaian sebentar.
Rai senang jika keluarganya berkunjung seperti sekarang. Tapi di satu sisi juga, ada gelisah yang tiba-tiba menyerang, karena ketika Tante Dilla datang, itu tandanya sang Ibu akan pergi ke Bandung meninggalkan.
Padahal ia bisa merawat Ibunya walau sendirian. Tapi mungkin Ibunya merasa tidak nyaman karena sering ditinggalkan.
Benar kata Tantenya, Sang Ibu butuh perhatian selama 24 jam.
Sekarang Rai sedang membayangkan, bagaimana rumah ini tanpa Ibunya? Apa akan sesepi hatinya ketika ditinggalkan Sang Ayah dan Kakaknya?
Ah, sial. Perasaan ini selalu saja membuat hatinya terluka.
Ketika pintu kamarnya terbuka, gelap langsung menyapa penglihatannya. Kaki mungilnya itu langsung melangkah ke arah gorden untuk ia buka lebar lebar.
Saat gordennya terbuka, mata Rai langsung melihat Rey yang sedang minum obat di dalam kamarnya.
Karena penasaran, Rai mulai keluar untuk berdiri di balkon kamar. "Kamu sakit apa, Rey?!" Tanyanya sedikit berteriak.
Rey sendiri langsung menatap ke arahnya, dan mulai melangkah untuk berdiri di balkon kamar. Sekarang, posisi mereka berhadap-hadapan.
"Gue gak sakit. Yang gue makan tadi itu cuman vitamin, biar tubuh gue bisa bertahan."
Rai memiringkan kepalanya, dan ada pertanyaan yang harus ia temui jawabannya apa. "Bertahan dari apa?"
"Intinya biar gue bisa sehat terus."
Rai hanya mengangguk untuk membalasnya.
Mereka sempat terdiam cukup lama, membiarkan suara angin yang mengambil alih kekosongannya. Juga suara burung yang melintas di depan mereka, serta langit yang memunculkan semburat warna jingga.
Sekarang pukul lima sore, senja di atas sana masih malu untuk menunjukkan dirinya kepada semesta.
"Lo kedatengan sodara dari Bandung, ya?" Tanya Rey yang tak terima obrolan mereka berakhir secepat ini.
"Iya. Berisik, ya? Maaf, ya!"
Rey terkekeh kecil. Dan ini adalah kekehan pertamanya yang ia berikan kepada Rai "Enggak, santai aja. Gue tadi liat ada mobil yang parkir di depan rumah lo. Plat nya Bandung. Ya itu berarti sodara lo, dong!"
"Iya, mereka mau jemput Mamah buat ke Bandung lagi."
"Ada acara di Bandung? Lo ikut juga?"
Rai menggeleng. Dan entah kenapa, Rey merasa senang ketika tau jika Rai tidak akan pergi kemana-mana.
Apa memang hatinya menaruh rasa?
"Mamah sakit, dan harus di rawat di Bandung." Ucap Rai lirih.
Bahkan Rey merasa jika suara Rai sarat akan luka.
"Sakit apa, kalau gue boleh tau?"
Rai langsung menatap Rey dan tersenyum cukup lebar. Tapi Rey tau jika senyuman itu hanya topeng untuk memperindah wajahnya.
Bibir Rai memang terangkat sempurna, tapi mata Rai tak bisa bohong jika ia terluka.
"Kanker darah, leukimia."
"Gak ada yang mustahil. Ibu lo pasti bisa sembuh lagi."
Mereka tersenyum satu sama lain. Saling menguatkan dengan kalimat yang Rey paparkan, juga senyum yang kini terlihat tanpa kepura-puraan.
"Makasih"
"Yang kuat, ya! Gue tau kalau ngurus orang sakit itu pasti nguras banyak tenaga. Tapi pahalanya luar biasa."
Itu kalimat yang pernah ia dengar dari Ibunya, ketika memberi pesan kepada Renata agar bisa kuat mengurus Kakaknya yang penyakitan ini.
Yang mengurus orang sakit pasti selalu lelah fisik, dan orang yang sakitnya itu sendiri pasti lelah hati. Semuanya sama sama merasakan lelah. Adil, 'kan?
"Iya. Makasih buat kalimat penyemangatnya! Aku ke dalem lagi, ya? Mau makan nih, laper soalnya."
Rey mengangguk. Dan ia melihat bagaimana Rai melangkah ke dalam lalu kembali menutup gordennya sehingga ia tidak bisa melihat ruangan berwarna abu itu.
Rey menghela napas ringan, lalu mulai beranjak dari tempatnya berdiri sekarang.
***
^^^24-Mei-2025^^^