Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panas Di Basement Itu....
Parkiran basement sudah sunyi.
Lampu-lampu neon yang dingin hanya memantul di lantai semen yang dilapisi epoxy, menciptakan bayangan panjang. Rania berjalan sendiri, langkahnya gontai, pundaknya terasa berat. Ia hanya ingin pulang.
Mobil hitam berhenti mendadak di depannya. Suara pintu dibuka, sopir yang beberapa kali menolongnya itu turun dan menghampiri. Dari sisi lain, Dion ikut turun.
“Pak Askara minta Ibu masuk sebentar, terkait proyek. Silakan masuk” katanya sopan.
Rania menoleh, melihat Jendela belakang mobil itu yang gelap. Tak terlihat apa - apa dari luar. Tapi ia tahu Askara di dalam.
Rania berdiri mematung. Kata - kata Naren tadi kembali terngiang. Ia menarik napas cepat. Keputusan sudah ia buat sejak sore tadi. Tanpa banyak pikir, ia melangkah masuk ke pintu tengah.
Begitu pintu tertutup, suasana berubah. Senyap. Hanya ada aroma kulit mobil dan wangi maskulin Askara.
“Pulang paling akhir lagi,” suara Askara rendah, datar.
Rania menoleh, bibirnya melengkung tipis. “Kenapa? Kamu khawatir?”
Askara menggeser tubuh, mencondongkan diri. Tatapannya tajam, serius.
“Aku khawatir.”
Tangan dinginnya menangkap pergelangan tangan Rania. Tarikannya mantap, membuat tubuh Rania terhuyung dan jatuh ke arahnya. Napas mereka bertemu di udara yang sempit.
“Aku khawatir… terlalu khawatir,” ulang Askara, kali ini lebih pelan.
Dan sebelum logika Rania sempat menahan, bibir Askara sudah menyergap bibirnya. Dalam. Panas.
Rania sempat membeku, lalu tubuhnya menyerah. Kedua tangannya meraih kerah jas Askara, menariknya mendekat. Ciuman itu berubah rakus, liar. Ada suara napas yang patah, lidah yang saling mencari.
Askara bergeser cepat. Dalam sekejap Rania terdorong ke kursi, tubuhnya setengah telentang. Askara merunduk di atasnya, satu tangan menopang kepala, satu tangan lain melingkari pinggang.
“Ran…” desisnya di sela ciuman, suaranya pecah.
Rania hanya membalas dengan merapatkan tubuh. Ia sudah tidak peduli lagi. Lidahnya menelusuri bibir Askara, menantang, meminta lebih.
“Aku serius,” bisik Askara di telinganya, “kalau aku terusin ini, aku nggak akan bisa berhenti.”
“Jangan berhenti,” jawab Rania hampir tanpa suara.
Dan seolah itu perintah terakhir, Askara mencium lagi. Lebih dalam. Lebih liar. Bibirnya berpindah ke rahang Rania, turun ke leher. Ciuman itu berubah jadi hisapan yang meninggalkan bekas merah di kulit putihnya.
Rania terengah. Jemarinya menyingkirkan jas dan dasi Askara, meraba otot dadanya.
“Kamu gila…” gumam Askara, suara tercekat, saat jemarinya mulai membuka satu per satu kancing blus Rania. Perlahan, penuh kendali.
Udara dingin menerpa kulit Rania saat blusnya terbuka. Askara menunduk, bibirnya menempel di bahu telanjang, menelusuri kulitnya dengan gigitan kecil. Satu, dua, meninggalkan jejak merah yang tak mungkin ia sembunyikan nanti.
Rania menggigit bibir bawah, tubuhnya melengkung. Nafas mereka memburu.
Ketika jemari Askara menyentuh dada Rania, tubuh Rania tersentak. Ia menutup matanya rapat, membiarkan.
Askara menunduk, napasnya panas di kulit Rania. “Kalau aku teruskan di sini, kita tidak akan pulang malam ini,” katanya parau.
Sebelum Rania sempat menjawab, suara ketukan terdengar di kaca. Dion.
“Pak… mobil direksi lain mau masuk.”
Askara memejamkan mata, frustasi. Ia menarik napas panjang, menunduk sebentar di bahu Rania, seolah mencari kendali.
Dengan tangan bergetar ia menutup kembali kancing blus Rania, sambil mencuri satu ciuman keras, lama, di bibirnya.
“Ran…” bisiknya di antara napas yang masih berat, “aku nggak sanggup menahan diri lagi.”
Rania diam. Tubuhnya masih bergetar. Pipinya panas. Bibirnya basah.
"Duduk lah, aku antar pulang." ucap Askara lagi dengan suara yang masih berat. Serak.
Begitu pintu dibuka, udara dingin malam masuk. Dion dan sopir kembali duduk di depan.
Selama perjalanan pulang, Rania dan Askara hanya diam, tangan mereka saling bertaut erat di antara kursi. Tak ada kata. Tapi panas itu tidak padam.
Mobil melaju pelan di jalan gelap, meninggalkan parkiran yang kini terasa seperti mimpi.
************************
Mobil meninggalkan parkiran, masuk ke jalanan kota yang sepi. Lampu-lampu jalan memantul di jendela, silih berganti, seperti detik-detik yang memanjang tanpa henti.
Di kursi tengah, Rania dan Askara duduk berdampingan. Tidak ada kata-kata. Hanya napas yang masih belum teratur. Askara meraih tangan Rania perlahan di antara kursi, menggenggamnya erat. Jari-jarinya hangat, besar, menutup jemari Rania yang dingin.
Sentuhan itu sederhana, tapi terasa jauh lebih panas dibanding ciuman liar mereka di parkiran tadi.
Rania menoleh sekilas. Wajah Askara tegap menatap ke depan, rahangnya mengeras, urat di lehernya menonjol. Ia seperti sedang bertarung dengan dirinya sendiri.
Sopir dan Dion duduk diam di kursi depan, pura-pura tidak melihat apa pun yang terjadi di kursi belakang.
Sesekali ibu jari Askara bergerak pelan, mengusap punggung tangan Rania. Gerakan kecil yang terasa menggetarkan, seperti percikan api di kulit. Rania menahan napas ketika jemari itu bergerak lebih berani, naik ke lengan. Tidak mencolok, tapi jelas terasa.
Ia ingin menoleh, ingin bicara, tapi lidahnya kelu. Ia tahu, satu kata saja akan membuatnya hancur seketika.
Lalu, tanpa pikir panjang, Rania memiringkan tubuh. Kepalanya bersandar ke bahu Askara.
Askara terdiam. Lalu pelan-pelan, ia menunduk, mencium puncak kepala Rania. Lama. Dalam.
Ciuman yang tidak dilihat siapa pun, tapi rasanya jauh lebih liar dibandingkan ciuman panas di parkiran. Karena di balik diam itu, mereka sama-sama menahan diri.
Mobil terus melaju, membawa dua orang yang saling terbakar, tapi tidak bisa berbuat apa-apa… belum.
Mobil hitam itu berhenti perlahan di depan rumah. Lampu depan memantul di dinding pagar. Malam terasa sunyi, hanya suara serangga dari kebun sebelah yang terdengar.
Rania menggenggam erat pegangan tas di pangkuannya. Jantungnya belum juga kembali normal sejak ciuman panas di basement tadi. Tangan Askara masih menggenggam tangannya sepanjang perjalanan, tidak ada kata-kata, tapi genggaman itu berbicara banyak.
Mobil berhenti. Dion turun lebih dulu, membuka pintu. “Sudah sampai, Bu,” katanya sopan.
Rania menarik napas dalam, hendak berdiri. Tapi sebelum kakinya benar-benar melangkah keluar, Askara yang duduk di sebelahnya menahan pergelangan tangannya. Rania menoleh cepat, bertemu tatapan yang membuat lututnya hampir lemas lagi.
Tanpa peringatan, Askara mencondongkan badan. Bibirnya mendarat di kening Rania. Lama. Hangat. Dalam.
“Selamat malam, Ran,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan yang hanya milik mereka berdua.
Rania terpaku. Seluruh tubuhnya seperti dibungkus sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ia ingin sekali memeluknya lagi, tapi sadar ada Dion dan sopir di luar. Ia hanya mengangguk kecil. “Terima kasih…,” suaranya parau.
Askara melepaskannya perlahan, seolah enggan. Tatapannya mengikuti Rania saat ia menuruni mobil. Bahkan ketika pintu tertutup, pandangan itu tak pergi.
Rania berjalan menuju pintu rumah, tak menoleh. Tapi ia bisa merasakan, dengan sangat jelas, tatapan Askara masih membuntutinya. Menempel di punggungnya, menahannya untuk tidak lenyap begitu saja ke dalam rumah.
Begitu pintu rumah tertutup, barulah mobil hitam itu bergerak menjauh, pelan, seolah ikut enggan meninggalkan sosok yang ada di dalam rumah sederhana itu
Rania tidak langsung berjalan masuk begitu pintu di belakangnya tertutup. Ia bersandar di daun pintu, telapak tangannya menekan kayu yang dingin.
Dadanya naik turun, tidak karuan. Aroma parfum Askara masih lekat di inderanya, juga hangat bibirnya di keningnya.
Pelan, Rania memejamkan mata.
Seolah semua kejadian tadi menabrak bertubi-tubi: tatapan itu, genggaman itu, bibir yang sempat liar di basement… dan berakhir pada kecupan singkat namun mematikan di depan rumah.
“Kenapa rasanya… begini,” bisiknya, nyaris tanpa suara.
Ia mengusap wajah, berusaha mengusir efek yang tak juga reda. Tapi yang tersisa hanyalah satu: dorongan yang makin kuat.
Hari ini, ia sudah tak punya alasan untuk menahan diri.
Langkah Rania terhenti begitu memasuki ruang tengah.
Rumah itu kosong, berantakan. Plastik-plastik makanan tercecer di meja, sisa lauk mahal di dalam kotak. Aroma minyak yang sudah tengik menusuk hidung.
Dia menarik napas pendek. Perutnya mual, bukan lapar. Rania memutuskan untuk langsung masuk kamar Ibra, tempat dia biasa menenangkan diri.
Tapi suara berat itu terdengar dari arah dapur.
“Tuh… tumben pulang cepet,” suara Niko.
Rania menoleh sekilas. “Ya,” jawabnya datar.
Tatapan Niko menelusuri tubuhnya, dari rambut yang masih rapi setelah dibenahi di toilet kantor, sampai blus sederhana yang baru saja ia beli.
Alisnya terangkat sinis. “Baju baru? Uang dari mana? Jangan-jangan kamu beneran jadi tukang di proyek, ya?”
Rania menghentikan langkah, menoleh. “Setidaknya aku kerja, Nik. Bukan ngabisin duit orang tua kayak kamu.”
Ucapan itu membuat Niko mendecak, menghampiri sambil melipat tangan di dada. “Kamu pikir pantes beli baju model gitu? Jelek. Selera kamu itu… murah. Jauh dari perempuan lain yang tahu cara dandan. Kamu kucel, Ran. Bahkan kalau kamu mandi parfum satu botol pun, tetap aja....”
Rania memotong dingin, nada suaranya tajam. “Biarin aja. Aku juga nggak niat kelihatan cantik di depan kamu. Selera kamu kan udah jelas, bukan aku.”
Niko terkekeh sinis. “Nah, akhirnya kamu sadar juga.”
“Bagus. Jadi nggak usah komentar soal bajuku. Kamu makan, bersenang-senang dengan uang orang tuamu, silakan. Aku juga punya hak beli baju dari keringat sendiri,” balas Rania, datar tapi menusuk.
Niko menatapnya lama. Sejenak bibirnya terbuka untuk membalas, tapi tak ada kata yang keluar. Entah kenapa tatapan Rania malam itu membuatnya memilih mundur, kembali ke ruang tengah dengan dengusan kesal.
Rania berdiri kaku di lorong.
Ada lelah, ada panas, dan di balik itu semua, ada satu tekad yang mengeras:
Setiap kali Niko menghina seperti ini, Rania semakin yakin dengan jalan yang ia pilih. Ia tak merasa bersalah sedikit pun pada rumah tangga yang bahkan sudah lama tidak berfungsi. Lagipula kenapa ia harus merasa bersalah, toh bukan hanya sekali ia memergoki Niko meniduri Wulan.
Dalam hati ia bergumam, "Apa aku harus tidur dengan Askara juga?"
(Bersambung)....