Axel sedang menata hidupnya usai patah hati karena wanita yang selama ini diam-diam ia cintai menikah dengan orang lain. Ia bahkan menolak dijodohkan oleh orang tuanya dan memilih hidup sendiri di apartemen.
Namun, semuanya berubah saat ia secara tidak sengaja bertemu dengan Elsa, seorang gadis SMA yang salah paham dan menganggap dirinya hendak bunuh diri karena hutang.
Axel mulai tertarik dan menikmati kesalahpahaman itu agar bisa dekat dengan Elsa. Tapi, ia tahu perbedaan usia dan status mereka cukup jauh, belum lagi Elsa sudah memiliki kekasih. Tapi ada sesuatu dalam diri Elsa yang membuat Axel tidak bisa berpaling. Untuk pertama kalinya sejak patah hati, Axel merasakan debaran cinta lagi. Dan ia bertekad, selama janur belum melengkung, ia akan tetap mengejar cinta gadis SMA itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Elsa termenung, menimang-nimang saran dari Axel. Ia tahu reputasi Irfan di sekolah tidak begitu baik. Banyak yang bilang, Irfan suka bermain-main, bahkan manipulatif. Tapi entah kenapa, saat pria itu menyatakan cinta padanya, ia merasa istimewa. Karena setahunya, Irfan belum pernah benar-benar menjalin hubungan dengan gadis manapun. Itu membuat Elsa percaya bahwa ia mungkin berbeda.
Apalagi, perhatian Irfan yang manis, rayuan yang terasa tulus, dan sikapnya yang selalu membuatnya merasa spesial, semua itu cukup meluluhkan hatinya.
Namun sekarang, setelah mendengar kata-kata Axel, ada secercah keraguan. Apa semua itu nyata? Atau, hanya bagian dari permainan?
Elsa berdiri perlahan dari tempat duduknya. "Ya … tidak ada salahnya mencoba," gumamnya pelan.
Ia berjalan ke meja belajar, dan mengambil ponsel, lalu membuka kontak Irfan. Ibu jarinya sempat ragu menyentuh ikon telepon. Tapi akhirnya, ia menekan panggilan.
Tidak membutuhkan waktu lama, suara Irfan terdengar di seberang sana.
"Halo, sayang! Ada apa menghubungi ku? Apa kau sudah mendapatkan uangnya?" tanyanya cepat, seolah tidak sabar.
Elsa menggigit bibir bawahnya. "Em ... begini, Fan. Maaf, tapi sepertinya aku tidak bisa membantumu. Aku sudah coba meminjam bosku, tapi ... dia menolak. Jadi …"
"Apa? Kenapa begitu?" sentak Irfan dengan nada suara yang berubah tinggi. "Jika bosmu tidak mau memberimu pinjaman, kau bisa meminjam kakakmu, kan? Dia 'kan bekerja, dia pasti mempunyai uang!"
Elsa terdiam. Tiba-tiba, ucapan Axel terngiang kembali di kepalanya. "Jika kau ingin menguji kekasih mu, hal pertama yang harus kau lakukan adalah menolak permintaannya. Lihat bagaimana reaksinya. Cinta yang tulus tidak tergantung apapun, termasuk uang."
Elsa mengepalkan tangannya erat. "Fan, aku tidak ingin melibatkan Kak Roy. Dia pasti akan marah jika tahu untuk apa uang itu. Aku juga tidak ingin menambah masalah keluarga dan bebannya."
"Masalah keluarga? Beban?" ucapan Irfan terdengar kesal. "El, ini penting! Aku bisa kena masalah besar jika tidak mengganti alat itu!"
Elsa menghela napas pelan, mencoba untuk tetap tenang. "Aku tahu, tapi aku benar-benar tidak bisa membantu, Fan.”
Beberapa detik hening. Lalu suara Irfan kembali terdengar, kali ini lebih dingin.
"Jadi begitu, ya. Kau bilang, kau mencintaiku, tapi membantu ku sedikit saja, kau tidak mau. Ternyata kau tidak jauh berbeda dari yang lain."
Elsa tercengang. "Fan! Aku hanya ..."
"Aku pikir, aku bisa mengandalkan mu. Ternyata, aku salah memilih orang."
TUT! TUT! TUT!
Telepon terputus.
Elsa mematung. Tangannya gemetar, jantungnya berdegup kencang. Kalimat terakhir yang Irfan ucapkan, mengguncangnya lebih dari yang ia duga dan terdengar begitu kasar.
"Ternyata, aku salah memilih orang."
Ucapan terakhir Irfan masih terngiang jelas di telinganya. Elsa menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang.
"Elsa?"
Suara itu membuyarkan lamunannya. Ia mendongak pelan dan menemukan Axel berdiri di depannya, membawa dua minuman kaleng dingin.
Raut wajah Axel terlihat cemas saat melihat mata Elsa yang memerah.
"Hey ... Apa yang terjadi?" tanyanya, meletakkan minuman di nakas dan duduk di sampingnya.
Elsa menatap Axel sesaat, lalu menghela napas berat. "Aku ... aku baru saja menelepon Irfan," lirihnya .
"Benarkah? Lalu, bagaimana?" tanya Axel penasaran.
"Seperti yang kau katakan tadi, aku mengatakan padanya jika aku tidak bisa membantu nya," sahut Elsa.
Axel tidak berkata apa-apa. Ia hanya mendengarkan dengan saksama. Tapi, ia bisa menebak, apa yang terjadi setelah melihat wajah sedih Elsa.
"Dan, dia ... dia marah. Dia membentak ku, Kak. Dia bilang, aku sama seperti orang lain, yang tidak bisa diandalkan," lirihnya, dengan mata yang berkaca-kaca. "Ini pertama kalinya aku dibentak oleh orang yang aku sayangi."
Axel mengepalkan tangannya di atas lutut. Tapi, ia tidak menunjukkan kemarahan, hanya mengatur napas dan mengulurkan tangannya untuk merengkuh bahu Elsa, menarik gadis itu dalam pelukannya.
"Jangan bersedih, oke?" bisiknya dengan lembut. "Mungkin, dia seperti itu karena sedang putus asa. Lagipula, ini baru ujian pertama. Kita belum bisa menilai seluruh ketulusannya dari satu reaksi saja."
Elsa diam di pelukan Axel. Dia tidak menangis, tapi tubuhnya terasa berat. Luka kecil itu perlahan mulai terasa dalam.
"Masih ada ujian selanjutnya," ucap Axel.
Elsa menegakkan tubuhnya, menatap Axel dengan mata penuh tanya. "Ujian selanjutnya?"
Axel mengangguk pelan, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang hangat. "Kau masih ingin melanjutkannya, bukan?"
Elsa menatap Axel lama. Ia bisa melihat perhatian yang tulus di mata Axel, yang entah kenapa, membuatnya merasa aman.
"Ya ... aku ingin melanjutkannya. Aku ingin tahu, selama ini, ia benar-benar tulus atau aku hanya sedang dibodohi," jawabnya pelan, tapi tegas.
Axel tersenyum, menepuk lembut bahu Elsa. "Kalau begitu, kita akan lanjutkan ujiannya, besok."
...****************...
Malam harinya, setelah semua terlelap. Axel diam-diam keluar. Dia berdiri, bersandar di tiang lampu jalanan, menunggu kedatangan seseorang.
Dan, tidak lama setelahnya, sebuah mobil hitam, berhenti di depannya.
Axel menegakkan tubuhnya, menatap seorang pria turun dari mobil tersebut.
"Kenapa kau lama sekali, hah?" gerutu Axel.
Martin mengangkat bahu. "Kau juga mendadak saat menghubungiku. Jadi, jangan salahkan aku, jika aku terlambat." Ia menyerahkan sebuah paperbag kecil. "Ini, sesuai pesananmu. Sudah di-setting, kau tinggal memakainya saja.”
Axel menerima paperbag tersebut, mengeluarkan ponsel baru dan tersenyum puas. "Good, sesuai keinginan ku."
"Ck ... Aku penasaran, kenapa ponselmu bisa rusak, hah? Apa kau menggunakannya untuk mengepel lantai saat bekerja?" ledek Martin.
Axel berdecak kesal. "Bajingan itu membantingnya hingga hancur."
"Bajingan? Maksud mu, kekasih gadis yang kau sukai?" tanya Martin.
Axel mengangguk pelan. Ia mengeluarkan ponselnya yang sudah hancur dari saku dan memberikannya pada Martin.
"Oh my God! Benar-benar hancur," gumam Martin. "Kenapa dia seberani itu melakukannya?"
"Aku merekam saat dia bermesraan dengan gadis dari sekolah lain. Tapi, dia tahu dan ... Ya ... Seperti itu."
"Pantas. Dia pasti sangat panik dan menghancurkan barang bukti. Lalu, kenapa kau memberikan rongsokan ini padaku? Kau tidak memintaku memperbaikinya, kan?" tanya Martin.
"Dasar bodoh. tentu saja tidak. Tapi, di dalam ponsel itu banyak data dan email penting. Jadi, aku ingin kau membawanya ke seorang ahli. Siapa tahu masih bisa di selamat kan," ujar Axel.
Martin mengangguk paham. Lalu, ia kembali ke mobil dan mengambil sebuah map berwarna biru gelap.
"Oh, aku hampir lupa. Aku punya kabar besar yang akan membuatmu senang," ucapnya sambil menyerahkan map itu.
"Apa ini?" tanya Axel.
"Perusahaan Sanjaya Group mengajukan proposal kerjasama dengan kita," ucap Martin.
"Sanjaya Group? Bukankah itu ... "
"Ya, ini kesempatan bagus untuk kita. Ah, tidak. Tapi, untukmu," seru Martin.
Axel menaikkan sudut bibirnya. "Aku tidak ingin bermain curang, Martin. Tapi, tidak masalah jika kita menyelidikinya, bukan?" seringai Axel.
axel martin panik bgt tkut kebongkar
hayolah ngumpet duluu sana 🤭🤣👍🙏❤🌹
bapak dan anak sebelas duabelas sangat lucu dan gemesin....