"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"
Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
"Risya!"
Sang empu yang merasa namanya dipanggil mengedarkan pandangannya. Matanya menangkap sosok sahabat yang tengah berlari mengejarnya dari arah belakang.
"Ris, tolongin aku, please!" Suara Dita terdengar parau. Tangannya memegang bahu Risya sedangkan tangan lainnya bertumpu pada lutut. Nafasnya terdengar tidak beraturan.
"Ada apa, Dit?" Risya membantu Dita berdiri tegap, memegang bahu sahabatnya itu.
"Please, bawa aku kabur, Ris. Bawa aku pergi ke mana aja. Bawa aku pergi jauh." Dita memegang kedua tangan Risya, menatap kedua manik sahabatnya itu dengan mata berkaca.
Dengan jarak yang tidak begitu jauh ini Risya bisa melihat wajah Dita. Matanya sembab, hidungnya merah. Wajah Dita terlihat lebih kusut, tidak seceria biasanya.
"Ada apa, Dita? Coba cerita pelan-pelan," ucap Risya berusaha menenangkan sahabatnya ini.
Dita memeluk Risya erat. Isak tangisnya terdengar, dan Risya merasakan sesuatu membasahi bajunya.
"Udah, Dit. Jangan nangis gini. Malu dilihat mahasiswa lain." Risya mengedarkan pandangannya dengan tangan mengelus punggung Dita. Mereka jadi pusat perhatian.
Dita tidak menjawab. Dia terus menggumam meminta Risya untuk membawanya pergi, kabur.
Risya memutuskan membawa Dita pergi dari sana. Mereka sudah menjadi pusat perhatian mahasiswa lain. Selain itu, sepertinya Dita butuh tempat lain untuk melampiaskan sesuatu pada Risya.
Risya memutuskan berhenti di taman yang letaknya tidak jauh dari kampus. Walaupun masih ada satu dua mahasiswa yang lalu lalang, setidaknya mereka tidak begitu peduli dengan Dita yang menangis.
Sebenarnya mereka ada jam pagi hari ini. Tapi melihat kondisi Dita yang sepertinya butuh temen curhat, Risya memutuskan untuk bolos satu mata pelajaran pagi ini.
"Udah, Dit. Coba cerita sama aku, ada apa? Kenapa kamu minta aku buat bawa kamu pergi? Kamu ada masalah? Beberapa hari ini kamu ngilang, sekalinya ketemu malah nangis gini. Ada apa, sih?" Risya yang tidak sabar langsung menghujani Dita dengan pertanyaannya.
Dita terlihat mencoba menguasai dirinya. Walaupun nafasnya masih terlihat sesak, pun isakan masih terdengar, Dita terlihat lebih menguasai dirinya.
"Papa, Ris ..." suara Dita terdengar bergetar.
"Papa kamu kenapa?" Risya bertanya, mendesak.
"Papa jodohin aku sama temen kecilnya, Ris." Dita kembali memeluk Risya, menumpahkan isak tangisnya dipelukan sahabatnya.
Risya terdiam demi mencerna ucapan Dita.
"Aku bingung, Ris. Kamu tahu sendiri aku udah punya pacar yang kenalan di Kalimantan waktu itu. Aku udah nolak, tapi papa maksa, Ris." Suara Dita terdengar disela isak tangisnya.
Risya masih terdiam.
"Aku harus bilang apa sama pacar aku, Ris? Kita jadian belum ada sebulan, tapi aku udah minta putus gitu aja. Aku kasih alasan apa, Ris?" Suara Dita masih terdengar bergetar.
Risya mengusap punggung Dita, hanya itu yang bisa ia lakukan.
"Masa aku bilang, aku udah nggak sayang dia sih, Ris. Itu nampak bohong banget. Kita jadian baru seminggu-an, Masa aku bilang udah nggak sayang dia? Anak kecil juga tahu aku bohong kan, Ris?"
Risya terus mengusap punggung Dita.
"Please, Ris. Bawa aku pergi." Dita melepaskan pelukannya. Wajahnya yang tadi sembab, sekarang terlihat lebih sembab.
"Kenapa harus kabur, Dit?" Risya bertanya.
"Biar perjodohan itu batal, Ris. Aku bisa pergi ke mana aja, terus bilang sama pacarku untuk nemuin aku di kota mana aja. Pasti dia bersedia, Ris," ucap Dita dengan suara dibumbui semangat baru.
Risya menggeleng. "Aku nggak bisa, Dit. Kamu tahu sendiri kan aku gagal dalam misi kabur yang kurencanakan bareng Alex?"
"Pasti berhasil, Ris. Tolong bantu aku." Wajah Dita memelas.
Risya tetap menggeleng. "Kita hadapi aja perjodohan itu, Dit. Kita harus berusaha ikhlas ...."
Dita menggeleng keras. "Aku cinta sama pacar aku, Ris. Aku nggak bisa ninggalin dia!" Tanpa sadar Dita berteriak pada Risya.
Risya menatap wajah Dita. Sahabatnya ini, pertemanan mereka bukan hanya setahun dua tahun. Mereka kenal sangat lama, lama sekali. Baik buruk keduanya saling mengetahui. Risya melihat kobaran berbeda dari Dita, yang baru ia lihat selama ini.
"Aku juga tidak mau menerima perjodohan yang ditentukan Papa, Dit," lirih Risya sambil membuang muka ke arah taman.
"Perjodohan? Kamu juga dijodohkan, Ris?" Wajah Dita yang tadinya sangat kesal, berubah bingung.
Dita memang tidak mengetahui perjodohan Risya. Setelah pulang dari Kalimantan, komunikasi mereka memang putus sebentar. Itu karena Risya selalu mengurung diri di kamar agar tidak bisa menemui Dimas.
Risya mengangguk, menjawab pelan, "Keadaan memaksa aku harus ikhlas, Dit. Kabur juga gagal. Selain ingin terus melanjutkan hubungan dengan Alex yang tidak direstui Papa, aku juga kabur karena keegoisan Papa yang tiba-tiba mau jodohin aku sama salah satu orang penting di kantornya."
Dita memeluk Risya, erat. "Maaf, Ris. Aku nggak tahu. Aku juga egois yang baru tahu sesuatu yang seharusnya aku tau dari awal. Aku terlalu sibuk dengan diriku. Maaf, Ris. Aku minta maaf."
Risya membalas pelukan Dita. "Kita harus berjuang, Dit. Kita harus ikhlas."
Dita kembali menggeleng, melepaskan pelukan. "Aku nggak bisa, Ris. Berat. Aku cinta banget sama pacar aku."
'Memang berat, Dit. Aku juga suka sama temen calon tunangan aku itu,' jawab Risya yang tentu saja hanya membatin.
"Memang nggak mudah. Tapi kita harus terima. Kamu udah ketemu sama calon kamu?" tanya Risya.
Dita menggeleng. "Kata papa, keluarga besar mereka akan datang satu minggu lagi. Aku mau kabur aja, Ris. Aku baru ngerasain jatuh cinta sekali, tapi sekalinya itu dihancurkan sama keluargaku sendiri," lirih Dita.
Risya mendekap bahu Dita. 'Aku memang jatuh cinta lebih dari sekali, Dit. Tapi Epan beda. Jika dulu aku jatuh cinta sama orang ngejar-ngejar aku, sekarang aku jatuh cinta dengan seseorang yang sepertinya tidak menganggap aku spesial.' Risya tidak berani berucap secara langsung, hanya batinnya yang mewakili.
"Aku udah ketemu sama dia, Dit. Tapi keluarga besarnya belum," ucap Risya.
Dita menoleh ke arah Risya. "Siapa, Ris?"
"Dimas. Orang yang ikut kita pulang dari Kalimantan waktu itu," jawab Risya.
"Dia yang dijodohin sama kamu, Ris? Bukannya dia salah satu karyawan Papa kamu? Katamu, dia juga temennya Revano, 'kan?" tanya Dita.
Risya mengangguk. "Dia buka sekedar karyawan. Dia orang spesial yang ada di kantor Papa."
"Ris, Dimas orangnya baik. Kamu udah putus sama Alex. Kamu bisa mencoba mencintai Dimas, Ris. Mintalah bantuan sama dia agar kamu bisa cepat-cepat move on dari Alex," ucap Dita sambil menggenggam tangan Risya, tersenyum simpul.
Risya membalas senyuman Dita. 'Urusannya tidak semudah itu, Dit. Kenapa semuanya menganggap masalah ini gampang? Tidak Epan, tidak Dita, kenapa mereka mengatakan hal yang sama?' batin Risya bertanya.
"Ris, kamu lebih beruntung dari aku. Kamu mendapat seseorang yang pas di saat kondisi kamu yang seperti ini. Kamu beruntung, Ris. Tidak seperti aku," ucap Dita semakin melirih di ujung kalimatnya.
"Tidak segampang itu, Dit. Ini sulit buat aku," gumam Risya pelan.
"Risya, coba lihat aku. Aku belum bertemu dengan orang yang papa jodohkan denganku. Bagaimana jika dia aki-aki? Bagaimana jika dia laki-laki berkumis panjang dengan perut buncit? Aku jelas tidak seberuntung kamu, Ris. Ditambah, aku sudah menggenggam hati orang lain, dan hatiku pun sudah digenggam olehnya. Ini tidak mudah untukku, Ris," ungkap Dita.
'Andai kamu juga tahu, Dit. Hatiku memang sudah terlepas dari Alex, tapi ada orang asing yang merebut paksa hati ini hingga tidak bisa melupakannya begitu saja. Ini juga tidak mudah untukku, Dit. Setidaknya, kamu sudah mengetahui penggenggam hatimu memang benar-benar mencintaimu, sedangkan aku? Cintaku bertepuk sebelah tangan, Dita,' Risya kembali membatin.
"Cobalah menerima Dimas, Ris. Kamu pasti bisa. Dimas pasti juga berjuang untuk kamu 'kan?" Dita kembali bersuara.
Risya kembali membatin dengan menatap Dita, 'Aku sudah berusaha, Dita. Selama kamu tidak melihat, aku sedang berjuang membuat rasa agar tumbuh untuk Dimas. Tapi apa? Hatiku mengkhianati aku, Dita. Aku dikhianati oleh hatiku sendiri.'
Risya menundukkan kepalanya, setetes bulir bening meluncur. 'Ragaku terlihat bahagia ketika bersama Dimas. Itu semua dusta, Dita. Aku seolah bahagia, malu-malu seperti sepasang kekasih baru, itu aku lakukan agar mendapat perhatian Epan.'
'Aku ingin lihat, reaksi apa yang Epan berikan saat aku mengatakan calon tunangan Dimas. Kamu tahu? Epan tidak bereaksi apapun. Positifnya, aku melihat rasa tidak senang di wajah Epan. Hatiku bersorak, apa Epan tidak terima aku mengatakan itu?'
'Sisi negatifnya langsung menjelaskan, aku telah mengkhianati Dimas. Epan jelas tidak terlihat sedih, ia justru senang, sebab tugas dari papa sudah tuntas. Hanya aja aku tahu, Epan begitu pandai menguasai emosinya.'
'Sisi negatif itu menjelaskan, aku telah mengkhianati diriku sendiri. Aku bersikap seolah malu-malu menatap wajah Dimas, padahal ekor mata ini diam-diam memperhatikan Epan yang memang berada di sebelahnya.'
'Aku terlalu lemah, Dita. Perasaan ini mengungkungku. Epan tidak melakukan sesuatu yang berarti, menjadi bodyguard seperti pada umumnya. Sifat dinginnya membuatku kesal, tapi sifat itu juga yang membuatku terjerat untuk mendefinisikan cinta yang baru tumbuh.'
"Risya, kamu baik-baik aja?"
Risya segera mendongakkan wajahnya. Mengusap air matanya dengan cepat. Dia melamun dengan fikiran seolah bercerita. Ini gila. Kenapa Risya tidak langsung bercerita pada Dita, curhat?
"Kamu diam terus setelah aku berucap? Aku ada salah kata? Maaf, Risya. Aku tidak tahu." Dita memeluk sahabatnya itu, air matanya kembali mengalir.
"Nggak, Dita. Ini bukan karena ucapannya," suara Risya terdengar serak.
Kedua gadis itu tenggelam dalam kesedihan yang sama. Sama-sama karena keegoisan orangtua yang tidak membaurkan putrinya mencari kebahagiaannya sendiri.
Tanpa disadari siapapun, tanpa disadari kedua gadis itu, dua pasang mata dari lelaki bersaudara menatap mereka dari kejauhan. Lelaki yang sebenarnya kembar namun tidak identik itu memperhatikan dari jarak yang tidak diketahui dua gadis itu.
"Risya benar," salah seorang dari mereka bergumam.
"Jaga Dita untukku, Bang Van. Dia memang orang baru, tapi tempatnya sangat spesial di hatiku," ucap Reno menepuk pelan pundak Revano.
Langkah kaki Reno terdengar menjauhi Revano.
••••
Bersambung
Komen dong ayoo aku butuh kalian tauu🙃