Kala gemerlut hati semakin menumpuk dan melarikan diri bukan pilihan yang tepat.
Itulah yang tengah Gia Answara hadapi. Berpikir melarikan diri adalah solusi, namun nyatanya tak akan pernah menjadi solusi terbaik untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _NM_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
XI
Bara dan Shila saat ini tengah berjalan, hendak pulang ke rumah. Sehabis belajar bersama disalah satu rumah teman mereka di SD. Ditengah-tengah jalan Bara dan Shila harus mendapati segerombolan anak-anak nakal yang selalu mengganggu mereka. Sontak saja Bara berjalan didepan Shila, berusaha melindungi adeknya dibelakang. Mereka berusaha berjalan tanpa membuat perhatian berarti pada anak-anak nakal itu.
Tetapi sayang, salah satu anak pentolan gerombolan itu menangkap keberadaan Shila dan Bara. " Eh ada anak yatim lewat. " Ucap anak itu, mengundang gelak tawa pada teman-temannya.
Mendengar itu Shila semakin merapatkan jarak dengan sang kakak, meraih kaos Bara ketakutan. Matanya mulai berkaca-kaca, merasa sedih dengan kata-kata yang terlontar. Sedangkan Bara berusaha sekuat tenaga untuk tak menggubris anak-anak nakal itu. Tetap melanjutkan jalan dengan menuliskan telinga.
" Wih, sombong banget jadi orang. Pantes gak punya bapak, orang anaknya sombong gini. " Lagi-lagi anak-anaknya itu melontarkan kata-kata tak enak.
Mendung diwajah Shila sudah tak tahan lagi untuk ditutupi. Shila pun semakin menundukan kepalanya, sedih. Bara hanya melewati anak itu tanpa mengatakan apa-apa. Membuat anak itu menggeram kesal. Melihat Shila yang tepat dihadapannya, anak itu mendorong tubuh kecil Shila kuat-kuat.
Shila duduk terjatuh. Menundukkan kepala, terisak dalam tangisannya. Shila sedih, sangat sedih.
Bara yang melihat itu langsung menatap tajam anak itu dengan tangan mengepal erat. " Zevan! "
Anak itu dan segerombolannya tertawa mengejek. " Apa? Berani lo? " Ucap pentolan gerombolan itu yang bernama Zevan.
Bara berjalan mendekat dan mendorong Zevan tak kalah kencang. " Anjir! " Teriak Zevan kesal, menatap Bara.
" Mending gue gak punya ayah, daripada Lo gak punya ibu. Pantes ibunya meninggal, pasti gara-gara anaknya nakal kayak Lo. " Tuding Bara tepat pada Zevan.
" Kurang ajar Lo anjir. " Zevan beranjak dari duduknya hendak menggapai tubuh Bara.
~|~
Gia berjalan cepat menuju rumah tetangganya, setelah mendapat telpon dari salah satu tetangganya, mengatakan cucunya dan anak-anaknya tengah mengalami perseteruan.
Ditengah jalan, mata Gia menatap salah satu tetangganya yang hendak masuk kedalam rumahnya. Dia adalah ayah anak yang tengah berseteru dengan Bara. Pria itu sama halnya dengan Gia, baru saja pulang dari kerja, terlihat dari peluh diwajahnya.
" Loh mbak Gia tumben kesini, ada apa yah mbak? " Melihat tetangganya yang berkunjung dirumahnya, membuat ayah anak 1 itu bertanya-tanya. Pria itu bernama Reno.
Gia menatap pria berumur 32 tahun itu dengan kerut didahi. Nampaknya pria itu belum diberi tahu oleh sang ibu tentang perseteruan anak-anak mereka.
" Oh itu mas, saya ditelpon oleh ibu mas, katanya anak saya ada didalem. Boleh saya masuk, menemui anak saya mas? " Ucap Gia kikuk.
" Oh, silahkan-silahkan mbak. " Pria itu membuka pintu pagar yang tadi hendak pria itu tutup. Mempersilahkan Gia memasuki rumahnya. Meski kerut di dahi pria itu berkerut bingung tak tahu apa-apa.
Gia mengangguk, mulai memasuki pagar rumah, dan berjalan terlebih dahulu memasuki rumah tetangganya itu.
Reno tak menutup pagar rumahnya. Memilih ikut masuk kedalam rumah, mengekori wanita beranak 2 itu.
" Assalamualaikum. " Ucap Gia setelah telah menangkap keberadaan anak-anaknya diruang tengah.
Dapat Gia lihat, seorang wanita paruh baya tengah mengusapi seorang anak remaja disampingnya, penuh rasa sayang. Sedangkan anak-anak Gia berada di depan pintu masuk, dengan Shila yang terus menempel pada abangnya, merasa disudutkan.
Seusai salam yang diucapkan Gia, orang-orang yang berada di ruang itu menatap ke arahnya.
" Bunda.. " Ucap Bara.
Shila berlari kepelukan Gia, menangis meraung disana. " Bunda Shila takut. Shila mau pulang. "
Gia memeluk sang anak dengan tatapan yang masih terpatri pada wajah salah satu anak tetangganya. Anak remaja itu sudah penuh akan lebam-lebam dipipinya, membuat Gia tanpa sadar meringis ditempatnya. Gia jika menatap ke arah Bara, anak cowoknya itu juga tak kalah tragis keadaannya dengan anak salah satu tetangganya itu.
" Bun, bunda dibelakang Bara aja yah. Biar bunda gak kena marah sama neneknya Zevan. " Ucap Bara menggapai tangan ibunya, menatap penuh khawatir pada sang ibunda.
Bara tahu, bundanya itu sering kali mendapatkan fitnah dari tetangga-tetangganya, dan fitnah paling parah dilontarkan oleh nenek tua itu. Bara tak mau bundanya merasa sedih lagi.
" Bara, bisa tolong jelasin ini semua ke bunda? " Ucap Gia menahan amarah dilubuk hatinya.
Tak ada nada kelembutan disana, membuat Bara menundukan kepalanya, ketakutan pada sang bunda.
" Ajari anak kamu itu, Gia. Jangan-jangan mentang-mentang kamu single parents, kamu ngebiarin anak-anak kamu bertindak nakal seperti itu. Kamu tuh gak becus jaga anak. " Saut wanita paruh baya itu. " Lihat cucu oma, sampai babak belur gini. Mana katanya habis dihina-hina gak punya ibu sama anak itu. "
Gia mendongak, menatap pria paruh baya itu dengan tatapan tajam.
" Enggak, bundanya Bara gak salah. Bunda sudah mendidik Bara dengan baik. Zevan aja yang nakal, dia ngehina Bara sama Shila gak punya ayah. " Terang Bara menatap nenek Zevan, lalu menatap ibunya. " Tapi Bun, Bara sama Shila gak gubris omongan Zevan kok. Tapi Zevannya nakal dorong Shila Sampek jatuh tadi. Bara gak salah kan Bun, Bara cuma mau bales perbuatan Zevan yang udah jahatin Shila. Itu aja. " Ucap Bara dengan mata berkaca-kaca menatap sang ibunda.
Gia tercekat ditempatnya, bingung harus mengatakan apa. Wanita itu hanya dapat membawa Bara kedalam pelukannya, membuat Bara menenggelamkan wajahnya disana, lalu mulai menangis sedih. Bagaimanapun Bara kuat diluar sana, Bara tetaplah seorang anak kecil dihadapan ibunya, masih sering cengeng kala dunia menyudutkan.
Zevan yang sedari tadi diam mengamati, kini mulai memalingkan wajahnya, dan memeluk sang nenek. Sedangkan sang Reno yang mengamati semua perbincangan itu memilih maju mendekati sang anak, Zevan.
" Bener yang dibilangin Bara, Zevan? " Tanya Reno menahan amarah di pelupuk mata, menatap anaknya yang suka menjadi-jadi itu.
Zevan diam tak menjawab, kini dia juga mulai ketakutan suara sang ayah. Membuat Reno menggertakan giginya kesal.
" Zevan, ayah nanya! " Tekan Reno.
Zevan masih setia dengan kebungkamannya, semakin mengeratkan pelukannya pada sang nenek. " Reno, kamu jangan per- " Belum sempat wanita paruh baya itu menyelesaikan ucapannya, Reno sudah menyela perkataan ibunya.
" Zevan! " Sentak Reno, menggelegar di seluruh penjuru rumah. Ayah 1 anak itu menarik Zevan dari pelukan neneknya, membawa anaknya itu tepat berada dihadapannya, lalu ia tatapi anaknya itu dengan tajam.
Zevan terisak dalam tangisannya. " Zevan iri sama Bara dan Shila. Mereka punya ibu, sedangkan Zevan gak punya. Kenapa yah, kenapa ibu Zevan bukan Tante Gia ?! " Teriak anak itu sedih.
Dia kesepian selama ini. Hanya memiliki sang nenek disampingnya, sedangkan ayahnya itu sibuk bekerja. Terkadang berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam. Membuat Zevan tak sempat bertemu dengan sang ayah. Ini saja kebetulan sekali Reno pulang cepat, eh malah dihadapkan dengan keadaan seperti ini.
Zevan benar-benar sedih, dia kesepian, kala kekurangan selalu menguar menyertai langkahnya. Melihat salah satu anak sepantarannya yang selalu mendapatkan pelukan ketika ibunya pulang, membuat hati Zevan berteriak sedih. Sampai kapan pun Zevan menunggu, tak akan ada pelukan terkasih menyelimuti. Neneknya memang selalu ada untuknya, tapi Zevan tak akan pernah merasa lengkap kala ibu dan ayahnya tak berada disebelahnya.
" Zevan.. " Lirih neneknya, menatap sedih ke arah cucunya.
Hal itu membuat pria beranak 1 itu tercekat dalam keterdiamannya. Hatinya seolah tertusuk oleh ribuan belati tajam.
" Zevan sedih yah. Zevan gak punya orang tua disebalah Zevan, gak ada yang meluk Zevan pas Zevan dapet nilai 100 di ujian. Gak ada yang cium kening Zevan kayak bunda Bara ke Bara. Ayah selalu sibuk, ninggalin Zevan sendiri disini sama Oma. Zevan sedih yah, sendirian. " Anak remaja itu semakin terisak dalam tangisnya.
Senyap, tak ada yang menyahut. Mendung semakin menggelegar dalam ruangan itu.
" Zevan juga mau, punya ibu kayak Tante Gia. " Zevan mulai menundukan kepalanya sedih.
Hening beberapa saat, hingga suara lembut Gia mengintrupsi telinga semua orang. " Zevan kalau merasa kesepian, main ke rumah Tante aja. Nanti Zevan bisa makan bareng-bareng sama Bara dan Shila. Kan seru main bareng-bareng, daripada berantem terus. "
Hal itu menuai berbagai reaksi yang berbeda diwajah semua orang. Zevan menatap Gia dengan benar kentara dimatanya, dengan sesekali isakan kecil terdengar.
" Jangan dengerin dia Zevan. Dia pasti lagi ngincar harta ayah mu. " Sinis nenek Zevan, kejam.
Gia terdiam.
Entahlah, Gia harus merutuki ucapannya atau tidak, yang pasti Gia hanya merasa satu perasaan dengan yang dirasa Zevan selama ini. Tumbuh dengan patah-patahan disayap, membuatnya sangat paham apa yang tengah dirasa anak remaja itu. Membuat Gia turut sedih dalam perasaannya.
" Bu, jangan ngomong kayak gitu. " Ucap Reno tak enak. Pria itu mulai berbalik menatap Gia tak enak. " Tolong maafin semua perkataan yang dikatakan oleh ibu saya yah mbak Gia. "
Gia hanya tersenyum tipis sebagai tanggapannya. Lebih memilih tak menjawab memaafkan atau tak memaafkan. Gia memilih diam sebagai jawabannya.
Reno merasa tak enak pada wanita dengan 2 ekor itu. Tapi tak dapat dipungkiri, kekagumannya pada sosok wanita tangguh itu semakin kuat menguar dipelupuk lara. Seandainya saja pinangannya pada wanita itu diterima, mungkin kini anak-anak mereka tak perlu merasa kekurangan sedikit pun. Begitu pula dengan hidupnya yang merana ditinggal kekasih, mungkin saja dia akan merasa kembali lengkap dengan keberadaan wanita itu disisinya. Dan mungkin saja ibunya tak akan sejulid itu pada wanita tangguh itu. Tapi sayang, pinangannya 5 tahun lalu tertolak, membuatnya hanya dapat mengubur perasaannya dalam-dalam.
Siapa yang tak mau dengan wanita setangguh dan seteduh wanita itu? Meski berulang kali diterjang badai, kakinya tetap kokoh memberikan pesona tersendiri didalam lubuk hati terdalam. Reno kagum pada wanita itu, tapi apa boleh buat hati tak ada satupun yang dapat mengatur, begitu pula dengan Reno.
Bahkan seorang bos tambang saja sudah pernah berkunjung untuk meminang, namun wanita itu masih teguh dengan kesendiriannya itu, sibuk dengan prestasi-prestasi anaknya yang membanggakan.
Yah, itulah yang pria pria lihat pada diri Gia. Tetapi nyatanya dia tak ingin kembali membangun bahterai karena memang merasa belum cukup baik untuk menjadi seorang istri. Banyak hal dibelakang yang tak diketahui oleh khalayak, traumanya, ketakutannya, dan ketidakmampuannya. Bahkan jika saat itu tragedi itu tak terjadi, mungkin Gia akan lebih memilih tak menikah seumur hidup, melajang dengan diri pertapaannya.