"Mereka mengira pertemuan itu adalah akhir, padahal baru saja takdir membuka lembar pertamanya.”
Ameena Nayara Atmaja—seorang dokter muda, cantik, pintar, dan penuh dedikasi. Tapi di balik wajah tenangnya, ada luka tersendiri dengan keluarganya. Yara memilih hidup mandiri, Ia tinggal sendiri di apartemen pribadinya.
Hidupnya berubah ketika ia bertemu Abiyasa Devandra Alaric, seorang CEO muda karismatik. Yasa berusia 33 tahun, bukan seperti CEO pada umumnya yang cuek, datar dan hanya fokus pekerjaannya, hidup Yasa justru sangat santai, terkadang dia bercanda dan bermain dengan kedua temannya, Yasa adalah anak yang tengil dan ramah.
Mereka adalah dua orang asing yang bertemu di sebuah desa karena pekerjaan masing-masing . Awalnya mereka mengira itu hanya pertemuan biasa, pertama dan terakhir. Tapi itu hanya awal dari pertemuan mereka. satu insiden besar, mencoreng nama baik, menciptakan gosip dan tekanan sosial membuat mereka terjebak dalam ikatan suci tanpa cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nōirsyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
adrian
PAGI HARI, BANDARA SOEKARNO-HATTA – 07.00
langit pagi masih agak abu-abu. Terminal bandara mulai ramai. feli, yara, mora, fio, adrian dan deva berdiri dengan koper masing-masing. Mereka tampak lelah, mata agak sayu, tapi tetap ngobrol heboh sambil nunggu ojek online.
fio ngelus pinggang sambil nguap lebar
"Gue... sumpah... baru sadar ya badan manusia tuh bisa remuk kayak abis dihajar truk."
mora duduk di koper sambil peluk tas selempang
"Fix. Sampai rumah gue mau mandi air anget, terus tidur sampe maghrib."
feli tertawa mendengarnya
"Lah lo yakin mandi dulu? Gue mah langsung rebahan. Mandi? Biar jadi dosa nanti jam 3 sore aja..."
deva masih melek tapi udah pasrah
"Gue mah lebih parah. Kalau kasur gue bisa ngomong, dia pasti nyanyi lagu ‘Akhirnya Kuu... Pulang Juga~’"
yara melihat koper yang beratnya udah kaya bawa batu bata
"Eh tapi asli, tas kita semua tuh udah nggak normal. Gimana ceritanya koper Mora isinya kripik semua coba?"
Mora langsung nyolot
"Kripik tuh penyelamat hidup lo ya! Waktu lo ngedrop kemarin, siapa yang nyodorin keripik singkong? Hah?!"
"Tenang-tenang... pejuang kesehatan jangan saling serang. Kita ini pasukan cinta damai." ucap fio
saat Fio, Mora, Feli, Yara, dan Deva sedang asik-asiknya bercanda.
adrian menyeruput kopi pelan, terus nyeletuk santai
"Kalian berisik banget ya buat orang yang kurang tidur..."
fio noleh ke Adrian, pasang muka kzl lucu
"Eh senior sok kalem detected!"
mora ikut nyusul "Ya ampun, Dr. Adrian yang selama di desa jaim banget, sekarang nongolnya kaya cameo Marvel."
adrian mengangkat alis sambil nyengir "Ya namanya juga biar elegan. Gak semua orang cocok gaya rusuh kayak kalian."
"Bro... kita tim satu penderitaan, jangan elegan-eleganan, kita semua sama-sama mata panda." Timpal deva
" kak Adrian sih tenang... padahal waktu di tenda medis, dia yang paling sering bilang 'udah ya, gue break dulu 5 menit'" Feli
adrian tertawa pelan "Lah kalo gak gitu, siapa yang jaga kewarasan?"
yara ikut menimpali sambil tertawa "Eh tapi bener, kak Adrian ini fix pawang chaos, setiap kita pada heboh, dia yang kayak... ‘napas dulu guys, napas’."
semua ketawa, termasuk Adrian. Suasana jadi makin cair dan hangat.
adrian tersenyum ke semua
"Seneng banget bisa bareng kalian. Capek-capeknya worth it."
mora mengangkat jempolnya lucu
kak adri juga seru, walau kadang ngilang entah kemana."
"Strategi bertahan hidup. Menghindar dari Feli kalo udah mulai joget tiktok." kata adrian mengejek
teriak sambil lempar bantal leher
"KAK ADRIANN!!!"
Mereka semua tertawa lagi, satu per satu dijemput mobil dan berpamitan.
Setelah berpamitan di bandara, Adrian menyetop taksi dan kembali ke apartemennya yang tak jauh dari rumah sakit tempat ia bekerja. Hidup mandiri sudah menjadi pilihannya sejak lama, ia mencintai profesinya, dan lebih nyaman mengatur hidupnya sendiri tanpa harus tinggal bersama kedua orang tuanya.
Sesampainya di apartemen, ia langsung menjatuhkan tubuh ke kasur. Hanya tidur sebentar, karena kelelahan setelah perjalanan dari Desa Warasari. Sinar matahari siang menembus tirai jendela, menyambut hari libur terakhir para sukarelawan sebelum kembali menjalani rutinitas di rumah sakit esok hari.
Setelah terbangun, Adrian beranjak mandi, lalu mulai merapikan apartemennya yang sedikit berantakan dan berdebu karena seminggu ditinggal. Ia membersihkan dapur, mengganti sprei, lalu memasak makan siang ringan sambil menyalakan televisi di ruang tengah. Sesekali ia tersenyum kecil menonton tayangan favoritnya, menikmati momen tenang yang jarang ia dapatkan.
Ponselnya tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan dari “Papa”.
“Adrian, kamu udah pulang, Nak?” suara tegas Ayahnya terdengar dari seberang telepon.
“Udah, Pa. Ini lagi istirahat aja di rumah,” jawab Adrian sambil menguap kecil.
“Besok malam ikut Papa ya ke acara pesta pernikahan model papan atas. Banyak pengusaha besar yang hadir.”
“Buat apa, Pa?” nada suara Adrian mulai terdengar malas. Ia hafal betul arah pembicaraan ini.
“Ya buat kenalan, lah. Bisa dapet banyak relasi. Jangan terlalu fokus sama pekerjaan kamu, kamu itu calon penerus bisnis Papa.”
“Pa, aku udah bilang kan... aku nggak mau nerusin bisnis Papa. Aku lebih nyaman dengan profesiku sekarang,” Adrian mencoba bersikap tenang, meskipun hatinya mulai jengkel.
“Adrian, kamu jangan susah diatur ya. Papa ini udah tua, siapa lagi yang mau nerusin semua ini selain kamu? Cuma kamu, satu-satunya anak Papa. Sudah, Papa nggak mau dengar alasan lagi. Pokoknya kamu datang.”
Belum sempat Adrian membalas, terdengar suara ceria dari belakang,
“Jangan lupa bawa calon menantu Mama ya, Adriaaaan!” seru Mama Indri dengan nada menggoda.
Adrian hanya bisa terkekeh kecil sambil menggeleng. “Iya, Ma…”
Setelah itu, telepon ditutup. Di rumah keluarga Kusuma, Pak Abraham ayah Adrian tengah duduk di ruang tamu.
“Huh, anak kamu itu susah banget dibilangin. Tinggal nerusin aja loh bisnis papanya,” keluh Pak Abraham sambil menghela napas.
“Namanya juga udah jadi dokter, Pah. Masa semuanya mau dia kerjain,” sahut Mama Indri tenang.
“Kan Papa udah bilang dari dulu, suruh dia ambil jurusan bisnis. malah ambil kedokteran anak itu"
“Udahlah, Pah. Anak kita mau mandiri kok, bagus kan? Nggak mengandalkan kekuasaan orang tua terus.”
"Ya tapikan-" belum selesai pak Abraham menyelesaikan kalimatnya, sudah dipotong oleh istrinya
“Sstt… Udah, ini minum tehnya. Mama capek loh buatnya,” ucap Mama Indri sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana.
Pak Abraham pun tersenyum kecil dan mulai menyesap teh hangat buatan istrinya, diam-diam tetap berharap suatu hari nanti Adrian akan mengubah pikirannya.