Kehidupan Zayn berubah dalam semalam karena orang tuanya tega 'Membuangnya' ke Pondok Pesantren As-Syafir.
"Gila gila. Tega banget sih nyokap ama bokap buang gue ke tempat ginian". Gerutu Zayn.
---
Selain itu Zayn menemukan fakta kalau ia akan dijodohkan dengan anak pemilik pondok namanya "Amira".
"Gue yakin elo nggak mau kan kalau di jodohin sama gue?". Tanya Zayn
"Maaf. Aku tidak bisa membantah keputusan orang tuaku."
---
Bagaimana kalau badboy berbisik “Bismillah Hijrah”?
Akankah hati kerasnya luluh di Pondok As-Syafir?
Atau perjodohan ini justru menjerat mereka di antara dosa masa lalu dan mimpi menuju jannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MayLiinda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
ZAYN POV
Gue pikir habis ngobrol sama Amira di serambi mushola semalam, hati gue bakal lebih tenang. Nyatanya, pagi ini kepala gue masih ribut, subuh pondok ini kerasa lebih dingin dari biasanya.
Azan pertama belum selesai, gue udah duduk di emperan aula. Sarung tipis gue basah kena embun, tasbih retak masih gue puter-puter di jari. Di kepala gue masih terngiang kata-kata dia,
“Jangan takut jatuh. Allah nggak pernah tinggalin yang mau bangun lagi.”
Gue senyum miris. ‘Lo denger tuh, Zayn. Lo yang minta jalannya panjang rasain sekarang.’
Di samping gue, Falah ngucek mata, baru bangun. Yusuf udah siap bawa sarung lipat sama mushaf. Khairi, yang paling kalem, berdiri merapikan peci putihnya. Kami berempat jalan ke mushola bareng, lampu neon jalan setapak kedip-kedip kayak mau mati.
AUTHOR POV
Pagi pondok As-Syafir dingin. Santri putra sudah berkumpul di mushola. Beberapa ada yang nguap sambil megang mushaf lusuh, suara ngaji masih belepotan. Tapi Zayn berdiri di shaf belakang, matanya nyalang, lidahnya kaku.
“Bro, cepet sambung, ayatnya salah lagi tuh…” bisik Yusuf pelan. Tapi Zayn cuma geleng, nafasnya pendek. Tangannya gemetar. Dia masih kagok lidahnya biasa maki-maki di jalanan, sekarang harus mengucapkan ayat suci Al-Quran.
Falah tepuk pundak Zayn. “Salah nggak apa-apa. Yang penting berani maju.”
Zayn ngangguk. Nafasnya panjang. Tapi di belakang, suara bisik-bisik santri lain udah mulai nyaring.
“Tuh kan, anak geng motor. Ngaji aja nyerah.” “Bentar lagi juga kabur, paling.”
ZAYN POV
Selesai subuh, gue nggak langsung balik tidur. Gue duduk di tangga mushola, sambil ngelihatin langit pondok yang mulai biru pucat. Dada gue masih berat. Gue tau, buat mereka gue tetep anak geng motor dan premannya pondok dan Gue harus terima.
Khairi duduk di samping gue, lempar roti sobek yang dia selip di kantong sarung. “Nih makan. kamu butuh tenaga. Nggak usah dengerin apa kata mereka.”
Gue nyengir kecil. Roti itu keras. Tapi rasanya lebih enak dari rokok basi di markas dulu. “Makasih, Ri.”
"Yoi bro." Jawabnya sambil mengangkat jari jempolnya.
AUTHOR POV
Menjelang siang, pondok makin ramai. Anak-anak pada nyapu halaman, angkut karung sampah, siram kebun sayur di belakang asrama. Zayn ikut bareng Yusuf nyapu di deket kamar mandi. Baru dua langkah, sapu lidinya patah.
Beberapa santri lewat, ketawa kecil. Rifki santri senior yang suka nyinyir nyerocos sambil cengengesan.
“Wih, premannya pegang sapu! Jangan sampe sapunya dipake ngebacok orang ya, Bro!”
Yang lain cekikikan. Zayn cuma garuk kepala. Yusuf mau nyaut, tapi Zayn tahan. “Udah, Suf Biarin aja.”
Di pojok aula, Hamdan berdiri bawa ember, pura-pura bantu nyiram tanaman. Tapi matanya waspada, nyimak semua yang terjadi.
‘Nih bocah keras kepala banget… jatuhnya belum dalam.’
ZAYN POV
Siangnya gue tiduran di emperan. Sarung tipis gue jadi alas. Mata gue melek ngeliatin langit. Di kepala, suara omongan orang masih berisik. ‘Zayn kabur Zayn kabur Zayn kabur.’
Gue hirup nafas panjang. Tangan gue nyari tasbih retak di saku baju koko. Butirannya tinggal setengah. Pecah satu-satu kayak sabar gue juga pecah.
Falah duduk di sebelah, bagi es lilin. “Tenang, Bro. Besok-besok juga mereka bosan nyinyirin kamu.”
Gue ketawa kecil. “Kalau gue kabur lagi, tolong tabok muka gue.”
Falah nyengir. “Siap Bro.”
AUTHOR POV
Sore di pondok, Zayn ikut jamaah asar. Suaranya masih salah-salah. Tapi Kyai yang mengimami cuma senyum tipis, nggak nyuruh dia mundur.
Malamnya, habis isya, Zayn duduk di sudut aula. Falah, Yusuf, Khairi di sekitarnya. Mereka buka mushaf bareng, setoran hafalan, meski masih belepotan.
Di sudut tasnya, Zayn nemu kertas kecil. Tulisannya miring. Huruf Amira. Sama seperti yang dia simpan semalam.
“Kalau capek, istirahat. Tapi jangan pulang ke jalanan. Pulang ke rumah Allah.”
Zayn senyum kecil. Matanya panas. Tangannya meremas tasbih retak.
ZAYN POV
Di kepala gue, suara Amira nyambung sama suara Kyai, sama suara Falah, Yusuf, Khairi. Tapi di luar aula, Hamdan ngintip. Dia ngetik pesan ke seseorang entah itu siapa.
“Dia rapuh. Tunggu bentar lagi. Gue siap nyeret dia balik ke kota kalau dia jatuh lagi.”
Gue nggak peduli. Gue peluk mushaf, gue kunci mata. Malam di pondok saat ini cukup dingin. Tapi gue nggak mau kabur. Kalau pun jatuh, gue akan jatuh di sini, di lantai kayu ini bukan di aspal jalanan.
“Lo udah janji, Zayn. Lo yang minta jalan pulang.”
Batin gue.
AUTHOR POV
Dan subuhnya, Pondok As-Syafir bangun lagi.
Langit retak, hujan rintik.
Di emperan aula, tasbih retak Zayn pecah satu butir lagi.
Tapi langkahnya makin dalam di tanah pondok — tanah yang pelan-pelan dia pilih jadi jalan pulang.
To Be Continued...✨️🫶