Para tamu undangan telah memenuhi ruangan, dan Hari H berada di depan mata. Hanya tinggal menanti sepasang calon mempelai mengucap janji suci, pernikahan pun sah di mata publik dan agama.
Namun, apa jadinya jika kedua calon mempelai tak kunjung memasuki acara? Pesan singkat yang dikirim hampir bersamaan dari kedua mempelai dengan maksud; berpisah tepat di hari pernikahan mereka, membuat dua keluarga dilanda panik dan berujung histeris.
Demi menutupi kekacauan, dua keluarga itu memojokkan masing-masing anak bungsu mereka yang kebetulan usianya hampir seumuran.
Sharon dan Alaska. Dua orang yang tak pernah terduga itu mau tidak mau harus menuruti perintah keluarga.
Fine! Hanya menikah!
Tahukah jika Alaska sudah punya pacar? Setelah hari ini menikah bersama Sharon, besok Alaska akan langsung membubarkan pernikahan gila ini!
Namun, keinginan itu seolah pupus saat mereka berdua malah menghabiskan malam pertama mereka, selayaknya pasutri sungguhan.
Sial.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Panggilan Baru
"Pagi!" Sharon spontan terlonjak saat tanpa diduga, Alaska memeluk tubuhnya dari belakang. Tak ayal, Alaska bahkan mendusel-duselkan kepalanya manja di ceruk leher Sharon.
Dengan perasaan yang jauh lebih baik ketimbang kemarin, Sharon mengucek rambut Alaska gemas. "Kamu udah mandi?"
"Hm, belom."
"Mandi dulu, gih!" Suruhan Sharon dibalas decak sebal oleh Alaska.
"Pengen mandi bareng." Gumam Alaska. Kedua tangannya mulai nakal menggerayangi perut Sharon, sampai berakhir menelusup memasuki piyama tidurnya.
"Emh, a-aku udah mandi!" Perlahan, Sharon melepaskan diri dengan mendorong Alaska secara halus. Senyuman manis menghiasi wajah cantik Sharon, namun tak membuat Alaska balas tersenyum. Yang ada, Alaska malah memberengut kesal seraya berdecak.
"Jahat banget nggak nungguin,"
"Kalau aku tungguin, yang ada nggak selesai-selesai."
Alaska terkikik geli atas jawaban Sharon. "Tahu aja. Ya udah, aku mandi dulu, ya, Sayang!"
"Hm."
Sepeninggalan Alaska ke kamar, Sharon mulai mengembuskan napas lega. Jantungnya memacu cepat, dan wajahnya memerah panas.
"Oh my god! Apa yang udah gue lakuin kemareennnn? Aaakkk, malu bangetttt!" Sharon mengipasi wajahnya yang terasa semakin memanas.
Tak berapa lama, bel apartemen berbunyi. Dengan cepat Sharon berdeham beberapa kali seraya berjalan untuk membukakan pintu.
"Pagi! Mbak Sharon, ya? Ini pesanannya, Mbak, sesuai aplikasi." Seorang laki-laki berseragam hijau khas tukang ojek online, menyerahkan pesanan makanan Sharon.
"Makasih, ya, Mas!" Sharon menerima dengan senang hati pesanan yang diberikan. Dirasa usai, Sharon kembali menutup pintu, begitupun dengan kang ojek online yang lanjut mengantar pesanan makanan yang lain.
...****...
Pagi itu, menjadi pagi yang teramat memuakan bagi Sherly. Dalam posisi berdiri menghadap jendela kamar kostnya, perempuan itu melamunkan berbagai hal yang akhir-akhir ini mengusik pikirannya.
Stevan. Entah apa maksud dari perlakuan laki-laki itu kemarin bersikap baik pada Sherly. Laki-laki yang juga adalah atasannya di tempat kerja itu bahkan sampai merelakan waktu berharganya untuk mengantar Sherly ke klinik. Setelahnya, tak berhenti sampai di sana, Stevan membawa Sherly ke tempat makanan enak.
Di sana, Stevan mengutarakan berbagai macam hal pada Sherly untuk tidak lagi berkecil hati atas gagalnya pernikahan. Stevan juga berkata untuk jangan memedulikan pandangan orang kantor jika mereka bertanya tentang hal itu. Cukup diam dan tersenyum, orang-orang pasti akan berhenti bertanya sampai akhirnya, semuanya kembali seperti semula.
Lagi. Sherly menghela napas panjang entah untuk yang keberapa kali. Niatnya pagi ini untuk membuat sarapan, rasanya begitu tak berselera. Perutnya mendadak kenyang tanpa alasan.
Dan untuk hari ini, Sherly akan kembali masuk kantor. Dia tidak akan lari lagi seperti kemarin.
Dirasa telah masuk waktu berangkat kerja, Sherly menyeruput kopinya yang tinggal separuh. Meraih tas selempang dan memakai sepatu. Kali ini Sherly tidak mengenakan sepatu hak tinggi. Kakinya masih sakit dan dokter pun tidak menyarakankannya memakai sepatu seperti itu dalam beberapa waktu ke depan.
"Oke! Gue pasti bisa!"
...****...
Semenjak Sharon dan Alaska menginjakkan kaki di area kampus, keduanya mulai menjadi perbincangan hangat oleh para mahasiswa dan mahasiswi. Rumor soal Sharon yang menjadi istri dari senior paling terkenal, Alaska, telah tersebar luas.
Ditambah lagi dengan keduanya yang berangkat bersamaan.
Sharon mendengus risi saat lirikan tajam para mahasiswi tertuju pada mereka. Bisa dibilang, Sharon dan Alaska tengah berjalan beriringan saat ini. Sedari turun dari mobil pun Alaska belum mau melepaskan tangan Sharon.
Tidak tahukah jika pandangan orang-orang begitu mengerikan saat ini?
"Aku anterin ke kelas-"
"Jangan! Kamu duluan aja. Aku mau nyariiii Keila dulu, iya!" Sharon langsung menyela seraya melepaskan tangan Alaska.
Alaska terdiam beberapa saat meratapi tangannya yang dilepaskan begitu saja oleh Sharon. Agak sedikit menyakitkan, tetapi Alaska paham betul maksudnya.
"Ya udah. Nanti kalau udah beres langsung telepon aku, ya?"
"Em, nanti aku nggak bisa pulang kayak biasanya. Aku sama anak-anak club dance mau kumpulan dulu sambil makan-makan sekalian ngebahas sesuatu." Sebelum Alaska beranjak pergi, Sharon langsung mengutarakan hal yang menurutnya sangat perlu diberi tahu pada Alaska.
"Kamu masuk club dance?" Tanya Alaska. Dipikir-pikir, Vero juga masuk club dance. Apa nanti ...
"Iya! Em, kamu masuk club apa di kampus?"
"Masuk club sains." Tanpa sadar jawaban polos dari Alaska, disambut batuk refleks oleh Sharon.
Orang pinter beda, ya?
"Ooh. Anak IT, ya, lupa. Ya udah, aku duluan, ya!"
"Hm. Kabarin kalau udah nyampe," Alaska mengedipkan sebelah matanya, sebelum akhirnya melenggang lebih dulu.
Sedangkan Sharon, perempuan itu dibuat diam tak berkutik setelah mendapat kedipan luar biasa dari Alaska. Jantungnya lagi-lagi berdegup tak normal, dan semuanya lagi-lagi ulah Alaska.
"Bisa gila gue, ya ampuuunnnn!"
...****...
"Pagi, semua!" Sapaan hangat dari Sherly teruntuk rekan-rekan satu timnya yang kebanyakan telah berada di meja masing-masing, disambut hening oleh semuanya.
Tatapan mereka seolah dibuat terkunci pada Sherly yang masih berdiri tegap di samping meja kerjanya.
Sherly lagi-lagi mengeratkan genggaman tangannya pada tali tas seraya mundur beberapa langkah. Sial. Badan Sherly kembali bergetar hebat seperti kemarin. Tatapan penuh tanya dari rekan satu timnya sudah cukup membuat Sherly ketakutan.
Apakah tak seharusnya Sherly memaksakan diri masuk hari ini?
"Kak Sherly?" Seorang junior di timnya, Risa, berdiri dari posisinya. Perempuan yang masih seorang mahasiswi itu berjalan menghampiri Sherly, lalu memeluk tubuh Sherly dengan begitu erat.
Sepersekian detik Sherly dibuat tak paham dengan keadaan saat ini. Tetapi ketika mulai mengedarkan perhatian, satu persatu rekan satu timnya juga berdiri dan menghampiri Sherly.
Perlahan, Risa melepaskan pelukannya. Tatapan mata yang dia berikan begitu tulus hampir berkaca-kaca. "Kak Sherly yang kuat, ya! Kak Sherly nggak sendirian, kok. Masih ada kami semua yang akan selalu nemenin Kak Sherly."
Sudut hati Sherly mulai menghangat. Ketika kembali mencoba mengedarkan pandangan, senyuman tulus dari para rekan kerjanya, membuat Sherly tanpa sadar menjatuhkan air mata.
Perasaan gugup serta ketakutan yang sempat menghinggapi diri Sherly, perlahan mulai terkikis sedikit demi sedikit. Kekehan miris yang memaksakan diri untuk tertawa dibalas serupa oleh yang lain.
"Gagal nikah bukan berarti nggak bakal nikah selamanya, Sher! Semangat, ya! Kalau masih ngebet pengen nikah juga, noh, ada Pak Stevan. Dia jomlo juga, kok." Ucapan yang murni sekadar basa-basi untuk mencairkan suasana itu, dibalas tawa renyah oleh semuanya, termasuk Sherly.
"Apaan sih, Rangga! Kok, jadi bawa-bawa Pak Stevan?" Sherly menyeka air mata dibantu Risa. Bisa dibilang, Risa adalah juniornya yang paling dekat dengan Sherly.
Dengan terang-terangan perempuan itu mengatakan jika sosok Sherly mengingatkannya pada sosok kakak kandungnya yang telah lama meninggal.
Maka dari itu, tak heran jika Risa ikut bersedih dan tidak rela ketika mendengar gagalnya pernikahan Sherly waktu itu.
"Udah, si Rangga emang pikirannya rada sengklek. Mending sekarang, lo duduk manis di singgasana lo untuk kembali berjuang nyari cuan sama yang lain. Oke?" Intan, teman seperjuangan Sherly yang tengah hamil muda, berucap menyemangati.
"Makasih, ya, semua! Padahal, gue sempet takut banget tadi,"
"Ya elah, santai aja kali! Lo tuh udah jadi bagian paling penting di tim kita. Apalagi lo udah tujuh tahun kerja di sini. Gak usah sungkan, santuy aja!" Firman, senior yang telah bergabung lima tahun lebih awal dari Sherly, ikut menimbrung.
Walaupun Firman telah memiliki dua anak berusia sepuluh dan enam tahun diusianya yang menginjak tiga puluh delapan tahun, pria itu tetap tidak mau mengakui diri sebagai salah satu yang paling tua di sini. Obrolan yang keluar dari mulutnya pun senantiasa santai dan gaul.
"Fine! Thank you, ya, semua!"
...****...
"Kei, nanti habis pulang dari kampus, lo ikut juga 'kan?" Ketika tengah mengerjakan tugas seraya memesan makan siang di kantin, Sharon dan Keila pun Lea, duduk bersama dalam satu meja.
"Ikut ke mana?" Keila yang pada dasarnya tengah merevisi beberapa bagian tugasnya bertanya tanpa menoleh.
"Kumpulan club dance. Katanya restorannya juga udah dibooking," terang Sharon, kemudian menyeruput jus buah naga miliknya.
"Ooh. Kalau lo?"
"Gue sih, iya kayaknya." Kata Sharon.
"Terus lo, Le?"
"La, Le, La, Le! Lea kek." Lea merungut sebal saat Keila memanggilnya dengan panggilan yang amat ia benci.
Terdengar kekehan pelan dari Keila. Perempuan itu masih sibuk dengan tablet dan juga stylus pen di tangannya. "Lea ikut, nggak?" Ulang Keila, dibalas helaan napas pasrah oleh Lea.
"Ikut, dong. Jadi, lo juga harus ikut!"
"Hm, ya udah, gue ikut!" Balas Keila, seraya menaruh tablet juga stylus pennya di atas meja. Selesai sudah kegiatannya.
"Eh, lo berdua nggak pesen makan?" Tersadar akan sesuatu, Keila menatap tak enak pada kedua temannya yang dia ajak makan ke kantin. Mereka berdua malah sibuk mengemil, padahal mereka sendiri sempat mengadu lapar tadi.
"Nungguin lo!" Balas Sharon dan Lea bersamaan.
"Awh, jadi tersentuh! Ya udah, kalian mau apa, biar gue yang pesenin." Dengan gelagat tomboi yang berbanding terbalik dengan penampilannya, Keila tampak menepuk dadanya beberapa kali. Menyuruh Sharon dan juga Lea untuk memercayakannya.
"Hm, spagetti, deh, satu! Makasih, Keila!" Lea tersenyum manis bak anak kecil, yang juga dibalas senyuman manis oleh Keila.
"Oke, sama-sama! Kalau Istirinya Tuan Muda Alaska, mau makan apa?"
Sharon refleks terbatuk mendengar sebutan nama aneh yang disematkan Keila teruntuk dirinya. "Iihh, apaan sih? Lebay tahu, nggak!"
"Eeh, jadi rumor itu beneran? Lo sama Kak Alaska udah nikah?" Lea menatap lekat-lekat raut wajah Sharon yang tampak memberengut karena ulah Keila. Sedangkan Keila sendiri hanya tertawa ringan menanggapi.
"Beneranlah! Mereka juga udah ..."
"KEILA! Lo mau gue potong lidah lo, apa mulut lo aja yang gue jahit?" Tatapan tajam dari Sharon tak lantas membuat Keila takut. Perempuan itu malah kian tergelak dengan begitu puasnya.
Tidak dengan Lea yang mulai terhanyut memikirkan Sharon dan juga Alaska yang katanya mereka sudah ...
Astaga! Apa yang Lea pikirkan?
"Shar, mau tanya dong." Tatapan tajam Sharon kini beralih pada Lea. Wajahnya tampak bersemu, membuat Sharon bergidik sendiri melihat ekspresinya.
"Apa! Mau nanya, 'rasanya gituan gimana', gitu?" Sarkas Sharon, berapi-api. Dia sampai lupa, di mana posisinya saat ini.
"Kok, lo bisa tahu apa yang mau gue tanyain?" Lea membekap mulut tak percaya. Sementara Keila lagi-lagi tergelak dengan begitu puasnya.
"Rasanya enak, bikin nagih! Mau yang lebih rinci? Sini, gue ceritain, atau nggak sekalian tar malem gue live di IG, biar nggak ada yang penasaran lagi!"
^^^To be continued...^^^
happy ending 👍