Mereka dijodohkan dan berani membuat komitmen untuk berumah tangga. Tapi kabar mengejutkan di ucapkan si pria di usia pernikahan yang belum genap 1 bulan. Yudha meminta berpisah dengan alasan cinta masa lalunya telah kembali.
Delapan tahun berlalu Yudha kembali bertemu dengan mantan istrinya.
Tidak ada yang berubah. Wanita itu tetap cantik dan bersahaja tapi bukan itu yang menjadi soal. Matanya memaku pada seorang gadis kecil berambut pirang yang begitu mirip dengannya.
"Bisa kau jelaskan?"
"Tidak ada yang perlu ku jelaskan!"
"Aku sudah mencari tahu tentangmu tujuh tahun terakhir dan tidak ada catatan kau pernah menikah sebelumnya selain..... apa itu anakku?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
"Tolong beri waktu dua hari lagi."
"Satu bulan tambah satu minggu kurang?"
"Nek..." Alfaaro mengenggam tangan neneknya.
"Tidak, kau tau ayahmu sudah tak segesit dulu, Lyga juga sedang mengandung. Kamu... kapan dewasanya?"
Pria tampan itu menyugar rambutnya. Kali ini dia tak lagi main-main. Alfaaro butuh waktu tapi ketika sudah berhadapan dengan neneknya dia tidak mampu membantah.
"Setelah ini aku benar-benar akan mengambil alih perusahaan, Nenek, ayah dan Kak Ozzu jangan khawatir."
"Kapan?"
"Dua hari lagi."
"Dua puluh empat jam."
Tidak berani menawar, karena jika sampai menawar yakin neneknya akan memperpendek waktunya.
"Ya, tapi dengan satu permintaan, tolong berhenti mengawasi ku dengan kamera pengintai yang gentayangan di udara."
"Drone?"
"Um,"
"Dua puluh empat jam dari sekarang, kau mengerti?"
"Siap, Nek."
"Kau nyaman jadi seperti ini?"
Sangat.
"Hanya mencoba."
"Kau tampak tampan dengan kaos itu."
Hanya senyum tipis yang Alfaaro tampilkan.
"Aku pergi, jangan mengawasi ku, dua puluh empat jam dari sekarang aku milik nenek."
Inggrid tersenyum lebar.
*********
"Anda?"
Kepalan genggaman tangan Nilam mulai terbentuk. Saat ini masih terlalu pagi Jenar belum datang dan laki-laki yang tidak ingin di temui nya datang tanpa di undang.
"Dewasalah dalam bersikap."
"Bapak Yudha yang terhormat. Bapak kesini untuk mengatakan hal yang seharusnya anda terapkan di diri Anda?"
Nilam tertawa dalam kewaspadaan.
Rahang Yudha mengerat. Timbul garis urat di rahang pelipis, menegaskan emosinya.
"Aku ingin bertemu dengan putriku."
"Dia tidak ada hubungannya dengan anda, pergilah."
Suara Nilam serat emosi dalam tatapan dingin.
"Nilam..."
"Apa sebenarnya yang anda inginkan? Anda memiliki keluarga, tidak perlu perduli pada kehidupan saya, jika menginginkan keturunan anda memiliki istri untuk berusaha mendapatkannya, perlu anda ketahui putri ku terluka mendengar ucapan anda yang menganggap dirinya hadir dikarenakan sebuah kesalahan."
"Boleh aku melihatnya?"
Entah mengapa suara pria itu melemah.
"Aku hanya ingin bertemu, ngobrol sebentar dan akan pergi dan tidak akan pernah lagi mengusik kamu."
Demi janjinya pada sang Ibu.
"Kamu tahu kenapa ayahmu memilihkan Nilam untuk menjadi menantunya? Karena Nilam adalah sosok yang sangat tepat untuk di jadikan seorang anak perempuan."
"Nilam baik, sabar, bisa mengeri ibu mu ini. Ayahmu ingin mewujudkan keinginan ibu untuk memiliki anak perempuan, meski tidak terlahir dari rahim ibu, Nilam gadis yang lembut yang mampu membuat ibu seperti memiliki anak gadis sendiri."
Entah mengapa air mata dari kedua mata ibunya terus mengalir, tapi Yudha tahu dia sudah sangat mengecewakan kedua orang tuanya.
"Melahirkan mu ibu hampir mati karena pendarahan, segalanya diupayakan untuk menyelamatkan kamu dan ibu termasuk dengan mengangkat rahim ibu."
Jadi inikah yang membuatnya menjadi anak tunggal?
"Nilam adalah anugrah yang Tuhan titipkan untuk mewujudkan impian kami yang juga ingin memiliki seorang putri, dia sayang sama ibu, mengurus ibu dengan sangat baik, dan yang penting dia paham kewajibannya."
Yudha terdiam.
"Sedangkan wanita pilihanmu? Jangankan mau mengurus Ibu, tinggal satu rumah saja keberatan."
Telak.
"Entah dosa apa yang pernah ibu perbuat dimasa lalu, hingga dimasa tua pun ibu tidak bisa hidup diantara anak dan cucu. Meski begitu ibu akan mendoakan kalian selalu bahagia, mungkin nanti jika sudah terlalu tua Ibu akan tinggal di panti jompo saja."
Hancur berkeping-keping hati Yudha dan kini melihat wajah wanita pilihan ibunya bawaan dirinya ingin emosi.
Tapi... Dia ingin bertemu dengan putrinya, setidaknya hanya sekali.
Tanpa sadar sudut matanya berair.
"Aku berkata sebenarnya, Mylea sakit." tutur Nilam.
"Aku..."
"Mungkin anda akan tahu arti kehilangan yang sesungguhnya jika berani melibatkan diri."
Nilam memberi akses, tidak menahan langkah Yudha.
Kesehatan Mylea terganggu karena lelaki ini, psikisnya lelah, mungkin kehadiran pria ini bisa membantu.
Nilam kaget melihat mata putrinya terbuka, begitu juga dengan Yudha yang langsung kikuk.
"Sebelum kata maaf adakah alasan kenapa aku tidak diinginkan?"
Yudha terpukul mendengar bertanya pertama putrinya.
"Kenapa ingin menemui yang hanya sekedar kesalahan?"
"Kamu anakku," Yudha tidak bisa menahan gejolak untuk memeluk putrinya.
Pelukan itu terlaksana, tapi seketika tubuh kecil itu kembali pingsan.
Nilam tidak melupakan keberadaan Yudha yang menjadi sebab keadaan Mylea memburuk. Berada di ruang yang sama setelah dokter mengambil tindakan, bukan hal yang diinginkan Nilam. Tidak mungkin ia bertengkar menyuruh Yudha keluar, apalagi dokter mengetahui jika Yudha juga wali sah Mylea.
Laki-laki itu juga betah duduk di hadapan Mylea tak bosan melihat wajah putrinya.
Sedih dan hancur dirasakan Yudha. Setelah delapan tahun melihat Mylea terbaring tak berdaya seperti ini. Ini pertemuan kesekian kali yang selalu meninggalkan kesan buruk dan menyakitkan.
"Anda masih ingin disini?"
"Saya menunggunya bangun."jawab Yudha tanpa menoleh pada Nilam.
"Anda punya keluarga. Pergilah."
"Mylea juga anakku " Yudha menekankan Kalimatnya.
"Dia sakit karena anda."
Yudha tidak menampik. Dengan bijak laki-laki itu menjawab. "Saya akan menebusnya."
Untuk sekarang Yudha ingin fokus pada Mylea. Harapannya, Mylea segera sembuh dan bisa tersenyum lagi."
Nilam keluar. Tidak ada cara mengusir Yudha saat ini. Posisi laki-laki sangat dekat dengan Mylea.
"Mana mas Yudha?"
"Apa yang terjadi?"
Dua orang datang hampir bersamaan dan sama-sama bertanya pada Nilam.
"Anda mengundangnya?" Tamparan yang dilayangkan Ruliana di tahan oleh Jenar.
"Jaga ucapan anda. Suami anda datang sendiri di pagi buta." Dengan jemarinya Nilam membuat kode agar Jenar melepaskan tangan Ruliana.
"Aku mau masuk!"
"Anak saya sedang di rawat. Kamu tidak tahu tata Krama?"
Ruliana tergelak. "Kamu menahan suamiku dan mencari perhatiannya dengan alasan anak?"
Di dalam, Yudha tidak tahu jika sedang ada ketegangan di luar.
"Begitu? Tapi sayangnya suami anda yang mengemis waktu pada ku untuk bisa menemani anak saya."
Dua sikap yang sangat berbeda. Ketenangan dan kekalutan dari dua wanita dewasa tersebut.
Saat Ruliana ingin melangkah ke arah pintu, Jenar merentangkan tangannya. Amarah Ruliana makin berkobar.
"Kamu iri denganku. Kembali kesini untuk merebutnya?"
"Anda takut dengan saya?"
"Dasar jalan*!" kemarahan Ruliana meledak.
"Anda yang merebutnya dari saya istri sahnya 8 tahun lalu. Siapa yang lebih pantas di sebut demikian?"
Raut Ruliana tegang diingatkan tentang masa lalu.
Kemudian dari ujung mata Nilam menunjukkan pintu keluar, namun Ruliana tidak mudah menyerah.
Gerakan cepat Ruliana tak bisa ditahan Jenar ketika pintu telah terbuka dan pemandangan di dalam disaksikan ketiganya.
Menyadari seseorang Yudha menoleh. Perlahan genggaman tangan Mylea di lepaskan. Bukan takut dengan keberadaan Istrinya, Yudha tidak ingin ada keributan yang mengganggu Mylea.
Yudha keluar membawa serta Ruliana agar menjauh dari pintu.
Plak!
"Mas lebih memilihnya?"
"Aku ingin melihat keadaannya." wajar jika Yudha meluangkan waktu untuk bertemu. Apalagi Mylea baru saja di lihat. Keadaan dan rindu memaksanya.
"Dia anak haram..."
"Tutup mulutmu." geram Nilam. "Mylea lahir dalam ikatan yang sah."
Tatapannya kini teralih pada Yudha. "Bawa istri anda pergi dan jangan pernah kembali atas alasan apapun jika kalian tidak mau menyesal."
so sweet
lu yang udah ngerebut ayahnya PA
sorry tor ikut emosi