NovelToon NovelToon
HIJRAH RASA

HIJRAH RASA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:618
Nilai: 5
Nama Author: Azzurry

Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?

Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.

“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.


Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hijrah Rasa - 02

Di ruang tamu rumah mewah, seorang wanita paruh baya berdiri dengan napas memburu, tangannya bertolak pinggang.

Tatapan matanya menyala penuh amarah.

Seorang gadis baru saja memasuki rumah. Rambutnya acak-acakan, pakaiannya kusut, langkahnya lunglai. Wajahnya kosong-tanpa ekspresi. Ia seolah tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, termasuk sosok yang kini menatapnya penuh murka.

"Farah ...!"

Suara itu menggema di penjuru ruangan, terdengar tegas.

“Stop Farah …!” Suara itu kembali terdengar.

Namun, Farah gadis itu tetap berjalan, tak menghiraukan suara yang ia anggap angin lalu.

Rina mengepal kuat Jari-jarinya, amarahnya membuncah. "Farah, berhenti...!" Tangannya meraih lengan sang anak dengan kasar.

Cengkeraman kuat membuat Farah terpaksa berhenti. Farah menghela napas, lalu menarik lengannya dengan malas dari genggaman wanita itu. Seolah sentuhan itu adalah sesuatu yang kotor, menjijikkan.

Rina, menelisik tubuh putrinya dari ujung kepala hingga kaki. Pandangannya tajam, penuh kecurigaan.

"Dari mana kamu? Kata Mbok Ina, kamu tidak pulang sejak semalam."

Farah memutar bola matanya. Malas. "Bukan urusan Mama."

Jawaban Farah seperti tamparan untuk ibunya.

Seketika wajah Rina menegang, sudah terlihat jelas wanita paruh baya itu sedang menahan emosinya. Dengan santainya Farah berbalik, melangkah tanpa peduli, bahkan menoleh untuk melihat wajah sang ibu pun enggan .

"Anak kurang ajar! Farah...!" Suara Rina menggelegar di ruangan.

Gadis itu tidak menghiraukan, suara teriakan sang Ibu tidak mampu menghentikan langkahnya.

Ia terus saja menaiki tangga menuju lantai dua, membuka pintu kamarnya dengan kasar.

Farah menghempaskan tubuhnya di kasur, rasa lelah, ngantuk menggerogoti tubuh.Namun, hal itu tak mampu membuatnya langsung tertidur. Sekelebat masa lalu keluarganya terus terpatri rapi dalam ingatannya. Seperti yang selalu terjadi setiap kali ia sendiri. Kejadian malam itu yang menghancurkan keluarganya kembali berputar.

Flashback On

"Siapa yang kamu sembunyikan, Rina?!"

Suara Danial menggema di dalam rumah. Tangannya mengepal kuat, matanya menatap tajam ke arah istrinya yang berdiri pucat di depan pintu kamar.

"Pa… tidak ada siapa-siapa disini," Rina berusaha menghalangi langkah suaminya.

"Jangan bohong!" Bentak Danial, wajahnya merah padam. "Aku melihat ada Pria di kamar kita!"

"Pa, tolong dengarkan Mama dulu..." Rina berusaha menarik suaminya.

Danial tak menggubris. Dengan sekali gerakan, ia mendorong tubuh istrinya ke samping dan menerobos masuk.

Dengan cepat ia masuk dan mencari pria yang sempat ia lihat sekilas. Tak perlu lama Danial pun menemukan pria muda itu sedang bersembunyi di dalam lemari dalam keadaan bertelanjang dada.

Dada Danial naik turun, matanya membelalak melihat kenyataan di depan mata. Seolah waktu berhenti sejenak. Harga dirinya runtuh seketika.

"Bajingan berani-beraninya kau masuk ke kamar ku!" Dengan kemarahan yang meledak-ledak, Danial menyeretnya keluar kamar.

"Berani-beraninya kau membawah jalang ini masuk ke rumahku?!" suara Danial menggelegar.

Amara sudah melewati batas, ia memukul pria itu hingga tak berdaya.Tak ada perlawanan tak ada pembelahan dari pria itu ia hanya pasrah dengan pukulan bertubi-tubi yang ia dapatkan.

"Pa! Jangan. Stop … mama bisa jelasin!" Rina mencoba menarik tangan suaminya, tapi Danial menepisnya kasar.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat sempurna di wajah Rina. Wanita itu perlahan mundur, mengusap pelan wajahnya yang memerah.

Sementara pria muda itu—Andre bangkit mendekati Rina dan merangkulnya.

“Anda boleh memukulku pak, tapi jangan memukulnya,” ucap Andre tegas.

Danial menatapnya dengan penuh kebencian. "Dasar bajingan!" Danial melangkah mendekat menarik Andre hendak menghajarnya, tetapi Rina menghalangi.

"Pa... tolong..." Rina terisak, mencoba meraih tangan suaminya lagi. "Mama khilaf... semua ini karena Papa terlalu sibuk, Papa selalu mengabaikan Mama dan anak-anak..."

Danial terkekeh sinis. "Oh, jadi aku yang salah? Aku kerja banting tulang demi keluarga ini, tapi kau membalasnya dengan mengkhianati aku?"

Rina menangis semakin kencang, jatuh berlutut, tangannya memeluk kaki suaminya.

"Maafkan Mama, Pa... tolong... aku menyesal..."

Tanpa belas kasihan, Danial menarik lengan istrinya dan menyeretnya ke luar rumah, seperti yang ia lakukan pada Andre.

"Pa, jangan usir Mama!"

Suara itu menghentikan langkahnya.

Faris, pemuda 22 tahun, berdiri di ambang pintu. Matanya berkaca-kaca, wajahnya penuh kepedihan.

"Masuk, Faris!" suara Danial dingin dan tajam.

Tapi Faris justru berjalan mendekati ibunya dan berlutut di sampingnya.

"Pa... Fariz mohon... jangan usir Mama..." suaranya nyaris berbisik. "Fariz dan Farah masih butuh Mama..."

Danial menggertakkan giginya, rahangnya mengeras. Ia mengalihkan pandangan, menatap langit-langit rumah sejenak sebelum menghela napas panjang.Lalu, tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan melangkah pergi.

Meninggalkan istri dan anaknya.

Sementara tanpa mereka sadari, Farah gadis 18 tahun itu, sedang berdiri bersandar pada tembok pembatas ruang tamu, menyaksikan semua yang terjadi. Tubuh mungilnya bergetar hebat, dengan susah payah ia menahan agar tak runtuh melihat kehancuran keluarga yang amat ia cintai, cairan bening menetes tak terbendung.

Flashback Off

Farah mengepalkan jemarinya erat-terlalu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Napasnya memburu, dadanya naik turun tak beraturan. Kemarahan itu menggelegak, mengisi setiap sudut tubuhnya.

Bugh!

Tinju kecilnya menghantam kasur berkali- kali ia layangkan, menciptakan dentuman teredam. Tapi itu tidak cukup. Tidak akan pernah cukup untuk meredakan gejolak yang membakar di dadanya.

"Wanita sialan,” ucapnya tajam, Suara itu menggema.Namun, hanya dirinya yang mendengar. Hanya dirinya yang tahu betapa bencinya ia pada sosok itu.

Jika saja ibunya tidak melakukan kebodohan itu keluarganya tidak akan hancur ... Jika saja ayahnya tidak meninggalkan mereka, atau sedikit menurunkan egonya, mungkin saja semua ini tidak akan terjadi.

Dan Faris pergi untuk selamanya.

Gumpalan perasaan itu mendadak berubah menjadi sesak yang menyakitkan. Rasa bersalah itu kembali menggerogoti kepalanya. Menghantam pertahanan yang selama ini ia usahakan.

“Aghrrr … kita lihat sampai di mana Engkau mau menghancurkanku Tuhan, aku tidak akan pernah goyah, aku menjauh dari–Mu,” ucapnya lantang.

Jika hidup hanya memberinya luka, maka ia akan berhenti meminta. Jika Tuhan hanya diam melihatnya hancur, maka ia pun memilih berhenti percaya.Takdir boleh mengusiknya. Tapi kali ini, ia yang akan melawan balik.

***

Langit Jakarta mulai kelabu. Di luar, jalanan dipenuhi kendaraan yang berdesakan, klakson bersahutan, sementara lampu-lampu jalan mulai menyala di balik rintik hujan.

Di dalam sebuah kafe berkonsep minimalis, Farah duduk sendirian di dekat jendela besar. Jemarinya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin. Sementara pandangannya tertuju pada jejeran kendaraan yang bergerak lambat seperti semut. Kemacetan semakin parah sejak sore tadi.

Sudah sejam lebih dia di sini, tetapi sahabatnya belum juga muncul.

"Mana sih,ini anak? Lama banget," gumam Farah, sesekali menggoyangkan kakinya dengan gelisah.

Tiba-tiba, sebuah tepukan di pundaknya membuatnya tersentak.Refleks, Farah menoleh.

Di hadapannya, seorang pria paruh baya berdiri dengan ekspresi tenang. Setelan jasnya rapi, meskipun ada sedikit bekas hujan di bahunya.

"Farah... ngapain kamu sendirian di sini Nak?" Suara berat itu membuatnya sedikit tersentak.

Seorang pria paruh baya berdiri di sampingnya-Danial, ayahnya.

"Pah...," ujar Farah singkat, refleks mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari tahu apakah ayahnya datang sendiri atau bersama seseorang.

Danial menangkap tatapan putrinya dan tersenyum tipis. "Papa ada urusan sama teman Papa disini. Kebetulan lihat kamu duduk sendiri, Papa samperin,” jelas Danial. “Kamu belum jawab Papa ngapain disini?”

“Aku ada janji dengan Zira Pa,” jawab Farah.

Danial mengulas senyum,tak perlu penjelasan ia sudah kenal Zira — sahabat anaknya.

“Tunggu Zira nya disana aja. Ada yang ingin Papa bicarakan." Tangan Danial menunjuk ke sebuah meja di sudut ruangan, tepat sepasang pria dan wanita seusianya duduk.

Farah mengangguk pelan sekedar menyapa pasangan paruh baya itu yang sedang menatap ke arahnya dia tahu siapa mereka. Om Arman dan Tante Retno-sahabat sekaligus rekan bisnis ayahnya.

"Iya, Pah. Bentar, Farah nyusul. Nunggu Zira datang dulu," jawabnya, berusaha terdengar santai.

Danial mengangguk,” Papa tunggu disana ya.” Lalu beranjak pergi tanpa banyak bicara.

Farah menghela napas panjang, sedikit kecewa. sebenarnya banyak yang ingin ia bicarakan dengan Papanya termasuk rencananya melanjutkan S2 ke Venezia, tetapi seperti biasa, ayahnya terlalu sibuk. Bahkan ketika mereka kebetulan bertemu saja, pria itu tetap tidak memiliki cukup waktu untuknya.

Farah kembali mengalihkan pandangannya pada jendela besar yang tak jauh dari meja tempat ia menunggu Zira. Kembali mengabsen kendaraan yang tadi sempat terjeda.

Tak lama dari pintu utama kafe, akhirnya sosok yang dinantikannya muncul. Zira,tetapi gadis itu tidak sendiri. Seorang pria berjalan di sampingnya, sosok yang tidak asing bagi Farah. Azzam saudara sepupu Zira.

Zira terlihat buru-buru. Azzam hanya berjalan santai di sampingnya, sebelum akhirnya berpisah menuju meja tempat Om Arman dan Tante Retno duduk.

Dengan napas terengah, Zira akhirnya sampai di meja Farah. "Sorry, aku telat. Macet banget."

Farah memutar bola matanya malas. "Gue udah jadi kanebo kering di sini nungguin lo," ketusnya.

Zira hanya terkekeh. "Maaf, maaf. Yang penting sekarang aku udah di sini."

Farah mendengus, membiarkan sahabatnya itu berceloteh panjang tentang kekesalannya dari pagi hingga malam ini. Namun, perhatiannya teralihkan. Tatapannya jatuh pada meja di sudut kafe, tempat Papanya, Om Arman, dan Tante Retno duduk. Azzam juga ada di sana.

Sekilas, mata mereka bertaut. Tatapan pria itu terasa tajam, tapi tidak lama. Azzam cepat-cepat mengalihkan pandangannya.

Zira, yang asyik mengoceh, akhirnya menyadari perubahan raut Farah. "Itu Bang Azzam. Kalian udah pernah ketemu, kan?" tanyanya santai.

Farah hanya berdehem kecil, tak memberi jawaban yang jelas.

Zira lalu menarik tangan Farah. "Yuk, kita ke sana. Ada Om Danial juga, loh."

Mau tak mau, Farah mengikuti langkah sahabatnya. Saat mereka tiba di meja itu, Zira menyapa Arman dan Retno dengan ramah, lalu merapatkan kedua tangannya di dada saat berdiri di hadapan Danial. Farah melakukan hal yang sama, meski matanya sekilas melirik Azzam.

Pria itu tetap bersikap dingin, seperti tidak peduli dengan kehadirannya.

Obrolan di meja berlangsung santai. Sesekali, Azzam menimpali pembicaraan, tapi lebih banyak diam. Farah juga hanya sesekali mencuri pandang, bertanya-tanya seperti apa sebenarnya kepribadian pria itu.

Lalu, tiba-tiba...

Arman tersenyum tipis, matanya memperhatikan gerak-gerik Farah. "Sepertinya, rencana perjodohan kita akan berhasil."

Kalimat itu membuat meja mendadak hening.

Farah membeku. Napasnya tercekat. Sementara Zira dan Retno saling bertukar pandang dan tersenyum.

Danial menyandarkan tubuhnya ke kursi, tersenyum penuh arti. "Sepertinya, persahabatan kita akan berlanjut menjadi besan.”

Jleb.

Farah meneguk ludah. Jantungnya berdegup tak karuan. Siapa lagi yang di maksud kedua pria paruh baya ini, jika bukan dirinya dan juga Azzam.

Sekilas Farah menoleh pada Azzam pria itu tidak menunjukan reaksi apapun, terkejut atau semacamnya hanya raut wajah dingin yang terlihat jelas di sana. Apa mungkin Pria itu sudah tahu, tentang perjodohan ini?

Apakah ia menerima begitu saja?

Sekelebat tanya berbaris di pikiran Farah.

"Nial, saya rasa kita harus segera mengurusnya. Saya tidak ingin menundanya lagi," ujar Arman penuh semangat.

Azzam akhirnya buka suara. "Pih..."

Danial mengangkat tangannya, menenangkan. "Kamu tenang saja, Azzam. Kalian tidak perlu menikah sekarang. Cukup bertunangan dulu."

Farah menatap ayahnya kesal. “Tunangan … dengan manusia kutub ini?”

***

Jangan lupa tinggalin komen, Like dan subscribe.

Serta follow juga authornya ya

biar aku makin semangat Updatenya.

Kamshammida.

1
Wilana aira
keren ceritanya, bisa belajar sejarah Islam di Italia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!