Deskripsi Novel: Batu Rang Bunian
"Batu Rang Bunian" adalah sebuah petualangan seru yang membongkar batas antara dunia kita yang penuh cicilan dan deadline dengan alam Bunian yang misterius, katanya penuh keindahan, tapi faktanya penuh drama.
Sinopsis Singkat:
Ketika seorang pemuda bernama Sutan secara tidak sengaja menemukan sebongkah batu aneh di dekat pohon beringin keramat—yang seharusnya ia hindari, tapi namanya juga anak muda, rasa penasaran lebih tinggi dari harga diri—ia pun terperosok ke dunia Bunian. Bukan, ini bukan Bunian yang cuma bisa menyanyi merdu dan menari indah. Ini adalah Bunian modern yang juga punya masalah birokrasi, tetangga cerewet, dan tuntutan untuk menjaga agar permata mereka tidak dicuri.
Sutan, yang di dunia asalnya hanya jago scroll media sosial, kini harus beradaptasi. Ia harus belajar etika Bunian (ternyata dilarang keras mengomentari jubah mereka yang berkilauan) sambil berusaha mencari jalan pulang. Belum lagi ia terlibat misi mustahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: Pohon Beringin dan Sebuah Janji yang Dilupakan
BAB 1: Pohon Beringin dan Sebuah Janji yang Dilupakan
Dunia Sutan—atau lebih formalnya, Sultan Raja Nata Sastra—adalah dunia yang sempit dan cukup membosankan: layar ponsel 6,5 inci, sepiring nasi goreng buatan Bunda, dan sebuah kursi plastik yang selalu terasa terlalu panas di teras rumah. Pagi hari ini, di jantung kampung yang sunyi, satu-satunya konflik dalam hidup Sutan adalah memutuskan apakah ia harus scroll TikTok atau Instagram terlebih dahulu.
Usianya dua puluh tahun, lulusan SMA tanpa gelar sarjana yang jelas, dan memiliki cita-cita yang sederhana: hidup nyaman tanpa perlu bergerak terlalu banyak.
Namun, hari ini berbeda. Bukan karena sinyal Wi-Fi yang mendadak kuat, melainkan karena Pak Leman, tetangga sekaligus influencer lokal yang sok tahu, baru saja menantangnya dengan sebuah tantangan yang bodoh.
“Tan, kalau kau berani ambilkan aku buah kelapa muda dari pohon di dekat Beringin Larangan itu, semua utang kopi kau di warung akan Bapak lunasin!” seru Pak Leman, sambil menyesap kopi dengan ekspresi penuh kemenangan.
Sutan mendengus. Beringin Larangan. Di kampung ini, Beringin Larangan bukan sekadar nama pohon. Itu adalah nama batas, nama mitos, nama peringatan: Jangan Ke Sana. Pohon beringin itu berdiri sendiri di puncak bukit kecil, akarnya menjuntai seperti tirai raksasa yang menyembunyikan sesuatu. Konon, di bawah sana, terletak gerbang menuju Batu Rang Bunian.
Sutan tahu betul mitosnya. Neneknya dulu sering bercerita sambil menganyam tikar. "Jangan sekali-kali kau berani mengambil apapun di dekat sana, Tan. Itu bukan milik kita. Itu titipan Bunian."
Tapi utang kopi.
"Berapa banyak, Pak Leman?" tanya Sutan, matanya menyipit.
"Tiga ratus ribu," jawab Pak Leman santai.
Tiga ratus ribu. Jumlah itu cukup untuk membeli voucher game baru dan beberapa bungkus rokok. Nilai moral Sutan, yang awalnya setinggi tiang bendera, kini meluncur turun secepat bola bekel yang jatuh ke sumur.
"Baik," kata Sutan, mengambil tas ransel lusuh miliknya. "Tapi kalau saya balik, Bapak harus bayar.
Tunai. Jangan cuma janji manis seperti kampanye Pilkada."
Pak Leman tertawa terbahak-bahak. "Siap, anak muda. Tapi jangan bawa pulang temannya Bunian, ya. Repot ngurus KTP-nya nanti!"
Sutan hanya memutar mata. Mitos Bunian? Di zaman ini? Mana mungkin. Ini pasti hanya taktik orang tua kampung agar anak-anak tidak memanjat pohon keramat dan merusak pemandangan.
Perjalanan ke bukit memakan waktu sekitar satu jam. Sepanjang jalan, Sutan memotret awan dan mengunggah story dengan caption sok puitis: "Menuju batas, mencari makna... atau cuma kelapa muda. Lihat di highlights!"
Saat ia tiba di lokasi, rasa ngeri yang tidak terduga menusuknya.
Udaranya terasa dingin, meski matahari bersinar terik. Pohon beringin itu… luar biasa. Akarnya benar-benar seperti gerbang, besar, gelap, dan mengesankan. Dan benar saja, di sampingnya ada pohon kelapa muda yang buahnya tampak ranum dan menggoda.
Sutan menyingkirkan rasa takutnya. Tiga ratus ribu, Sutan. Fokus.
Ia memanjat pohon kelapa itu dengan lincah, mengambil tiga buah terbaik. Ketika turun, ia merasa lega. Misi berhasil. Utang lunas.
Tapi di pangkal pohon beringin, sesuatu berkilauan. Sutan mengira itu sampah plastik yang memantulkan cahaya. Ia mendekat.
Ternyata bukan sampah. Itu adalah sebuah batu. Tidak besar, hanya seukuran kepalan tangan, tapi permukaannya tidak seperti batu biasa. Ia memancarkan cahaya biru samar, seperti puluhan kunang-kunang yang terjebak di dalamnya. Batu itu terasa hangat, hampir berdenyut, di atas tanah yang dingin.
"Wow," gumam Sutan, matanya melebar.
Insting pertama Sutan—insting seorang kolektor diamond game online—langsung bekerja: Ambil. Ini pasti mahal.
Ia mengabaikan semua peringatan Neneknya. Ia mengabaikan cerita seram yang pernah ia dengar. Tiga ratus ribu sudah di tangan, tapi batu ini… ini pasti bernilai jutaan.
Sutan menjulurkan tangan. Saat jemarinya menyentuh permukaan batu bercahaya itu, dunia di sekitarnya mendadak sunyi. Keheningan itu begitu total, hingga suara napasnya sendiri terasa memekakkan telinga.
Batu itu tidak terasa berat. Namun, saat Sutan mengangkatnya, cahaya biru itu memancar kuat, menerangi seluruh hutan. Akar-akar beringin di belakangnya mendadak bergetar.
Sutan panik. Ia segera memasukkan batu itu ke dalam ranselnya, bersama kelapa muda yang sudah jadi target awal. "Lari! Lari!"
Ia baru melangkah dua kali ketika tanah di depannya retak. Bukan retakan biasa; itu seperti ilusi optik, di mana udara dingin berpusar ke dalam. Dalam sekejap mata, pusaran angin itu berubah menjadi lubang hitam yang tampak seperti cermin pecah—namun bukan di lantai, melainkan di udara.
Sutan tersandung. Tiga kelapa muda menggelinding pergi. Ia mencoba menarik diri, tapi ada kekuatan tak terlihat yang menariknya ke dalam lubang udara itu, seperti vacuum cleaner raksasa yang mengincar remah-remah keripik.
"Woi! Nenek tolong! Aku janji nggak akan main game lagi!" teriak Sutan, suaranya teredam.
Dalam detik terakhir sebelum ia tersedot sepenuhnya, Sutan merasakan Batu Rang Bunian itu di ranselnya berdenyut semakin kuat. Kemudian, semuanya menjadi gelap.
Ketika cahaya kembali, Sutan terbaring di atas tanah yang lembut, dikelilingi oleh pepohonan aneh yang daunnya berwarna perak. Langit di atasnya berwarna ungu, dan udaranya berbau seperti campuran bunga melati dan bubble tea rasa taro.
Ia berdiri perlahan, merasa pusing. Ranselnya masih di punggung. Ia meraba isinya. Tiga kelapa muda hilang.
Yang ada hanyalah Batu Rang Bunian itu, bersinar lembut di dalam kain lap kotornya.
Sutan menarik napas dalam-dalam. "Oke, Sutan. Ini bukan cosplay Halloween. Kau sudah sampai di... mana ini?"
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar. Suara itu cepat, seperti langkah tergesa-gesa seseorang yang sedang dikejar debt collector.
Dari balik pohon perak, muncul seorang pria dengan jubah hijau zamrud yang berlumuran lumpur. Pria itu tampak tampan—terlalu tampan, seperti model iklan sampo—tapi wajahnya panik.
Matanya yang tajam langsung tertuju pada Sutan. Atau lebih tepatnya, pada ransel Sutan.
"Manusia!" desis pria Bunian itu, suaranya merdu tapi penuh ancaman. "Kau... kau mencuri Permata Jantung Kedaulatan! Serahkan segera, atau kau akan menyesal bertemu dengan Kepala Prajurit Kerajaan Bunian!"
Sutan mundur selangkah. Kepala Prajurit? Permata? Ia hanya ingin melunasi utang kopi.
"Permisi, Mas," kata Sutan, mencoba bersikap sopan. "Ini cuma batu. Kalau mau, ambil. Tapi tolong tunjukkan jalan pulang. Google Maps saya error di sini."
Pria Bunian itu menyeringai. "Google Maps? Lucu. Kau kira ini dunia kalian? Selamat datang, Pencuri Kecil. Kau baru saja memulai perang antar-dimensi, hanya karena sebuah janji utang kopi yang kau lupakan..."
To Be Continued...