Semua ini tentang Lucyana Putri Chandra yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
Apakah Lucyana berani jatuh cinta lagi?
Kali ini pada seorang Sadewa Nugraha Abimanyu yang jauh lebih muda darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Grab
Sepeninggal dari apartemen itu, Sadewa bergegas pulang ke rumahnya di kawasan Dago. Daerah yang tak terlalu jauh dari Pasteur, tapi cukup tenang untuk sekadar melepas lelah setelah seharian kerja.
Motor hitamnya melaju menembus dinginnya angin malam Bandung. Di sepanjang jalan, lampu-lampu kota memantul di helmnya, sementara pikirannya justru terus kembali pada sosok pelanggan terakhir malam ini.
Begitu sampai di depan rumah, ia memarkir motor di garasi kecil, menepuk bahunya sendiri karena udara yang makin menusuk. Rumah itu sederhana. Dengan dinding abu muda, pagar hitam, dan aroma melati dari pot di teras yang selalu disiram setiap pagi oleh tetangganya.
Tanpa banyak pikir, ia langsung masuk, meletakkan helm dan jaket di sofa, lalu melangkah ke kamar mandi. Air dingin mengalir di kulitnya, membuat kepalanya sedikit lebih jernih. Tapi tetap saja, wajah perempuan tadi, entah kenapa, masih terbayang jelas.
“Apaan sih…” gumamnya, menyiram wajah lagi, mencoba menepis perasaan aneh yang bahkan dia sendiri nggak ngerti asalnya.
...****************...
Di unit apartemennya, Lucy duduk bersandar di sofa sambil membuka bungkus Reddog yang masih hangat. Aroma cheese hotdog dan tteokbokki memenuhi ruangan yang sunyi. Ia makan perlahan, menatap layar ponsel yang tiba-tiba bergetar.
Dika 💕:
“Sayang, gak lupa kan besok buat rayain ultahku? Aku tunggu di Gijeon Steak House , jam tujuh ya. Love you sayangku 😘”
Lucy berhenti mengunyah sejenak. Tatapannya kosong beberapa detik sebelum jempolnya mengetik pelan.
Lucy:
"Ok, sayang. Love you too 💕”
Pesan terkirim.
Setelah itu, ia membersihkan meja, lalu mengambil ponsel lagi. Sekadar scroll media sosial tanpa arah, menatap layar yang menyoroti wajah lelahnya.
Beberapa menit kemudian, ponsel diletakkan di meja samping tempat tidur.
Lampu kamar dimatikan.
Sejak pagi, kantor Auralis Naturals terasa lebih riuh dari biasanya. Deadline kampanye akhir bulan membuat semua tim marketing sibuk luar biasa — dan Lucy, sebagai manajer, ada di tengah-tengahnya.
Suara notifikasi email, panggilan Zoom, dan tumpukan laporan di mejanya nyaris nggak berhenti.
Jam di layar laptop sudah menunjukkan pukul enam sore, tapi tangannya masih menari di keyboard, menyelesaikan revisi terakhir untuk presentasi besok pagi.
...(Lucy Putri Chandra)...
Sampai akhirnya, ponselnya bergetar. Nama Andika muncul di layar.
Lucy menarik napas, lalu menekan tombol panggil balik.
“Sayang, kayaknya aku nggak bisa dateng malam ini,” ucapnya pelan, suaranya terdengar capek tapi tetap lembut.
Dari seberang, suara Andika terdengar agak kesal tapi berusaha terdengar manis.
“Sibuk banget ya, sayang? Yaudah deh, gak. apa-apa… tapi, hmm… boleh minta hadiah dulu nggak? TF-in sejuta aja. Soalnya udah nanggung reservasi tempat, malu juga kalo batal.”
Lucy menatap layar laptopnya yang masih terbuka. Matanya lelah, tapi suaranya tetap tenang.
“Iya, udah aku transfer bentar lagi. Kamu rayain aja dulu sama temen-temen kamu, ya.”
“Iya, sayang. Makasih ya. Kamu semangat, jangan terlalu cape, Hati-hati nanti pulangnya.” jawab Andika sebelum menutup panggilan.
Telepon berakhir, meninggalkan keheningan yang aneh.
Lucy bersandar di kursinya, menatap langit Bandung sore itu lewat jendela kaca kantor. Hujan tipis mulai turun.
Ia tersenyum hambar — bukan karena bahagia, tapi karena sudah terbiasa menenangkan diri dengan kalimat, “Nggak apa-apa, nanti juga selesai.”
Lucy mengetik cepat di ponselnya, membuka aplikasi mobile banking, lalu men-transfer sejumlah uang ke rekening Andika.
Suara notifikasi “transaksi berhasil” terdengar pelan di tengah sunyinya ruang kantor yang tinggal menyisakan beberapa orang lembur.
Dari sebelahnya, Detri— sahabat sekaligus rekan kerjanya melongo.
“Luc, lo serius? Sejuta? Lo royal banget sih sama cowok lo.”
Lucy menoleh sekilas, bibirnya tersenyum kecil. “Emang kenapa?”
Detri memutar kursinya, menatap Lucy tanpa basa-basi.
“Kenapa lagi? Lo masih pacaran, anjir. Gak takut dimanfaatin apa?”
Lucy terdiam sejenak, lalu tertawa kecil tanpa benar-benar lucu.
“Det, gue sama Dika udah pacaran bertahun - tahun. Gue percaya dia kok. Lagian kalau nanti udah nikah, uang dia uang gue juga, kan? Begitu juga sebaliknya.”
Detri mendengus pelan. “Ya kalau jodoh sampe pelaminan. Kalau nggak?”
“Husshh, sembarangan banget lo ngomong! Doain yang baik-baik aja kenapa buat gue,” sahut Lucy cepat, berusaha menutup obrolan itu dengan nada bercanda.
Detri mengangkat tangan tanda menyerah. “Ya udah, ya udah. Gue doain deh, asal lo juga jangan terlalu buta.”
Lucy tersenyum samar, tapi matanya sedikit redup. Ia kembali menatap layar laptop, mencoba fokus ke laporan yang belum selesai, menelan rasa aneh yang tiba-tiba muncul di dadanya.
Mereka pun melanjutkan lembur dalam diam hanya suara ketikan dan hujan yang terdengar dari luar jendela.
...***************...
Sementara itu, di salah satu restoran mewah di pusat kota Bandung, Andika tengah duduk di meja sudut dengan senyum puas menghiasi wajahnya.
Di depannya, seorang wanita bergaun merah menatapnya sambil menyipitkan mata.
“Kok kamu seneng banget sih, yang?” tanya wanita itu dengan nada manja.
Andika menyandarkan punggungnya ke kursi, mengangkat ponselnya, memperlihatkan layar berisi bukti transfer dari Lucy.
“Lihat, yang. Udah kubilang kan, cewek gila kerja kayak dia gak bakal bisa datang. Mana dapet transferan juga lagi. Apa ga kurang Hoki hidup ini?"
Wanita itu mendengus pelan. “Kamu nih parah banget, segitunya sama dia.”
Andika terkekeh ringan, memutar gelas wine di tangannya.
“Cewek gila kerja kayak dia siapa juga yang mau selain aku? Sibuk terus, gak punya waktu buat diri sendiri. Tapi duitnya ngalir terus. Sayang banget kalo gak dimanfaatin, kan?”
Wanita di depannya pura-pura cemberut, tapi matanya jelas menikmati obrolan itu.
Andika meraih tangannya sambil tersenyum sinis.
“Ayo, sayang. Kita nikmatin dinner ini. Abis itu kita ke PVJ (Paris Pan Java Mall) , kamu mau apa aja, tinggal pilih deh.”
Keduanya tertawa pelan, diiringi denting gelas dan musik jazz lembut di ruangan itu. Kontras sekali dengan hati seseorang di kantor yang masih bekerja keras demi cinta yang tak tahu arah.
Jam lembur akhirnya usai. Kantor Auralis Naturals sudah sepi, hanya tersisa suara hujan tipis yang membasahi jendela.
Lucy menutup laptopnya, memijat pelipis. Kantuk sudah menyerang sejak satu jam lalu, tapi baru sekarang ia bisa benar-benar berhenti.
“Ngantuk banget lo keliatannya,” ujar Detri sambil merapikan tas. “Gimana pulangnya? Mau gue anter?”
Lucy menggeleng pelan, matanya nyaris setengah tertutup.
“Gak usah, rumah lo jauh banget dari sini. Kayaknya gue naik ojol aja deh. Mobilnya gue tinggal di kantor aja malam ini"
Detri menatapnya khawatir tapi akhirnya mengangguk.
“Yaudah, hati-hati ya. Jangan ketiduran di jalan.”
Lucy tersenyum kecil. “Okay, lo juga. hati-hati.”
Begitu Detri pergi, Lucy menguap besar, lalu mengambil ponselnya. Dengan mata setengah terbuka, ia membuka aplikasi Grab dan memesan kendaraan.
Di tempat lain, Sadewa baru saja menutup rolling door outlet Reddog Pasteur. Semua karyawan sudah pulang, tinggal dia yang sibuk mengecek laporan penjualan hari ini.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi — notifikasi masuk dari aplikasi Grab Driver.
Ia mendecak pelan. “Eh, aing poho wae, teu dimatikeun.” (Eh, aku lupa terus belum dimatiin.)
Jari telunjuknya sudah siap menekan tombol tolak pesanan, tapi matanya mendadak berhenti.
Nama pelanggan yang tertera di layar membuat jantungnya ikut berhenti sepersekian detik.
Lucy.
Alisnya terangkat. “Apa ini… Lucy yang waktu itu ya?” gumamnya pelan.
Tanpa berpikir lama, ia langsung menekan tombol accept order dan meraih helmnya. Mesin motor dinyalakan, suara knalpot menggema pelan di bawah langit Bandung yang basah oleh hujan.
Sadewa tersenyum tipis di balik helm full-face nya.
“Ya udah, kita lihat aja kemana nasib bawa gue malam ini.”
Di depan gedung kantor Auralis Naturals.
Sadewa menurunkan kaca helmnya sedikit, memastikan alamatnya benar. Ia melirik layar ponsel dengan nama pelanggan masih sama: Lucy.
“Bener di sini…” gumamnya pelan, lalu menatap ke arah lobi yang remang.
Di sana, seorang perempuan berdiri sambil memeluk tas kerja di dada. Matanya terlihat sayu, rambutnya agak berantakan karena lembur, tapi sorotnya… tetap sama seperti yang ia ingat waktu di lift apartemen malam itu.
Beneran dia...
Sadewa turun dari motor, menepikan kendaraan ke sisi trotoar.
"Pesanan Grab atas nama Kak Lucy?” tanya Sadewa begitu sampai di depan kantor.
“Iya, saya,” jawab Lucy singkat, suaranya lelah tapi tetap sopan.
Sadewa menyodorkan helm cadangan. “Ini, Kak.”
Lucy menerimanya, mengenakannya pelan lalu naik ke jok belakang.
Motor melaju perlahan meninggalkan area kantor.
Langit malam Bandung tampak jernih — tanpa hujan, tanpa kabut, hanya bintang-bintang kecil bertaburan di atas sana. Angin malam berembus lembut, membawa aroma pohon pinus dari kejauhan.
Entah kenapa, Sadewa tersenyum di balik helm full-face nya.
Ada rasa tenang aneh yang datang begitu saja.
Mungkin karena malamnya indah.
Atau mungkin karena penumpang di belakangnya. Perempuan yang tak sadar sedang menarik perhatiannya.
Beberapa menit berlalu.
Dug.
Helm Lucy menyentuh punggung helm Sadewa. Sekali, dua kali.
Sadewa tersenyum kecil — tanda kalau perempuan itu mulai terkantuk.
“Eh, Kak… jangan tidur dulu. Dikit lagi sampai,” ucapnya pelan.
Tapi Lucy sudah setengah terlelap. Tubuhnya makin condong ke depan.
Refleks, Sadewa menahan tangan Lucy agar tidak jatuh.
Sentuhannya spontan — hangat di udara malam yang dingin.
Dan tiba-tiba —
grep.
...----------------...
Kenapa tuh?
Hai Hai 💕
Jangan lupa untuk vote like dan komen supaya hamba semangaaat up nya 😅✨