Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2.
Terabaikan dan tetap profesional....
Beberapa hari kemudian, takdir kembali mempertemukan Asmara dan Ryan.
Jadwal mereka secara tak terduga ditempatkan pada penerbangan yang sama ke Tokyo. Saat briefing kru sebelum penerbangan, Ryan duduk di ujung ruangan, matanya hanya sesekali melirik pada Asmara. Asmara pura-pura tidak menyadari, ia tetap profesional dan fokus pada instruksi.
"Kapten Ryan akan menjadi pilot kita hari ini," kata manajer kru. "Semua kru harap bekerja sama dengan baik."
Para pramugari lain terlihat berbisik-bisik dan tersenyum, seolah senang bisa terbang bersama pilot tampan itu. Asmara hanya menghela napas. "Semoga penerbangan ini cepat berlalu," batinnya.
Saat pesawat mengudara, suasana di kelas bisnis terasa tenang. Asmara berkeliling menawarkan minuman. Ia melihat Ryan keluar dari kokpit. Pria itu menunjuk ke arahnya, lalu memberikan isyarat untuk mengikutinya.
Asmara merasa bingung, namun ia tetap menurut. Ryan membawanya ke bagian belakang pesawat, jauh dari pandangan penumpang.
"Tanganmu... apakah sudah sembuh?" tanya Ryan, suaranya pelan dan masih kaku.
"Sudah, Kapten," jawab Asmara singkat.
"Saya ingin minta maaf lagi. Itu kecerobohan saya."
"Sudah saya bilang, tidak apa-apa," jawab Asmara, mulai merasa tidak nyaman. "Bisakah kita kembali ke pekerjaan kita, Kapten? Penumpang dan kru yang lain bisa curiga."
Ryan tidak peduli. Matanya lurus menatap Asmara. "Saya tidak pernah ceroboh seperti itu sebelumnya," katanya, lebih kepada dirinya sendiri. "Entah kenapa, waktu itu saya kurang fokus."
Asmara mengangkat bahu. "Mungkin karena Anda kurang tidur?"
Ryan tidak menjawab. Ia hanya terus menatap Asmara, seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi. Asmara merasa risih dengan tatapannya.
"Jika tidak ada lagi yang bisa saya bantu, saya permisi, Kapten," ujar Asmara, berbalik pergi.
Ryan tidak menahannya. Ia kembali ke kokpit, namun pikirannya tak lagi sepenuhnya pada penerbangan. Ada sesuatu tentang Asmara yang menariknya. Sikap acuh tak acuhnya, kemandiriannya, dan yang paling penting, tatapan matanya yang tulus. Asmara berbeda dari wanita lain yang pernah ia temui.
Sejak kejadian itu, Ryan mulai mencari cara untuk berinteraksi dengan Asmara. Setiap kali mereka berada dalam penerbangan yang sama, ia selalu mencari kesempatan untuk bicara. Namun, setiap percakapan mereka selalu canggung.
Ryan tidak pandai memulai percakapan, dan Asmara selalu berusaha menjaga jarak.
Suatu hari, setelah pendaratan, Asmara sedang menunggu taksi online di luar bandara. Tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti di depannya.
Jendela mobil terbuka, menampakkan Ryan di balik kemudi.
"Anda butuh tumpangan?" tawarnya tanpa senyum.
Asmara menggeleng. "Tidak, terima kasih. Saya sudah pesan taksi."
"Batalkan saja. Saya akan mengantarmu," kata Ryan, suaranya seperti perintah.
Asmara merasa kesal. "Saya bisa pulang sendiri, Kapten."
"Saya tahu. Tapi saya ingin mengantarmu," kata Ryan bersikeras.
Merasa lelah berdebat, Asmara akhirnya mengalah. Ia masuk ke dalam mobil Ryan.
Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan. Hening yang canggung memenuhi mobil. Asmara hanya melihat keluar jendela, sementara Ryan fokus mengemudi.
Tiba di depan apartemen Asmara, ia bergegas turun. "Terima kasih, Kapten," ucapnya sopan.
Ryan menahan pintu mobil. "Kenapa kamu selalu memanggilku Kapten?" tanyanya.
"Karena Anda memang Kapten. Dan kita rekan kerja," jawab Asmara.
"Panggil saya Ryan, kalau sedang di luar jam kerja begini." katanya. "Dan kenapa kamu... seperti berbeda ?"
Asmara terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. "Berbeda bagaimana?"
"Kamu tidak terkesan dengan saya," kata Ryan berterus terang. "Kamu tidak pernah berusaha membuat saya terkesan."
"Kenapa saya harus terkesan ?" Asmara balik bertanya. "Saya hanya ingin menjadi diri sendiri."
Ryan menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Itulah bedanya," bisiknya.
...✈️🌸✈️...
Beberapa minggu berlalu sejak insiden kopi dan tumpangan mobil yang canggung itu. Asmara dan Kapten Ryan terus saja dipertemukan dalam jadwal penerbangan yang sama, seolah ada magnet tak terlihat yang menyatukan orbit kerja mereka. Namun, di hadapan rekan kerja dan di dalam pesawat, mereka menjaga jarak profesional yang ketat, bahkan bisa dibilang terlalu ketat.
Di ruang briefing, Ryan selalu menjadi yang pertama datang dan yang pertama pergi.
Tatapan matanya yang dingin dan raut wajahnya yang kaku kembali menjadi perisai utamanya. Ia berbicara hanya seperlunya, hanya tentang prosedur penerbangan, kecepatan angin, atau turbulensi.
Asmara pun melakukan hal yang sama. Ia memperlakukan Ryan persis seperti pilot lain, dengan hormat, sopan, namun tanpa kehangatan pribadi. Ia menghindari kontak mata yang terlalu lama dan selalu memastikan interaksi mereka singkat dan padat. Ia telah belajar bahwa mendekati pria dingin seperti Ryan hanya akan menguras energinya, dan ia tidak mau jatuh ke lubang yang sama setelah perpisahan menyakitkan dengan Devanka.
...✈️...
Penerbangan Malam yang Sunyi ✈️
Suatu malam, mereka berada dalam penerbangan jarak jauh melintasi Samudra Pasifik. Setelah semua penumpang terlelap dan lampu kabin diredupkan, suasana pesawat terasa sunyi, hanya terdengar dengungan halus mesin.
Asmara sedang bertugas di galley tengah, mengisi ulang persediaan minuman.
Tiba-tiba, pintu kokpit terbuka, dan Ryan keluar. Ia berjalan menuju galley tanpa mengeluarkan suara.
"Bisa buatkan saya black coffee, Asmara? Tanpa gula." Ryan berkata sangat pelan, bahkan nyaris berbisik.
Asmara terkejut dengan permintaan itu. Biasanya, pilot akan meminta melalui interkom atau meminta pramugari senior lain. Ia menegakkan punggung, menatap Ryan yang berdiri dihadapannya.
Dengan Nada datar dan profesional, Asmara menjawab."Tentu, Kapten. Tunggu sebentar."
Ia mulai meracik kopi untuk Ryan. Keheningan di antara mereka terasa tebal, dipenuhi oleh memori percakapan canggung di mobil beberapa waktu lalu. Ryan berdiri diam, menyandarkan bahunya ke dinding, mengamati gerakan Asmara.
"Saya dengar... kamu baru saja mengajukan pelatihan tambahan untuk penerbangan jarak jauh?"
Asmara sedikit terkejut, tidak menyangka Ryan tahu detail rencananya itu. "Ya, Kapten. Saya ingin meningkatkan spesialisasi saya."
"Bagus. Itu keputusan yang tepat. Tapi, jadwalmu akan semakin padat."
"Itu risiko pekerjaan, Kapten. Saya menyukai tantangan." jawab Asmara sambil mengambil cangkir kopi.
Ia menyodorkan cangkir kopi itu. Tangan mereka bersentuhan sesaat. Kilasan panas itu terasa lagi, namun segera menghilang.
Ryan menerima cangkir itu, namun ia tidak segera kembali. Ia malah menyesap kopi itu pelan.
"Kenapa kamu melakukan itu, Asmara?" tanya Ryan sambil menatap cangkir kopi buatan Asmara.
Asmara menoleh. "Melakukan apa, Kapten?"
"Mengabaikan saya." kata Ryan terang-terangan.
Pertanyaan itu sungguh telak dan tidak terduga, jauh dari profesional. Asmara membuang napas pelan, menjaga agar wajahnya tetap tenang.
"Saya tidak mengabaikan Anda, Kapten. Saya hanya profesional. Bukankah itu yang Anda inginkan? Kita adalah rekan kerja."
Ryan mengangkat pandangannya, matanya yang dingin kini menunjukkan sedikit kejujuran. "Di darat, kita bisa menjadi yang lain."
Asmara Tersenyum getir. "Di darat, saya sibuk, Kapten. Saya punya kehidupan yang ingin saya fokuskan. Saya tidak punya waktu untuk... hal-hal yang tidak pasti."
Kata-kata Asmara menusuk Ryan. Ia langsung tahu Asmara membangun tembok.
"Kamu takut?"
Mendengar pertanyaan itu, membuat mata Asmara menjadi lebih tajam. "Saya berhati-hati. Dunia ini sudah cukup menyakitkan, Kapten. Saya tidak ingin menambah rasa sakit hanya demi rasa penasaran sesaat."
Ryan terdiam. Ia menghabiskan kopinya, lalu meletakkan cangkir kosong itu kembali ke meja.
"Sepertinnya anda begitu paham. Penerbangan ini lancar. Jaga agar tetap seperti itu." suaranya kembali dingin, seolah ia menutup diri lagi.
Ia berbalik, kembali ke kokpit, meninggalkan Asmara sendirian dalam keheningan yang kini terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Asmara bersandar pada meja galley, memejamkan mata. Ia tahu, di balik wajah kaku Ryan, ada usaha untuk mendekat. Tapi ia tidak akan memberinya jalan mudah. Ia tidak akan membiarkan hati dan kariernya kembali terancam oleh ketidakpastian. Mereka harus tetap profesional. Itu yang terbaik. Setidaknya, itulah yang ia yakini.
...✈️...
...✈️...
...✈️...
^^^Bersambung^^^