Berkali-kali dikhianati membuat Marwah mengalami trauma, dia tidak mau menjalin hubungan dengan pria mana pun juga. Hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pengusaha berkedok ustaz yang sedang mencari orang untuk mengurus ibunya.
Nahyan ternyata tidak jauh berbeda dengan Marwah. Keduanya tidak beruntung dalam hal percintaan.
Akankah Allah menjodohkan mereka berdua dan saling mengobati luka satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon poppy susan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2 Hati Yang Hancur
Sementara itu di rumah, Nazwa yang masih tidur langsung berlari ke dalam kamar mandi karena merasakan perutnya yang mual. Dia muntah-muntah di dalam kamar mandi membuat Ani yang sedang memasak khawatir. Ia pun cepat-cepat menyusul Nazwa ke dalam kamar mandi.
“Neng, kamu kenapa?” tanya Ibu Ani.
“Tidak tahu Bu, perut Nazwa tiba-tiba terasa mual,” sahut Nazwa lemah.
Ani segera membuatkan teh hangat untuk Nazwa. “Ini minum dulu teh hangatnya,” ucap Bu Ani.
Nazwa duduk di kursi, dia menyesap teh hangat yang dibawakan oleh ibunya. “Kamu sakit?” tanya Bu Ani sembari menyentuh kening Nazwa.
“Mual sekali rasanya Bu,” sahut Nazwa.
“Kamu makan apa kemarin?”
“Nazwa gak makan apa-apa kok Bu,” sahut Nazwa kembali.
Tiba-tiba, perut Nazwa kembali mual dan dia segera berlari masuk kembali ke dalam kamar mandi. Ani sangat khawatir dengan kondisi anak bungsunya itu. “Neng, kita ke puskesmas ya,” ucap Bu Ani.
Nazwa mengangguk. Setelah mendingan, Ani pun segera membawa Nazwa ke puskesmas untuk diperiksa. Betapa terkejutnya Ani saat mengetahui hasil pemeriksaan, keduanya langsung pulang dan Ani sama sekali tidak bicara membuat Nazwa merasa sangat bersalah.
Sesampainya di rumah, Ani menjatuhkan tubuhnya di atas kursi. Tatapannya kosong menyiratkan kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan yang mendalam. Nazwa langsung bersujud di kakinya ibunya dengan deraian air matanya.
“Maafkan Nazwa Bu, Nazwa khilaf,” ucap Nazwa penuh dosa.
Ani terdiam tapi air matanya tidak bisa dibendung, air mata itu mengalir di pipi wanita yang sudah tidak muda lagi itu. “Bu, Nazwa mohon maafkan Nazwa.” Dia meraung-raung memohon ampun kepada ibunya.
“Siapa yang sudah menghamilimu, Neng?” tanya Bu Ani dengan bibir bergetar.
Nazwa mendongak dan menatap ibunya dengan tatapan ragu-ragu. Lidahnya kelu, dia benar-benar takut untuk mengatakan yang sebenarnya. Tatapan Ani yang awalnya lurus, seketika menatap Nazwa karena melihat Nazwa terdiam.
“Katakan Neng, siapa yang sudah menghamilimu?” ucap Bu Ani kembali dengan penuh penekanan.
“Nazwa takut, Bu,” lirih Nazwa.
Ani memegang kedua bahu putrinya itu lalu menatap Nazwa dengan air mata kesakitan. “Jangan takut, katakan sama Ibu biar Ibu meminta pertanggung jawaban dari laki-laki itu,” ucap Bu Ani penuh amarah.
Susah payah Nazwa menelan salivanya, rasanya ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. “Kang Iwan, Bu,” sahut Nazwa ragu-ragu.
Lemas sudah tubuh Ani, bahkan ia tampak memegang dadanya. Nazwa panik, melihat ibunya seperti itu. “Bu, maafkan Nazwa, Bu,” ucap Nazwa dengan deraian air matanya.
“Kamu tahu ‘kan jika Iwan itu calon suami kakakmu, kenapa kamu tega melakukan itu kepada kakakmu?” ucap Bu Ani dengan deraian air matanya.
“Iya, Nazwa tahu tapi Nazwa juga tidak bisa menahan diri Nazwa, Bu. Nazwa sudah sejak lama mencintai Kang Iwan dan Nazwa rela memberikan kesucian Nazwa kepada Kang Iwan karena dia juga ternyata mencintai Nazwa,” sahut Nazwa dengan deraian air matanya.
Ani bangkit dari duduknya, ia pun melangkahkan kakinya dengan gontai meninggalkan Nazwa. “Bu, Nazwa mohon maafkan Nazwa,” ucap Nazwa.
Ani tidak mau mendengarkan ucapan putri bungsunya itu. Ia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati Marwah jika mengetahui yang sebenarnya. Ani masuk ke dalam kamarnya dan itu membuat Nazwa semakin meraung-raung.
***
Sore pun tiba....
Marwah dan Dadang pun pulang ke rumah. Seperti biasa, Marwah selalu ceria dan tersenyum bahagia. “Assalamualaikum.”
Keduanya masuk ke dalam rumah tapi rumah itu terlihat sepi bahkan lampu pun belum menyala sama sekali. “Kok sepi, ibu dan adikmu ke mana?” tanya Pak Dadang.
“Tidak tahu, Pak. Sebentar, Marwah mandi dulu ya,” ucap Marwah.
Marwah masuk rumah lewat pintu belakang karena kondisinya yang sangat kotor. Dia menyambar kain sarung dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi. Sementara itu, Dadang masih duduk di teras rumah beristirahat sembari menunggu giliran Marwah untuk mandi.
Tidak lama kemudian, Marwah selesai mandi dan segera berganti baju. Sekarang giliran Dadang yang mandi, setelah selesai memakai baju Marwah pun keluar dari kamar dan mencari keberadaan ibu dan adiknya. “Mereka ke mana kok gak ada?” batin Marwah.
Marwah pun langsung ke dapur dan masak untuk semuanya. Marwah memang tidak pernah mengenal kata capek, bahkan dia tidak pernah mengeluh. Hingga beberapa saat kemudian, terdengar pintu rumah terbuka ternyata itu adalah Ani dan Nazwa.
“Kalian dari mana?” tanya Pak Dadang yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.
“Bapak pakai baju dulu, nanti ibu mau bicara sama bapak dan Marwah,” sahut Bu Ani lemas.
Nazwa hanya bisa terdiam dan menunduk di kursi. Marwah pun sudah selesai masak dan menghampiri keluarganya di ruang tamu yang sudah dari tadi menunggu Marwah. “Ayo semuanya kita makan!” ajak Marwah.
“Nak, nanti saja makannya sini duduk ada yang mau bicarakan denganmu,” ucap Bu Ani.
Marwah mengerutkan keningnya, dia bingung dengan raut wajah ibunya yang terlihat sedih. Begitu juga dengan Nazwa yang terlihat sembab di bagian matanya seperti habis menangis. Marwah pun duduk di samping ibunya.
“Ada apa, Bu?” tanya Marwah.
Ani menggenggam tangan Marwah, ia beberapa kali menghembuskan napasnya untuk menetralkan perasaannya. Marwah semakin penasaran dengan apa yang akan ibunya sampaikan. “Marwah, maafkan ibu. Sepertinya pernikahan kamu dan Iwan harus dibatalkan,” ucap Bu Ani dengan bibir yang bergetar.
Marwah membelalakkan matanya, begitu juga dengan Dadang yang tak kalah terkejutnya. “Maksud Ibu apa? Kenapa ibu bicara seperti itu?” tanya Pak Dadang sedikit emosi.
“Coba kamu jelaskan Nazwa kepada kakak dan bapakmu,” ucap Bu Ani menahan emosi.
Sekarang Marwah dan Dadang melempar pandangan ke arah Nazwa. Tiba-tiba Nazwa berlutut di kaki Marwah membuat Marwah terkejut. “Kamu kenapa, Dek?” tanya Marwah.
“Maafkan aku Kak, aku sudah bersalah sama kakak. Saat ini aku sedang hamil anaknya Kang Iwan,” ucap Nazwa dengan deraian air matanya.
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, ucapan Nazwa begitu menghantam hatinya. Air mata Marwah sudah menetes dengan deras tapi dia tidak bisa berkata apa-apa. Dadang terlihat emosi, ia berdiri dari duduknya dan menatap tajam ke arah Nazwa.
“Kamu keterlaluan Nazwa, bisa-bisanya kamu melakukan semua ini kepada kakakmu sendiri!” bentak Pak Dadang.
“Maafkan Nazwa, Pak. Nazwa sudah lama mencintai Kang Iwan dan begitu dengan Kang Iwan, dia terpaksa melanjutkan pernikahan ini karena sudah terlanjur menyetujui pernikahan ini padahal dulu Kang Iwan hanya bercanda tapi tidak disangkan Kak Marwah menganggapnya serius dan meminta Bapak untuk menikahinya,” sahut Nazwa.
Napas Marwah sudah sangat sesak, dia pun bangkit dari duduknya dan pergi masuk ke dalam kamarnya. “Kamu benar-benar tega Nazwa sama kakakmu!” bentak Pak Dadang.
Dadang pun melangkahkan kakinya tapi Nazwa langsung memeluk kaki Dadang. “Ampuni Nazwa, Pak. Nazwa tidak bisa berbuat apa-apa karena Nazwa sudah terlanjur mencintai Kang Iwan,” ucap Nazwa dengan deraian air matanya.
Dadang yang emosi menghentakkan kakinya dan Nazwa terjungkal ke belakang. Dadang tidak bicara apa-apa lagi, dia segera masuk ke dalam kamarnya. Ani pun akhirnya menyusul suaminya masuk ke dalam kamar, tinggalah Nazwa yang kembali menangis meraung sendirian di ruang tamu.