Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SARAN RANI
Langit sore tampak mendung, seolah ikut memahami kepenatan hati Maya. Hujan belum turun, tapi angin sudah membawa aroma tanah yang basah, menggoda untuk jatuh kapan saja.
Maya duduk di dekat jendela sebuah kafe kecil yang biasa ia kunjungi bersama Nayla. Tapi kali ini, bangku di seberangnya kosong. Tak ada tawa anak kecil, tak ada tangan mungil yang mencelupkan biskuit ke dalam coklat panas. Hanya keheningan dan kepala yang berat oleh kekacauan.
“Maaf, tadi jalanan macet banget,” suara Rani memecah lamunannya.
Maya tersenyum lemah saat sahabatnya itu duduk di hadapannya. “Nggak apa-apa. Aku juga baru nyampe.”
Rani menatap Maya dalam-dalam. Wajah itu... lelah. Mata sembab, kulit pucat, dan tubuh yang biasanya begitu tegap, kini membungkuk seperti menanggung beban yang tak kelihatan.
“Gimana sidangnya?” tanya Rani pelan.
Maya menghela napas panjang. “Berantakan. Reza datang dengan segala kesombongannya. Dia pakai jas bagus, senyum palsu, dan pengacara yang... entah kenapa bikin aku merasa kalah sebelum mulai.”
Rani menggigit sedotan es kopinya, lalu menyandarkan punggung ke kursi. “Dia serius banget ya mau rebut Nayla?”
“Banget,” jawab Maya lirih. “Dan dia tahu, aku nggak punya banyak.”
Rani mencondongkan tubuhnya, serius. “Kamu punya aku.”
Maya tersenyum sekilas, tapi tidak menjawab. Ia tahu maksud Rani baik. Tapi kenyataannya, persidangan bukan soal siapa yang peduli padamu—tapi siapa yang punya kuasa dan bukti.
“Aku pikir, tadi hakim sempat memandang sinis waktu Reza bilang aku kerja di tempat hiburan malam, padahal aku kerja di cafe... dia memfitnah ku."
Rani mendecak pelan. “Klasik. Sistem yang usang. Selama ini ibunya yang ngasuh, begitu cerai—ayahnya datang bawa uang dan pengacara, lalu dianggap lebih stabil.”
Maya memejamkan mata sejenak. “Aku capek, Ran.”
Rani mengangguk pelan. “Kamu perlu bantuan. Yang beneran.”
Maya membuka matanya. “Maksudmu?”
“Aku tahu seseorang. Dia bukan tipe pengacara biasa. Namanya Adrian Lesmana.”
Maya mengernyit, mengaduk kopinya yang sudah dingin. “Kayak pernah dengar. Siapa dia?”
Rani menyandarkan tubuh lagi, kali ini dengan ekspresi lebih ragu. “Dia... terkenal. Tapi bukan karena dia ramah. Justru sebaliknya.”
“Sejenis... pengacara berhati batu?” Maya setengah bercanda.
Rani tertawa kecil. “Lebih ke... mesin. Dia ngelihat semua kasus kayak permainan catur. Tenang, penuh strategi, tapi bisa tiba-tiba ngasih gerakan mematikan yang nggak kamu lihat datang.”
Maya terdiam. Ada rasa penasaran, tapi juga was-was.
“Dan dia nggak murah,” lanjut Rani. “Ada gosip—entah bener atau nggak—katanya beberapa klien bayar dia bukan dengan uang.”
Maya menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
Rani mengangkat bahu. “Ya... kamu ngerti maksudku. Tapi aku nggak pernah lihat sendiri. Cuma cerita-cerita. Bisa jadi cuma bumbu gosip infotainment.”
Maya menunduk. “Apa aku kelihatan kayak orang yang... bisa melakukan itu?”
“Bukan itu maksudku, May,” Rani buru-buru membela diri. “Aku cuma kasih tau, karena kamu perlu pertimbangan dari semua sisi. Adrian bisa bantu kamu, tapi dia bukan orang yang akan memanjakan kliennya. Dia profesional, tapi keras. Dan dia... suka menang.”
Maya menatap kosong ke luar jendela. Di luar, langit mulai berubah gelap. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu. Dunia terus berjalan, sementara hatinya rasanya berhenti.
“Kamu punya nomor dia?” tanyanya pelan.
Rani membuka dompet kecil, mengeluarkan kartu nama berwarna hitam elegan, dan menyerahkannya. Maya menerima dengan tangan sedikit gemetar.
“Pikirkan baik-baik, May. Kalau kamu mutusin buat hubungi dia, nggak akan ada jalan balik. Dia bukan orang yang bisa kamu datangi lalu pergi begitu saja.”
Maya menatap nama di kartu itu. Adrian Lesmana. Tulisan emas kecil yang tampak mahal dan... dingin. Seperti nama itu membawa beban besar, tapi juga janji kekuatan.
Untuk Nayla, batinnya berkata. Apa pun akan kulakukan.
kamu harus jujur maya sama adrian.