Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
aku bukan alat pemuas
Malam itu, Laila tak berhenti memohon agar Arfan mengerti. Bahwa tubuhnya sedang tidak dalam kondisi siap. Bahwa ia benar-benar sedang haid. Tapi, seperti biasa, Arfan tak mudah percaya.
"Aku lihat dulu!" ucap Arfan dengan wajah penuh curiga. Laila hanya diam, pasrah. Bahkan rasa malu pun seakan sudah tidak penting lagi dalam rumah tangganya. Arfan berjalan cepat ke kamar mandi, melihat celana dalam yang dikenakan Laila sebelumnya, dan akhirnya mengangguk kecil.
"Ya sudah, kamu benar. Tapi kenapa sih harus pas banget waktunya sekarang?" gumamnya.
Laila hanya menghela napas panjang. Rasanya seperti baru saja memenangkan sebuah pertempuran kecil, padahal peperangan yang sesungguhnya belum berakhir.
Arfan duduk di tepi ranjang, lalu menatap Laila dengan ekspresi berbeda. Matanya menatap sayu, seakan ingin mengemis perhatian, tapi di balik itu Laila tahu—ada hasrat yang belum terpuaskan. Suaminya tak pernah kenyang. Bahkan ketika tubuhnya sudah letih, pikirannya tetap berputar soal pelampiasan.
“Sayang…” suara Arfan berubah lembut. Sangat lembut, seperti sutra yang melilit pelan ke leher. “Kalau kamu lagi haid, ya nggak apa-apa. Aku ngerti, aku juga tahu itu haram. Tapi… aku nggak tahan. Kamu tahu sendiri…”
Laila menoleh, lelah, dan tidak menjawab.
“Aku cuma minta kamu bantuin cara lain. Gak dosa, kan? Toh gak dimasukin, cuma dibantu keluar aja... Ya? Kamu pakai tangan kamu aja... jari jemarimu yang lembut itu...” bisik Arfan pelan, hampir menyerupai rayuan yang dulu pernah membuat Laila tersipu.
Kini, rayuan itu terdengar seperti jebakan.
Hati Laila berdesir, tapi bukan karena tergoda. Justru sebaliknya. Ia merasa seperti sedang dicekik oleh tuntutan tak terlihat.
Ia terdiam, mencoba berdialog dengan pikirannya sendiri. "Mungkin nggak dosa... asal nggak masuk... mungkin masih bisa dibilang bantu suami..."
Tapi perasaannya menolak. Tubuhnya bukan mesin. Tangannya bukan alat. Ia bukan alat pemuas.
Namun, seperti banyak istri lain, Laila takut dibilang menolak suami. Ia takut dikutuk malaikat. Ia takut dianggap istri durhaka. Ia takut... kehilangan cinta yang bahkan entah masih ada atau tidak.
Laila akhirnya menuruti permintaan itu. Bukan karena ingin. Tapi karena terpaksa.
Semuanya terjadi dalam diam. Tanpa gairah. Tanpa senyum. Tanpa cinta.
Yang terdengar hanya suara berat Arfan dan permintaannya yang berulang-ulang.
Dan setelah semuanya selesai, Laila mengusap tangannya dengan tisu, beranjak ke kamar mandi, dan menatap wajahnya sendiri di cermin.
Ia tak mengenali siapa yang sedang ia lihat.
Matanya kosong. Bibirnya pucat. Pundaknya merosot seperti memikul dunia.
“Terima kasih ya, sayang...” ucap Arfan dari balik pintu kamar, nada puas dan santai.
Laila tidak menjawab. Ia hanya berdiri di depan wastafel dan menyalakan keran air.
Air mengalir deras, dingin, dan tak membawa ketenangan. Justru membuatnya menggigil.
Pagi harinya, Laila bangun lebih awal seperti biasa. Menyiapkan sarapan, merapikan pakaian kerja Arfan, dan menyusun kotak makan. Semua dilakukan dengan gerakan mekanis, tanpa semangat.
Ketika Arfan duduk di meja makan, ia bersikap seperti tak terjadi apa-apa semalam. Ia memuji nasi goreng buatan Laila, lalu sibuk dengan gawainya sambil menyeruput teh.
Laila hanya diam. Tapi di dalam dirinya, pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan.
“Apakah aku istri yang baik?”
“Apakah ini normal?”
“Apakah setiap malam harus seperti ini?”
“Apakah suamiku mencintaiku atau hanya tubuhku?”
Semua pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban.
Hari itu, setelah Arfan pergi kerja, Laila duduk di depan laptopnya. Ia mulai mengetik kata-kata di kolom pencarian:
“Suami hiperseksual, bagaimana menghadapi?”
“Kewajiban istri dalam Islam soal hubungan suami istri”
“Apakah menolak permintaan suami itu dosa?”
Banyak artikel bermunculan. Beberapa menyalahkan istri, mengatakan istri harus melayani selama tidak berhalangan. Tapi sebagian lain berbicara tentang kesehatan mental, tentang komunikasi, tentang batas, tentang persetujuan.
Laila membaca semuanya. Beberapa membuatnya makin merasa bersalah. Tapi ada juga yang membuka pikirannya.
Salah satu artikel berjudul “Cinta Tak Bisa Dipaksakan di Ranjang” membuatnya tercenung lama. Isinya menyebutkan bahwa tubuh perempuan bukan alat transaksi. Bahwa persetujuan dalam hubungan adalah kunci. Bahwa pernikahan yang sehat harus punya ruang untuk saling memahami, bukan memaksa.
Laila terdiam. Jari-jarinya gemetar.
Air mata menetes begitu saja.
Bukan karena sedih. Tapi karena baru hari itu ia merasa didengar. Walau hanya oleh tulisan dari orang asing di internet.
Malamnya, saat Arfan pulang kerja, Laila memberanikan diri bicara.
“Mas...” katanya pelan.
“Hm?”
“Aku ingin kita bicara... soal semalam... soal semuanya... soal kita...”
Arfan mendengus kecil. “Apalagi sih, Lay? Kamu bawa-bawa lagi yang udah selesai?”
“Aku nggak enak. Aku capek. Aku... kadang merasa bukan istrimu, tapi seperti alat...”
Arfan langsung meletakkan sendoknya. Wajahnya berubah.
“Kamu mulai baca-baca dari mana? Nonton sinetron apaan lagi? Jangan sok drama, Lay. Kamu tuh istri, dan kamu tahu kewajibanmu!”
Laila terdiam. Napasnya memburu. Tapi ia tak membalas. Ia tahu, berdebat dengan Arfan seperti menjerit di tengah badai.
Tak akan ada yang mendengar.
Tapi malam itu, Laila menulis di buku hariannya:
“Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan. Tapi aku tahu, jika aku terus diam, aku bisa hancur."