My Sugar Baby

Axel gelisah sejak siang. Ia telah meminta Marisolio menjemput Angelica, tapi hingga pukul delapan malam, mereka belum juga muncul. Keluar dari gedung pertunjukan Teatro alla Scala bersama tim Darko Castillo, Axel langsung kembali ke hotel. Ia tak henti mencoba menghubungi Marisolio, tapi panggilan hanya berakhir di kotak suara.

Frustrasi, Axel menuang segelas wiski lalu berdiri di balkon suite, memandangi lampu-lampu kota Milan yang berpendar di kejauhan. Ia menunggu. Tak lama, terdengar suara notifikasi dari ponsel: pesan dari Marisolio.

Mereka akhirnya tiba.

Angelica terpukau oleh kemewahan hotel Four Seasons, matanya tak berhenti menelusuri setiap detail. Lift membawa mereka ke lantai khusus, berbeda dari tempat tim Axel menginap. Demi menjaga privasi, Marisolio sudah mengatur semuanya. Ia menyerahkan satu kunci kamar pada Angelica, menyuruhnya bersiap, lalu pergi sambil berkata, “Telepon aku kalau sudah siap.”

Angelica masuk ke kamar mewah itu dan sejenak terdiam. Pemandangannya luar biasa, ranjang besar dengan sprei putih bersih, balkon pribadi, dan kamar mandi marmer lengkap dengan bathtub besar. Ia menyelam dalam air hangat dan busa wangi sabun mahal, membiarkan pikirannya melayang.

Tak lama setelah berendam, ia menghubungi Marisolio. Beberapa menit kemudian, Axel tiba dengan napas tak beraturan karena memilih menuruni tangga daripada menunggu lift.

Angelica membukakan pintu. Tidak ada kata yang diucapkan—kerinduan mereka berbicara sendiri.

Malam itu menjadi malam yang penuh keintiman dan perasaan yang tak tertahankan. Axel tidak hanya melihat Angelica sebagai “Si Mata Cantik”, tapi juga sebagai musanya. Sumber inspirasinya. Pusat dari setiap sketsa dan gaun yang ia ciptakan.

Pagi harinya, Axel bangun lebih dulu. Ia hanya menatap Angelica dalam diam beberapa saat, lalu mencium keningnya sebelum pergi tanpa membangunkannya. Ia meninggalkan hadiah kecil di meja: sarapan, sebuah ponsel baru berwarna merah muda, dan kartu emas hotel atas nama Angelica.

Di kamarnya sendiri\, Axel kembali fokus menyiapkan pertunjukan perdananya di Milan Fashion Week. Semua tampak berjalan lancar. Gaun utama berjudul *Noche de Lujuria*—inspirasi malam penuh gairah dan seni tinggi—sudah tergantung anggun di manekin.

Sementara itu, Angelica terbangun dengan wajah segar. Ia membuka ponsel barunya dan tersenyum melihat catatan kecil dari Axel. Tak lama kemudian, ponselnya berdering.

📱 “Halo, baby. Terima kasih untuk hadiahnya. Warnanya cantik sekali.”

📱 “Sama-sama. Itu pilihan Marisolio, katanya kamu suka warna pink.”

📱 “Benar, itu warna favoritku.”

📱 “Aku senang kamu suka. Hari ini aku sangat sibuk. Kalau kamu bosan di kamar, kamu boleh berjalan-jalan sebentar di sekitar hotel, tapi jangan terlalu jauh ya. Tetap di area pusat perbelanjaan.”

📱 “Baiklah. Tapi... bolehkah aku datang ke peragaan busananya nanti malam?”

📱 “Sayangnya belum bisa, sayang. Aku harus jaga nama baikku dulu. Tidak boleh ada yang tahu kamu di sini bersamaku.”

Angelica terdiam sejenak, lalu mengangguk meski Axel tak melihat.

📱 “Aku mengerti,” ucapnya pelan, namun senyum kecil tetap muncul di ujung bibirnya.

---