Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.
Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.
Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.
Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?
Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhir misi regu satu
Angin sepoi menerjang dari arah barat, menghempas udara dingin beriringan dengan gerak mendung gelap yang menaungi 7 gundukan tanah di atas bukit berumput kering nan jarang ini. Di samping gundukan, aku bersama 3 anggota regu 2 Faks berdiri terdiam membisu menatap dengan penuh duka di mana rekan kami bersemayam di dalam tanah ini 5 bulan lalu.
Ya, 5 bulan lalu semua pasukan Faks mendapat misi bunuh diri. Misi yang mustahil saat kami yang hanya berjumlah 110 orang harus menghadang pasukan bantuan Varaya berjumlah 10 ribu orang menuju garis depan.
Memang mustahil 100 orang bisa melawan 10 ribu karena itulah aku menyebutnya misi bunuh diri. Berkat perangkap yang kami pasang dan perlawanan yang kami lakukan secara gerilya mengikis pasukan Varaya sedikit demi sedikit. Misi kami bisa dibilang sukses karena pasukan bantuan Varaya membatalkan misinya dengan kehilangan kurang lebih 1.400 prajurit meski kami harus membayar mahal dengan gugurnya 51 anggota Faks dari berbagai tim.
Dan bukit ini adalah tempat biasa kami berkumpul setelah menjalankan misi. Bukit yang dulu ramai oleh keberadaan 11 orang sekarang hanya tersisa 4 orang saja.
Elmor, Waine, Elias, Kastor, Darvan, Conrad, dan Ralfe. Kalian adalah para pahlawan, perjuangan kalian mamang tidak akan didengar oleh rakyat Magolia. Tapi, bagi kami anggota pasukan Faks, kisah perjuangan kalian akan terukir selamanya di hati dan ingatan kami. Istirahatlah dengan tenang kawan-kawan. Perjuangan kalian akan terus kami berempat lanjutkan.
***
Oh ya, Pria di depanku ini adalah kapten Alvar. Seorang mantan regu 1 pasukan Faks generasi pertama dan sekarang menjabat sebagai kapten regu 2 pasukan Faks generasiku. Dia adalah sosok yang sangat disegani sekaligus dikagumi oleh para pasukan Faks. Dari semua anggota pasukan, kapten Alvar adalah yang terkuat. Dia juga pintar dalam bidang arsitektur dan strategi perang. Tak heran jika baginda ratu selalu memberikan perlakuan khusus untuk kapten.
Di sampingku ada si badan besar berkulit coklat bernama Daylen. Dia tidak pernah berbicara kecuali saat mempunyai informasi penting. Dengan tinggi badan 190 cm dan berotot membuatnya mendapat julukan hantu banteng.
Lalu di samping kiri kapten adalah Gideon. Dia berperawakan kurus tinggi. Gideon dijuluki si mata elang karena ketajaman matanya melebihi manusia pada umumnya. Bakat yang luar biasa bukan? Dengan mata setajam itu, Gideon bisa membidik dan menembak musuh menggunakan senapan dari jarak jauh. Selain itu, dia juga bisa menggunakan semua jenis senjata dengan sangat baik. Berbeda denganku yang hanya bisa menggunakan belati, pedang, dan senapan api walaupun bidikanku lumayan buruk. Sikurus ini adalah adik dari Daylen.
Berbicara soal senjata api, sudah 100 tahun lalu senjata api mulai menjadi senjata utama para militer di seluruh di dunia. Zaman dulu senapan api paling populer adalah senapan lontak atau musket. Senapan laras panjang yang menembakkan 1 peluru bola timah kecil dan harus diisi ulang setelah sekali tembak.
Berbeda dengan sekarang, senapan api mulai berkembang dengan ditemukanya versi semi otomatis yang bisa diisi 5 sampai 7 peluru tajam atau bahkan senapan otomatis yang bisa menembakkan puluhan butir peluru hanya dalam sekali tarikan. Tapi, senjata otomatis ini sangat terbatas produksinya semenjak Varaya menginvasi.
Senjata api otomatis di Magolia saja hanya berjumlah 90 ribu pucuk. Sisanya masih menggunakan pedang dan senapan semi otomatis. Begitu juga dengan kerajaan-kerajaan lain yang sampai sekarang masih terus berjuang menghadapi Varaya. Minimnya penemuan senjata baru ini juga tak terlepas dari tragedi pilu yang menimpa para ilmuan dan orang-orang jenius penemu alat-alat modern.
Tepatnya 19 tahun silam di mana tahun itu digadang-gadang sebagai awal zaman modern. Banyak penemuan-penemuan baru saat itu.
Saat Varaya memulai invasi, banyak para ilmuan yang diculik lalu dipaksa menciptakan senjata-senjata baru yang berguna bagi bangsa mereka. Bahkan tidak sedikit dari para ilmuan dibunuh karena gagal memberikan apa yang Varaya inginkan. Sedangkan para ilmuan tersisa berkumpul di ibukota kerajaan Gorgia yang baru saja diduduki Varaya dan menciptakan sebuah bom besar.
Mereka yang sudah jadi tahanan berpura-pura menerima tawaran kaisar Varaya agar kaisar mau menghadiri tempat pertemuan. Tentu saja kaisar mau dan saat sampai sana, mereka rela melakukan bunuh diri massal dengan meledakan bomnya. Ledakan besar meluluhlantakan ibukota kerajaan Gorgia. Saat itu korban jiwa mencapai 89 ribu orang termasuk para penduduk sipil, ilmuan dan kaisar Varaya sendiri
Setelah tragedi tersebut, kaisar Varaya yang baru menuduh adanya sabotase dan melancarkan serangan besar-besaran ke timur.
Setidaknya itulah yang pernah diceritakan orang tua angkatku di ibukota Magolia dulu. Meski begitu para ilmuan di luar sana masih terus berlomba-lomba dengan penemuan mereka. Listrik, lampu, senjata api semi otomatis, dan kereta api.
Ceritaku sepertinya kepanjangan. Sampai lupa jika kapten dan yang lain sudah berjalan menuruni bukit.
Aku bergegas turun untuk bergabung dengan mereka mengingat hari mulai gelap apalagi cuaca yang tidak mendukung membuat pergerakan kami sedikit melambat.
" Kita harus mencari goa, " gumam kapten saat aku berjalan menyusul.
" Kalau tidak salah ada ada goa di bawah pohon besar tadi kapten, " balas Gideon.
" Yoha, tolong carikan kayu bakar. Kami akan menunggumu di depan sana. " Perintah kapten padaku sambil menunjuk pohon besar di depan sana.
" Baik kapten. " Jawabku.
Aku memisahkan diri dan mulai memunguti ranting-ranting kering dan kayu-kayu yang bergeletakan di tanah. Tidak jarang aku menemukan selongsong peluru dan beberapa bayonet tua. Wilayah ini dulunya milik Magolia tapi berhasil dikuasai Varaya dan sempat terjadi perang besar disini. Karena itulah banyak sekali bekas-bekas senjata.
Baru 20 menitan, kayu yang ku kumpulkan sudah banyak bahkan terlalu banyak. Terpaksa aku hanya membawa setengahnya saja. Ku berjalan menyusuri jalan setapak yang berlumpur di tengah barisan pohon dengan daun berguguran. Tempat yang kutuju adalah goa di depan sana yang di maksud Gideon.
***
" Ini kayu yang ku kumpulkan. " Ucapku sambil berjalan memasuki goa dan langsung menjatuhkan kayu yang kubawa.
" Banyak sekali! Tapi baguslah kita bisa membuat api unggun yang lebih besar. " Sahut kapten. Dia lalu berjalan mendekati Gideon yang sibuk mengelap senapanya. " Gideon mana korek apinya? "
Si Gideon merogoh saku-sakunya dan sepertinya dia tak mendapati korek api. " Kapten sepertinya jatuh koreknya, "
" Hhh..., kau ini. Daylen tolong buatkan api dari kayu-kayu itu aku akan menyiapkan makanan, " Kapten mengambil tasnya yang tergeletak di dinding goa. Sementara Daylen juga mulai menggegeskan kayu-kayu kering.
Setelah beberapa menit, api unggunpun jadi. Yeah malam ini sepertinya akan lebih hangat daripada malam-malam sebelumnya dan aku bisa bersantai juga karena sejak pagi tadi kami belum mendapat misi baru. Harusnya misi terus dikirim setiap pagi tapi entah kenapa hari ini tidak ada.
" Ini makanlah! " Kapten datang membawakan sepotong ikan asin kering dan roti gandum yang sudah mulai berjamur.
Makanan yang sangat kubenci akhirnya datang juga. Aku tidak mempermasalahkan rotinya tapi ikan asin itu. Tidak tau kenapa sejak kecil aku tidak tahan dengan bau menyengat ikan asin. Aku juga tidak bisa menolak ikan asin yang disajikan kapten karena bagi orang-orang Magolia sangat tidak sopan jika tidak memakan semua makanan yang disajikan. Terpaksa aku harus memakanya sekarang.
Argh...
Benar-benar tidak enak rasanya. Rasa asin bercampur bau yang mengikat hidungku membuat mual. Aku segera menelanya dan melanjutkan memakan roti yang keras dan dingin ini.
" Ada apa Yoha? " tanya kapten. Sepertinya dia menyadari apa yang kurasakan.
" Tidak apa-apa kapten. " jawabku sembari mengunyah roti.
" Tumben sekali hampir seharian kita tidak mendapatkan misi, " pungkas Gideon.
" Kau benar. Mungkin ini juga efek dari cuaca yang sebentar lagi memasuki musim dingin. Berbahagialah! Saat musim semi nanti misi kita dinyatakan selesai, "
" Darimana kapten tau? "
" Ahaha..., sebenarnya sejak awal aku sudah diberitahu baginda ratu. Misi kalian tidak akan sampai 3 tahun. Kalian akan dipindahkan ke pasukan utama di kota Burga. " Ungkap kapten seraya memakan roti. " Gideon, memangnya apa yang mau kau lakukan jika sudah beralih tugas nanti? "
" Jika di Burga aku ingin hidup damai sejenak lalu menikah dan punya anak sebelum kembali ke medan perang kapten, " jawab Gideon sedikit membuat terheran. Sejak kapan sikurus itu mempunyai pikiran tentang pernikahan.
" Bagaimana denganmu Daylen? "
Daylen tersenyum lalu menunjuk ke arah Gideon yang berarti keinginannya sama dengan sang adik. Memang begitulah Daylen. Dia menirukan semua keinginan adiknya karena memang keinginan Gideon jika dibayangkan sangat membahagiakan.
Kapten menganggukkan kepala, " Lalu Yoha? "
Ditanyai pertanyaan seperti itu sedikit membuatku bingung harus menjawab apa. Pikiranku sejenak kosong saat kucoba menelaah pertanyaan kapten. Aku hanya bisa diam lalu menggelengkan kepala dengan sedikit kutaruh senyum di bibirku.
Kapten juga mengangguk lagi. Dia memang sangat paham dengan situasiku. Bagiku selain menjadi kapten dia juga sosok ayah bagi anggota regu 2. Dia memahami bagaimana sifat kami dan kondisi kami setiap hari. Selain itu, kebutuhan setiap hari juga kaptenlah yang menyiapkan. Memasak dan membeli berbagai kebutuhan semuanya kapten kerjakan. Dia tidak mau dibantu oleh siapapun bahkan jika ada yang tetap memaksa membantu pasti akan langsung dimarahi.
Karena itulah kapten merupakan sosok berharga bagi kami. Aku sendiri rela mati daripada harus kehilangan kapten. Selama di medan tugas, hanya dialah tempatku menumpahkan segala isi hati.
" Oh ya Gideon memangnya kau sudah punya pasangan untuk dinikahi? " tanyaku mencoba memecahkan keheningan yang kuciptakan barusan.
" Tentu saja! Sebentar..., " Gideon kembali merogoh saku. Sebuah foto kecil diangkat dari dalam sakunya dan ditunjukkan pada kami. " Ini dia! "
Di foto yang kulihat ada 2 gadis cantik yang kanan berambut panjang dan yang kiri juga berambut panjang berkepang sedang membawa tas berisi sayuran. " Yang mana? "
" Lihatlah yang kiri adalah pasanganku dan yang kanan milik Daylen, "
Aku tercengang sambil melirik Daylen dan bertanya-tanya bagaimana cara mendapatkan hati gadis secantik itu mengingat dia saja seorang pendiam dan pemalu dikeramaian.
" Kenapa diam? " tanya Gideon.
" Tidak apa-apa aku hanya terkejut. " Jawabku. " Sejak kapan kalian berdua bertemu dengan mereka? "
" Waktu kita ke kota Ankar untuk mengisi logistik sebelum misi bunuh diri itu. Mereka berdua ternyata ada di sana untuk membantu menyiapkan logistik yang dibawa dari kota Burga. Kami tidak sengaja bertemu dan berbincang-bincang cukup lama. Aku dan kakak berjanji pada mereka jika pulang nanti, kami akan menikahi mereka, "
" Ahahahaha..., aku juga terkejut kalian berdua sudah mendapatkan pasangan. Jangan lupa mengundangku dan keluargaku di pernikahan kalian, "
" Tentu saja kapten! aku pasti akan mengundangmu juga mengundang si lajang Yoha, " sindir Gideon sambil melirikku dengan senyum jahilnya.
" Yoha kapan kau akan menyusul mereka? " tanya kapten. Pertanyaan yang sekali lagi tidak bisa kujawab.
Aku menggelengkan kepala lalu berbaring, " Entahlah kapten. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta atau rasa suka kepada wanita. "
" Ngomong-ngomong kapten berapa anakmu? Kau belum pernah memberitahu kami sebelumnya, " sela Gideon.
" Anakku cuma 1 dan sekarang umurnya 10 tahun. Fisiknya sangat lemah tapi aku bersyukur kepintaranya seperti ibunya, " jawab kapten.
" Apa kapten mau memasukanya ke akademi militer? " tanyaku.
kapten tersenyum kecil lalu ikut berbaring. " Dia tidak pandai bertarung tapi sangat pandai mengotak-atik barang. Aku ingin dia menjadi seorang ilmuan suatu saat nanti. Cukup aku saja yang merasakan penderitaan perang ini aku tidak ingin menyeretnya juga. "
Aku tersenyum juga lalu mengangguk. Apa yang dikatakakan kapten benar. Generasi yang akan datang tidak perlu lagi merasakan peperangan ini.
Kami saling bertukar cerita sampai satu persatu dari kami tertidur kecuali diriku. Penyakitku sepertinya kambuh yang membuat tetap terjaga disepanjang malam yang dingin ini.
Aku menderita ptsd. Hampir setiap malam aku merasa arwah-arwah orang yang kubunuh datang dan berusaha balas dendam padaku atau memohon untuk mengampuni nyawa mereka. Sudah sejak 1 tahun lalu aku mengalami trauma ini. Misi keji yang harus membuatku begini dan aku berusaha untuk tidak mengingatnya.
Seperti sebelumnya, malam ini aku dibuat menyesal dan merasa bersalah. Tanpa sadar aku terus mengucap maaf dengan tangan gemetar. Sesekali aku memukul kepalaku sendiri berharap agar mereka keluar dari dalam.
" Kambuh lagi? " tanya kapten yang tiba-tiba menepuk pundakku.
Aku terkesiap lalu duduk sambil bersandar di dinding goa. Kuhapus sisa air mata yang membasahi wajah ini.
" Ini minumlah! " ucap kapten. Dia memberiku sebuah kotak kecil berisi beberapa kapsul.
" Ini apa kapten? " tanyaku sembari menerima pemberian kapten.
" Obat penenang. Aku mendapatkanya dari mayat prajurit Varaya yang kubunuh kemarin, "
" Terimakasih kapten! "
" Hmh..., baguslah aku mau lanjut ti- "
Belum selesai kapten berkata, samar-samar ku mendengar suara ledakan.
" Gideon! " panggil kapten.
Gideon yang tertidur langsung bangun dan tanpa basa basi lari keluar goa. Sudah jelas dia sedang menuju sumber suara ledakan itu karena memang sudah tugasnya.
" Yoha, Daylen, siapkan senjata kalian! Kita susul Gideon! " perintah kapten yang mengelap pedang dan pistolnya.
Aku pun mengecek senjataku. Merasa tidak yang bermasalah, segera menyusul Gideon lebih dulu untuk membawakan senjatanya.
Sepanjang perjalanan, semakin santer kudengar suara tembakan dan ledakan entah apa yang sebenarnya terjadi. Seharusnya daerah ini bukan jalur pasukan Varaya menuju garis depan peperangan.
Ku terus berlari, melompat dari pohon ke pohon lain hingga sampai di tebing batu tempat Gideon sedang tiarap sambil mengamati bawah dengan teropongnya.
" Apa yang terjadi? " tanyaku sembari berjalan mendekati Gideon.
" Ini gawat! " panik Gideon lalu memberikan teropong padaku. " Kau lihat sendiri! "
Aku mengintip ke bawah lewat teropong. Terlihat ada lebih dari 100 pasukan Varaya bersenjata lengkap yang membawa 3 kereta kuda aneh. Kereta kuda itu berbentuk kotak dan sepertinya terbuat dari baja dan setiap kereta ditarik 4 ekor kuda.
Ku alihkan pengamatanku sedikit ke arah kiri. Ku terkejut saat melihat regu 1 pasukan Faks. Saat ini regu itu hanya beranggotakan 2 orang saja tapi anehnya mereka berani menghadang pasukan Varaya secara terang-terangan.
" Kita harus membantu mereka! " kujatuhkan teropong Gideon. Aku tidak bisa membiarkan mereka melawan sendirian.
Tanpa sadar saat aku mau terjun dari tebing, Gideon tiba-tiba memegang erat kaki kananku. " Jangan gegabah! Kita harus menunggu perintah kapten! " desis Gideon.
Aku tetap tidak bisa. Hatiku terus memaksaku menolong mereka tapi memang disisi lain perintah kapten adalah mutlak. Selama kapten belum memberi perintah, aku tidak diizinkan bergerak.
" Jika kita biarkan, mereka berdua bisa mati! " ketusku.
" Yoha jika kau tetap memaksa, sesuai peraturan pasukan Faks aku harus membunuhmu! Sekarang diam di sini sampai kapten datang! Lagipula kau lihat sendiri mereka tidak butuh bantuan! " bentak lirih Gideon padaku.
Ucapan Gideon membuatku terdiam. Kali ini aku tidak bisa menjawab lagi. Aku kembali melihat ke bawah. Tepat di mana 2 pejuang berhadapan dengan 100 pasukan Varaya.Sementara di sisi lain salah satu pasukan Varaya menembakkan flare ke langit untuk memanggil bala bantuan.
Mereka saling pandang dan waspada. Pasukan Varaya dengan senjata apinya dan regu 1 dengan senapan dan pedang. Aku juga melihat regu 1 membawa tas besar yang entah isinya apa. Tak lama mereka berdua mengeluarkan pita merah dan mengikatkannya di kepala.
" Dia menyadari kita, " pungkasku seraya memejamkan mata sejenak.
" Mereka tidak butuh bantuan. Kita hanya bisa menonton sekarang, " balas Gideon mengambil senapan yang kutaruh di tanah.
Pita merah itu adalah tanda mereka akan bertarung sampai titik darah penghabisan dan tidak butuh bantuan dari siapapun. Kulihat pasukan Varaya walaupun bersenjatakan senapan otomatis, tapi mereka sepertinya tidak siap untuk bertarung terlihat dari beberapa diantara mereka gemetar memandangn topeng anjing dan monyet yang dipakai regu 1 Faks.
Suara tembakan mulai kudengar saat salah satu dari mereka bergerak maju dengan pedangnya. Gerakanya sangat cepat. Dalam beberapa detik saja dia sudah berhasil menebas 3 prajurit Varaya. Cara bertarungnya menggunakan pedang lebih hebat dariku. Ditambah kecepatannya yang membuat pasukan Varaya panik.
Sementara anggota lainya masih menunggu dibelakang. Dia mengeluarkan semua isi yang ada di tas dan ternyata isinya adalah puluhan bom dinamit. Dia melilitkan satu persatu bom itu dibadan.
Pandanganku beralih kembali ke yang sedang bertarung. Baru beberapa saat berpaling, setidaknya sudah 21 tentara Varaya gugur.
Kali ini tubuhnya penuh luka. Hampir sekujur tubuhnya terdapat luka tembak. Dia sudah mencapai batas. Memang sulit bertarung secara terbuka sendirian. Aku pun belum tentu bisa membunuh sebanyak itu jika diposisinya.
" Dia akan mengakhirinya, " kata Kapten yang tiba-tiba muncul di sampingku.
Aku menengok kapten sekejap lalu memfokuskan lagi ke bawah. Sesuai perkataan kapten, anggota regu 1 yang di belakang tadi mulai bergerak. Dia mengambil arah memutar dan berencana meledakkan diri dari belakang. Sedangkan anggota yang lain sibuk mengalihkan perhatian semua pasukan Varaya walaupun fisiknya sudah tidak kuat lagi.
Dia hanya biaa bertahan beberapa menit sampai sebuah bayonet menembus leher. Dan di waktu bersamaan...
...Boooom!...
Bom yang dibawa meledak tepat di kerumunan pasukan Varaya yang tersisa. Aku melihat jelas bagaimana ledakan itu menghamburkan banyak darah ke udara dengan beberapa bagian tubuh beterbangan.
Kepulan asap membumbung tinggi menyelimuti area pertarungan. Aku sebenarnya sangat ingin segera ke bawah tapi kapten mencengkram bahu kananku dengan erat. Aku hanya bisa menunggu sampai beberapa menit saat asap mulai menipis.
Mulai kulihat korban dari perang kecil itu. Mayat mereka berserakan dengan banyak anggota tubuh yang terpisah. Masih ada beberapa pasukan Varaya yang berhasil selamat dengan luka berat dan sepertinya mereka juga mengalami syok.
" Kapten apa kita bere- " perkataan Gideon berhenti saat terdengar suara kuda dari arah kanan.
Ternyata masih ada sekitar 40 pasukan Varaya dengan 1 kereta kuda. Dibelakang kereta kuda ada 2 wanita dan 3 laki-laki yang berlumur darah diikat dan terseret kereta kuda.
" Kapten. " pungkasku saat melihat 5 orang diseret kereta kuda.
" Mereka sepertinya terpisah. Kita harus menunggu. Aku khawatir flare tadi akan membawa pasukan bantuan, " jawab kapten.
" Mereka adalah penduduk Magolia kapten! Kita harus menyelamatkan mereka sekarang sebelum pasukan susulan mendekat! " sahut Gideon sambil mengokang senapan angin dan memasukan sepucuk peluru tajam.
Kapten melirikku dan Daylen lalu menarik pedangnya. " Yoha seranglah mereka dari belakang. Aku akan menyerang dari depan. Daylen, Gideon, fokuskan tembakan kalian ke arah prajurit Varaya di sana! "
Daylen dan Gideon mengangguk. Aku menanggalkan pedang panjangku. Lebih mudah bagiku bertarung dengan 2 belati.
" 1..., 2..., maju! " bisik kapten.
Ku segera berlari memutar lalu terjun ke bawah. Sementara kapten dia langsung menghadang pasukan yang tertinggal itu tanpa mempedulikan pasukan Varaya yang berhasil hidup sebelumnya.
" Musuuuh...! " teriak salah satu prajurit Varaya.
Kapten mulai menerjang dari depan. Dia melibaskan beberapa kali pedangnya yang berhasil memutus kepala 2 prajurit Varaya.
Saat pasukan itu terfokus pada kapten, dengan secepat mungkin aku berlari lalu melempar 1 belati ke arah prajurit Varaya paling belakang.
...Jraak...!...
Yeah, lemparanku tepat menancap di kepalanya. Segeraku cabut belati itu lalu menikam beberapa prajurit yang lain.
Kapten melemparkan bom asap yang membuat prajurit Varaya dihantam ombak kepanikan. Ini adalah kesempatan. Aku berlari ke arah kereta kuda tadi. Ada 2 prajurit yang siaga menjaga 5 tawanan di belakang.
...Sriing...!...
...Jraak! Jraak!...
Aku melompat lalu menikam kedua prajurit itu. Segera kucabut belatiku dari tubuh mereka lalu melepaskan tali-tali yang mengikat para tawanan.
" Tetaplah diam di sini! Jangan bergerak kemanapun sampai kami kembali! " ucapku pada mereka.
Aku mengendap-ngendap dipekatnya asap putih ini. Ramai kudengar seruan prajurit Varaya yang diiringi suara tebasan pedang.
" Yoha merunduk! " pekik Gideon dari atas tebing. Tanpa pikir panjang kuikuti ucapanya.
...Sedetik setelah kumerunduk, seorang prajurit Varaya tergeletak disampingku dengan wajah berlumur darah....
Untung saja kami memiliki Gideon. Jika saja dia tidak ada mungkin bayonet panjang ini sudah menancap di punggungku.
" Jangan ceroboh Yoha! " sentak Kapten yang tiba-tiba ada dibelakangku.
" Maaf kapten, aku kurang fokus. "
" Mereka mulai mengepung kita. Ada 4 orang tepat di depanmu dan 7 orang di depanku. Habisi mereka biar sisanya Gideon dan Daylen yang membereskan! Maju! "
Sedetik setelah perintah kapten terucap, aku berlari maju sambil menyilangkan kedua belati. Samar-samar kulihat 4 orang yang dimaksud kapten.
Kusayat kaki mereka berempat sehingga mereka jatuh tersungkur. Saat aku mau membunuh mereka, tidak tau kenapa tanganku tiba-tiba gemetar. Aku mendengar suara berisik itu lagi di kepala. Langkahku terhenti, dadaku terasa sesak sampai membuatku tak sanggup berdiri.
Hentikan!
Hentikan suara berisik ini!
Aku benar-benar tak tahan lagi. Kulihat 4 orang tadi kembali berdiri walau tertatih-tatih. Mereka berjalan kearahku dengan bayonet yang menggesek tanah.
Aku mencoba bergerak tapi tak bisa. Suara ini benar-benar mengingatkanku pada orang-orang yang sudah kubunuh. Wajah mereka, darah mereka, jeritan dan rintihan mereka semuanya seperti kulihat dan dengar kembali.
" Mati kau disini Magolia sialaaaaan...! " pekik salah satu prajurit tadi. Dia mengayunkan bayonet ke arahku.
Aku hanya bisa menatap pasrah dan entah mengapa aku berharap bayonet itu benar-benar membunuhku. Dengan begitu aku bisa bebas dari suara bising ini.
...Dor! Dor! Dor! Dor!...
4 letusan peluru menembus kepala 4 musuh di depanku. Aku langsung syok dan ketakutan saat mereka tumbang.
" Yoha! Yoha! Tenang! " ucap kapten dari belakang memegangi bahuku.
Tak lama Daylen yang membawa senapan muncul dari kepulan asap. Ternyata dia yang menembak 4 orang tadi.
" Hey Yoha atur nafasmu! " ucap kapten sekali lagi mencoba menenangkanku.
" Kapte- "
...Jreb!...
Belum selesai kuberkata, tanpa sadar ada sebuah bayonet yang bayonet yang menancap di perut kiriku. Itu milik salah satu tentara Varaya di depanku. Dia belum benar-benar mati.
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Dalam keadaanku yang syok aku sudah kehilangan kontrol. Aku hanya terdiam rasanya sangat menakutkan saat kudengar banyak suara yang menyuruhku untuk mati. Sementara tubuhku perlahan mati rasa dan pandanganku memburam sampai akhir semuanya gelap seketika.
^^^To be continue^^^