Bijaklah dalam memilih tulisan!!
Kisah seorang penulis online yang 'terkenal lugu' dan baik di sekitar teman-teman dan para pembaca setianya, namun punya sisi gelap dan tersembunyi—menguntit keluarga pebisnis besar di negaranya.
Apa yang akan di lakukan selanjutnya? Akankah dia berhasil, atau justru kalah oleh orang yang ia kendalikan?
Ikuti kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembalasan Penulis Licik 02
...****************...
Malam menggantung tenang di langit kota. Lampu jalanan menebar cahaya kekuningan yang lembut, menemani langkah Aresya Halyna menyusuri trotoar menuju apartemennya. Angin malam menggoda ujung rambut hitam panjangnya, membuatnya terkesan seperti sosok dari novel misteri yang keluar dari halaman kisahnya sendiri.
Sesampainya di kamar, ia membuka pintu dengan pelan, seolah tak ingin mengganggu keheningan yang menyambutnya. Ruangan itu tak terlalu besar, tapi nyaman. Dinding dipenuhi rak buku dan tanaman kecil di sudut meja kerja yang menghadap jendela kota. Ia menggantungkan jaketnya, melepas sepatu, dan langsung menuju laptopnya yang tertutup di atas meja kayu bergaya minimalis.
Dengan gerakan pelan, ia membuka tutup laptop, dan layar menyala perlahan, menampilkan wallpaper hitam dengan kutipan:
"The scars you cannot see are the hardest to heal."
(Bekas luka yang tak dapat kamu lihat adalah yang paling sulit di sembuhkan)
— AsymRo
Nama pena yang misterius itu terpampang di sudut atas dokumen terakhir yang belum sempat ia lanjutkan. Aresya menarik napas, lalu mulai mengetik, jemarinya menari ringan di atas keyboard. Kalimat demi kalimat mengalir seolah sudah menunggu dikeluarkan.
"Dia kembali. Dengan tatapan yang tak berubah sejak hari terakhir mereka bertemu.
Namun kali ini, tidak ada pelukan. Hanya ancaman sunyi yang menggantung di antara keduanya."
Aresya berhenti sejenak, menatap layar dengan sorot mata kosong. Kata-kata itu bukan hanya fiksi. Ia tahu, cepat atau lambat, apa yang ia tulis akan menjadi nyata.
Dan dunia tempat ia sembunyikan kisahnya bukan sekadar dunia maya—itu adalah peringatan. Sebuah sandi untuk mereka yang tahu caranya membaca.
Tak ada satu pun dari ribuan pembacanya yang tahu siapa AsymRo sebenarnya. Tak ada wajah, tak ada biodata, hanya cerita yang mencekam dan misterius, penuh teka-teki yang seolah nyata.
Ia melanjutkan ketikan:
“Kamu pikir aku melupakanmu, tapi aku selalu ada. Menjagamu dari kejauhan.
Dan sekarang, waktunya tiba. Kau harus memilih: percaya pada yang tak kasat mata, atau hilang dalam kenyataan yang salah.”
Aresya berhenti, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Ia memejamkan mata. Sekilas, suara-suara samar di masa lalu menggema di telinganya.
Lalu Aresya membuka matanya perlahan dan beralih pada komputernya yang lain.
Ia bersandar dan rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai, menambah kesan lugu dan kalem yang menipu.
Di layar komputernya, jendela hitam terminal penuh dengan kode-kode yang asing bagi orang awam. Aresya tak sekadar menulis kisah fiksi—ia sedang membongkar lapisan-lapisan rahasia perusahaan bernama Camaro Corp, sebuah entitas yang sejak dulu diam-diam ia pantau.
"Firewall lemah," gumamnya pelan, menyeringai kecil. "Tidak sebanding dengan ego mereka."
Dalam beberapa menit, ia berhasil menyusup ke server email internal perusahaan. Tab-tab baru bermunculan, menampilkan berbagai informasi—dokumen, percakapan pribadi, laporan keluarga. Matanya tajam menelusuri semuanya. Ia tidak mencari uang. Tidak juga ingin membocorkan data ke publik.
Yang ia incar… adalah kebenaran.
Subject: Penetapan Pernikahan Arion Camaro
Isi--: Sesuai keputusan keluarga besar, Arion akan dijodohkan dengan putri keluarga Harrel minggu depan. Tidak ada pilihan lain. Ini demi bisnis, bukan cinta. Harap segera beri kabar.
Aresya menyipitkan mata, lalu menyender ke belakang sambil menatap layar. Ia tersenyum kecil.
"Akhirnya, langkahmu bisa kuprediksi juga, Camaro."
Tangannya kembali sibuk mengotak-atik folder tersembunyi. Ia tahu Arion—anak semata wayang dari keluarga Camaro, pria yang sejak lama diam-diam ia awasi—adalah kunci untuk membuka masa lalu kelam yang membuat keluarganya hancur. Dan kini… Arion dalam posisi tertekan.
Saat ia membuka tab lain berisi pesan-pesan pribadi, matanya terhenti pada satu thread.
Pengirim: Daria Camaro (Ibu)
Pesan kepada kerabat:
Mohon doa untuk saya. Kanker ini makin parah, saya tidak tahu bisa bertahan sampai kapan. Saya hanya ingin melihat Arion bahagia sebelum saya pergi.
Senyum Aresya memudar sejenak. Wajahnya tetap datar, namun pandangannya jadi gelap. Ia tidak punya belas kasih, tapi kalimat itu mengusik sisi manusiawinya—meski sedikit.
“Jadi begitu, ya…” bisiknya.
Tangannya menggeser trackpad, menutup jendela pesan itu. Tapi tidak dengan jendela utama berisi data Arion dan jadwalnya. Ia membuka catatan kecil berjudul "Rencana Tahap II".
Dan mengetik: Target lemah secara emosional. Akan dimanfaatkan. Waktu eksekusi: 7 hari sebelum pernikahan.
Kontak langsung belum disarankan. Lanjutkan observasi.
Ia menatap layar kosong di sebelah jendela kode—tempat biasa ia menulis cerita. Tapi malam ini, ia tidak sedang menulis fiksi.
Kisah ini nyata.
Dan ia, AsymRo, bukan lagi sekadar penulis anonim.
Ia pemburu dalam kegelapan.
...****************...
Langit pagi menyimpan kabut lembut yang menggantung, seolah tahu bahwa hari ini bukan tentang cahaya, melainkan bayang-bayang. Aresya melangkah tenang, membiarkan langkahnya menyatu dengan desir angin kota yang belum sepenuhnya terjaga.
Gaun sebetis berwarna lembut membingkai tubuhnya, memberi kesan lugu yang nyaris menyilaukan. Rambut hitam panjangnya diikat setengah, membingkai wajah manis yang tak memberi isyarat apa-apa—hanya kelembutan yang tak bertepi.
Ia memasuki rumah sakit seperti seseorang yang datang membawa harapan. Tapi sesungguhnya, ia datang membawa rencana.
Dan semesta, entah mengapa, selalu seakan memberi jalan baginya.
Seolah, semua ini memang harus terjadi.
Di ruang tunggu yang sunyi, ia melihat dua pria duduk bersisian di kursi seberang. Satu berpakaian necis dengan tablet di pangkuan, yang lain mengenakan jaket sopir, mata awas mengamati setiap yang lalu. Tapi perhatian Aresya tidak untuk mereka.
Ia menoleh pelan ke arah pintu ruang periksa. Di balik sana, seorang wanita paruh baya sedang diperiksa.
Daria Camaro.
Wanita itu sedang sakit—dan semesta, seperti biasa, seolah memberi Aresya panggung yang sempurna.
Aresya duduk di kursi tunggu, mengambil posisi beberapa bangku dari para penjaga itu. Ia menunduk sejenak, seolah khusyuk dengan pikirannya sendiri, lalu menatap sekeliling seakan tak sengaja, membiarkan sorot matanya tampak hampa dan sendu.
Beberapa menit kemudian, pintu ruang periksa terbuka.
Daria keluar perlahan. Tubuhnya tampak letih, wajahnya pucat.
Ia berjalan pelan, lalu duduk di bangku dekat jendela, menghadap cahaya matahari pagi yang muram.
Aresya melihat itu sebagai isyarat.
Ia bangkit, lalu perlahan menghampiri dan duduk di sebelah wanita itu. Gerakannya penuh kelembutan, seperti tak ingin mengganggu, hanya ingin berbagi ruang dengan seseorang yang sedang sama-sama sendiri.
“Pagi, Bu,” bisiknya lembut, nyaris seperti desir angin. “Tak apa duduk di sini, kan?”
Daria mengangguk tanpa menoleh. Bahunya sedikit turun, napasnya berat.
“Saya juga habis cek,” lanjut Aresya, menebar ilusi. “Kadang… rumah sakit terasa seperti tempat yang penuh harap, ya? Meski seringnya menyakitkan.”
Daria menoleh perlahan. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya masih hangat. “Kamu sakit?”
Aresya tersenyum samar. “Tak seberapa. Mungkin hati saya yang terlalu sering sesak.”
Dan kalimat itu cukup untuk membangun simpati.
Cukup untuk membuat Daria menunduk, terdiam… lalu membuka sedikit celah.
Aresya memandang lurus ke depan, pura-pura menguatkan diri.
“Kalau Ibu ingin bercerita, saya siap mendengar. Kadang bicara pada orang asing itu… melegakan.”
Seketika, Daria menghela napas panjang.
“Usia memang menakutkan. Tubuh tak lagi sama… dan penyakit datang tanpa diundang.”
Aresya mengangguk pelan. “Tapi Ibu masih tampak kuat. Masih bisa melawan, saya yakin.”
Daria menoleh, tersenyum kecil. Lalu, dalam sekejap, Aresya membuka tangannya.
“Boleh saya peluk?”
Daria, dengan ragu-ragu, mengangguk.
Dan Aresya merangkulnya—erat, sehangat mungkin.
Tapi dadanya tetap hampa.
Karena pelukan itu bukan dari hati.
Melainkan dari dendam yang menyamar menjadi kasih.
.
.
.
Next 👉🏻
Makasih tadi udh mampir. jgn lupa keep lanjut teyuz ya...
kita ramein dengan saling bertukar komen...