" Iya, sekalipun kamu menikah dengan wanita lain, kamu juga bisa menjalin hubungan denganku. Kamu menikah dengan wanita lain, bukan halangan bagiku “ Tegas Selly.
Padahal, Deva hendak di jodohkan dengan seorang wanita bernama Nindy, pilihan Ibunya. Akan tetapi, Deva benar - benar sudah cinta mati dengan Selly dan menjalin hubungan gelap dengannya. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan antara ketiganya ? Akankah Deva akan selamanya menjalin hubungan gelap dengan Selly ? atau dia akan lebih memilih Nindy ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vitra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebohongan
Keesokan paginya, Deva menghampiri ibunya yang sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur.
“Bu, maafkan Deva soal kemarin, ya,” ucap Deva dengan nada menyesal.
Bu Lastri menoleh dan membalas dengan senyuman hangat.
“Tidak apa-apa,” jawabnya sambil menata hidangan di meja makan.
Deva melanjutkan pembicaraan. “Bu, Deva sudah memutuskan untuk berpisah dengan Selly.”
Mendengar itu, tangan Bu Lastri terhenti. Ia menoleh dengan tatapan terkejut.
“Kamu sudah putus dengan Selly?”
Deva mengangguk pelan.
“Iya, Bu. Kemarin aku sudah mengakhiri hubungan kami. Dan… aku ingin mencoba berkenalan dengan anak dari teman Ibu itu.”
Wajah Bu Lastri langsung bersinar.
“Alhamdulillah! Ibu senang sekali, Dev. Percayalah, Ibu tidak akan menjodohkanmu sembarangan. Ibu sudah kenal baik dengan teman Ibu, namanya Pak Danu. Ibu juga pernah sekali bertemu anak perempuannya. Dia cantik, mandiri, dan sholehah. Ibu rasa, dia cocok untukmu.”
Deva tersenyum tipis. “Aku percaya, kok, dengan pilihan Ibu. Karena itu, aku mau mencoba menjalani proses ini. Kalau boleh tahu, siapa nama wanita itu, Bu?”
“Nindy, Dev. Ibu yakin, begitu kamu bertemu dengannya besok, kamu akan merasa dia adalah orang yang tepat. Insting seorang ibu itu jarang meleset.”
Deva hanya merespon dengan sebuah anggukan atas perkataan ibunya. Yang terpenting baginya saat ini adalah telah memenuhi permintaan sang ibu. Soal bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Nindy, itu akan ia pikirkan nanti.
Namun, jika harus mengikuti rencana yang telah disusun Selly, maka Deva justru harus segera menikahi Nindy. Semakin lama ia menunda pernikahan itu, semakin besar pula kecurigaan ibunya terhadapnya.
Kemudian, ia mengucapkan dengan nada tenang yang penuh kepalsuan, “Kalau bisa, mungkin Ibu bisa segera mengatur waktu untuk proses perkenalan di rumah Pak Danu. Semakin cepat, akan semakin baik, kan, Bu?”
“Benar sekali. Semakin cepat, semakin bagus,” sahut Bu Lastri antusias. “Apalagi, Pak Danu cerita kalau banyak laki-laki yang mendekati Nindy. Sayangnya, semuanya hanya mempermainkan perasaannya. Itu sebabnya Nindy sampai sekarang masih betah sendiri.”
Deva hanya tersenyum tipis mendengar penjelasan panjang lebar itu. Dalam hatinya, tak ada sedikit pun kepedulian terhadap Nindy. Baginya, semua ini hanyalah bagian dari sandiwara. Yang ia pedulikan hanyalah satu, memastikan rencananya bersama Selly berjalan sesuai harapan, tanpa kegagalan sedikit pun. Supaya ia masih tetap bisa mempertahankan hubungannya dengan Selly selama hidupnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sesampainya di kantor, Bu Lastri menghampiri Pak Danu yang sedang menyalakan layar komputernya, bersiap mengerjakan tugas hari itu.
“Pak Danu, maaf mengganggu sebentar. Saya ada yang ingin disampaikan,” bisik Bu Lastri.
Pak Danu menoleh dengan senyum ramah. “Iya, Bu. Ini soal rencana perjodohan anak kita, ya?”
Bu Lastri mengangguk. “Iya, Pak. Benar.”
“Nanti saat jam istirahat makan siang, kita bahas di kantin, ya,” kata Pak Danu.
“Oke, Pak,” jawab Bu Lastri sambil mengacungkan ibu jari, memberi isyarat setuju.
Saat jam makan siang tiba, mereka duduk bersama di kantin, menyantap makanan sambil membahas rencana perjodohan itu.
“Jadi, Deva akhirnya setuju dijodohkan dengan Nindy?” tanya Pak Danu.
“Iya, Pak. Alhamdulillah, Deva akhirnya bersedia mencoba,” jawab Bu Lastri.
“Syukurlah. Sama seperti Nindy. Tadi malam saya sempat berdebat dengannya. Tapi akhirnya saya membuat tawaran, dan dia menyetujuinya,” jelas Pak Danu.
Bu Lastri penasaran. “Kalau boleh tahu, tawaran seperti apa yang Bapak berikan sampai Nindy mau menerima perjodohan ini?”
Pak Danu tertawa kecil. “Saya bilang, kalau dari pertemuan pertama dia merasa tidak nyaman, dia boleh menolak. Tanpa paksaan.”
“Mudah-mudahan anak kita cocok, ya, Pak. Saya sungguh berharap Deva bisa menikah dengan Nindy. Apalagi saya sudah tahu latar belakang keluarga Bapak,” ucap Bu Lastri penuh harap.
“Saya juga begitu, Bu. Saya tidak akan menjodohkan anak saya dengan sembarang lelaki. Kalau bisa Deva menjadi menantu saya, saya akan sangat bersyukur,” kata Pak Danu.
Mereka berdua memang sudah lama saling kenal sejak awal bekerja di perusahaan asuransi tempat mereka berkarier. Hubungan mereka sudah akrab, bahkan mereka saling mengenal keluarga masing-masing. Tak heran jika mereka merasa perjodohan ini seperti jawaban dari doa mereka selama ini.
Namun, ada satu hal yang belum diketahui Pak Danu—bahwa Bu Lastri tidak sepenuhnya jujur. Ia mengatakan Deva masih lajang, padahal kenyataannya, Deva baru saja mengakhiri hubungan yang sudah berlangsung lima tahun dengan Selly.
Tapi Bu Lastri rela berbohong demi satu tujuan: melihat putranya menikah dengan wanita yang ia anggap lebih baik.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Seharian ini, Nindy tampak murung. Biasanya ia selalu ceria, tapi kali ini, ia hanya diam. Dari pagi sampai siang, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Melihat perubahan sikap itu, Ara—teman dekatnya di kantor—jadi khawatir.
“Nin... Nindy?” panggil Ara, pelan.
Nindy tersentak dari lamunannya. Ia menengok ke kanan dan kiri.
“Eh... iya? Ada apa?” jawabnya gugup.
Ara menepuk pelan pundaknya yang duduk membelakanginya. “Hei, aku di sini, Nin,” ucapnya sambil tersenyum.
“Oh, Ara. Maaf, Ra,” kata Nindy dengan suara lemah.
“Kamu dari tadi nggak kayak biasanya. Kamu sakit? Atau lagi nggak enak badan?”
Nindy menghela napas panjang dan menunduk.
“Fisikku sih sehat, tapi hatiku... nggak baik-baik saja.”
“Kamu lagi ada masalah?”
“Aku juga nggak tahu, ini termasuk masalah atau bukan. Tapi… aku akan dijodohkan dengan anak temannya Ayah.”
Mendengar itu, Ara mendekat dan menatap Nindy serius. “Kamu keberatan?”
Nindy akhirnya mulai membuka isi hatinya.
“Iya, Ra. Aku sebenarnya masih nyaman sendiri. Kamu tahu sendiri, kan, banyak laki-laki yang datang cuma karena penasaran. Bahkan banyak yang cuma main-main. Membayangkan harus kenalan lagi dengan lelaki baru… bikin aku malas.”
Ara tersenyum menenangkan.
“Kalau menurutku sih, dicoba saja dulu. Siapa tahu, laki-laki yang dijodohkan denganmu memang takdirmu. Tapi itu cuma saran, ya. Aku nggak maksa.”
Nindy mengangguk pelan, meski ekspresinya masih terlihat berat. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin apa yang dikatakan Ara ada benarnya. Bisa jadi, lewat perjodohan ini, ia akan bertemu seseorang yang benar-benar menghargainya.
Walaupun, hingga detik ini, hatinya masih berat menerima kenyataan itu.
Setidaknya, Ayahnya tidak memaksanya seperti dalam kisah Siti Nurbaya yang dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih.
Kalau Ayahnya sekeras itu, mungkin Nindy sudah kabur ke pulau entah di mana.
Ara menyodorkan sebungkus keripik kentang.
“Nih, camilan favorit kamu. Mau, nggak?”
Nindy mengambil keripik itu dengan ekspresi malas, lalu mengunyahnya sambil melamun.
Melihat itu, Ara tertawa.
“Kamu tuh, Nin. Cuma kamu yang bisa melamun sambil ngunyah keripik kayak gitu. Hahaha.”