Kisah cinta si kembar Winda dan Windi. Mereka sempat mengidamkan pria yang sama. Namun ternyata orang yang mereka idamkan lebih memilih Windi.
Mengetahui Kakanya juga menyukai orang yang sama dengannya, Windi pun mengalah. Ia tidak mau menerima lelaki tersebut karena tidak ingin menyakiti hati kakaknya. Pada akhirnya Winda dan Windi pun tidak berjodoh dengan pria tersebut.
Suatu saat mereka bertemu dengan jodoh masing-masing. Windi menemukan jodohnya terlebih dahulu dibandingkan Kakaknya. Kemudian Winda berjodoh dengan seorang duda yang sempat ia tolak lamarannya.
Pada akhirnya keduanya menjalani kehidupan yang bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Patah hati
Satu minggu kemudian.
Winda dan Windi sedang di perjalanan menuju ke kampus untuk mengambil ijazahnya. Mereka berangkat ke kampus menggunakan satu mobil, dan Windi yang mengendarainya.
Sampai di kampus mereka langsung menuju ke fakultas mereka. Sudah banyak mahasiswa dan mahasiswi lain yang sedang menunggu untuk pengambilan ijazah.
"Dek, aku mau ke toilet dulu."
"Iya, Mbak."
Sementara Windi menunggu giliran, ada seseorang yang memanggilnya.
"Windi... "
"Nina... ah kangen banget satu minggu nggak jumpa."
Mereka berdua berpelukan.
Rupanya Nina baru saja keluar dan selesai menerima ijazahnya.
"Windi, ada yang nanyain kamu." Bisik Nina.
"Siapa?"
"Kak Reno."
"Di mana orangnya?"
"Di dalam kantor tadi."
"Oh... "
"Kok kayak nggak semangat gitu sih? Bukannya kamu sangat mengharapkannya."
"Huft... nggak jadi."
"Eh nggak jadi gimana maksudnya?"
"Nin, sudah giliranku masuk, nanti kita ngobrol lagi."
"Maaf Windi, aku mau langsung pulang karena ada acara di rumah Nenek."
"Ah ya, kalau begitu nanti aku telpon saja!"
Mereka pun berpisah.
Windi segera masuk ke dalam kantor bersama dua orang lainnya. Dan benar saja, Reno berada di kantor mendampingi dosen. Perhatian Reno tertuju kepada Windi.
"Ini ijazahnya, selamat untuk kalian."
"Terima kasih, prof."
Setelah menerima ijazah tersebut, Windi dan dua orang lainnya keluar dari kantor.
"Dek, sudah?"
"Sudah Mbak."
Windi duduk kembali menemani Winda. Tidak lama kemudian Winda pun masuk karena sudah gilirannya. Windi mencari tempat duduk di lain, yaitu di pinggir taman.
Keadaan sudah mulai sepi. Winda masuk dengan urutan terakhir.
Reno menghampiri Windi yang saat ini sedang duduk sendirian di pinggir taman.
"Windi!"
"Kak Reno... "
Windi langsung menundukkan wajahnya.
"Windi, sudah seminggu ini aku menunggu chat dari kamu. Bahkan aku minta nomor HP ke temanmu tapi mereka tidak ada yang memberi."
"Eh, iya maaf kak."
"Windi, aku tidak berniat macam-macam. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu yang harus aku sampaikan. Hampir saja aku nekat datang ke rumahmu."
"Eh jangan-jangan! Memang Kakak ada perlu apa sama aku?"
Reno pun duduk di samping Windi. Namun Windi langsung berdiri.
"Maaf kak, tidak enak dilihat yang lain. Kita cuma berdua."
Windi tahu, Kata-kata Abinya pasti sedang ada di sekitar kampus. Lagi pula ia juga tidak biasa berbicara sedekat itu dengan seorang laki-laki dalam keadaan sepi.
"Kalau begitu kamu duduk saja, biar aku yang berdiri."
"Hem.. "
Windi hanya menunduk dan memainkan ujung pashmina yang dia pakai.
"Windi, aku rasa kamu sudah bisa menebak maksud perhatianku selama ini. Sudah lama aku menyukaimu. Dan aku tahu kamu tidak boleh pacaran sebelum kamu lulus kuliah."
"Setelah lulus pun tidak boleh berpacaran, kak. Kecuali langsung menikah."
"Kalau begitu izinkan aku melamarmu."
deg
Hati Windi menjadi dilema. Di satu sisi ia sangat ingin mengiyakan ucapan Reno, di sisi lain ia tidak ingin melukai hati Winda.
"Windi... aku serius."
"Kakak yakin akan menikahiku? Bukannya kakak juga suka ngasih perhatian sama Mbak Winda?"
"Winda?"
"Iya."
"Aku bahkan sangat perhatian kepada mahasiswa dan mahasiswi lain. Tapi perhatianku sama kamu itu beda. Apa kamu tidak dapat merasakannya?"
"Ya Allah... tolong hamba." Batin Windi.
Winda baru keluar dari kantor. Ia membawa ijazah di tangannya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Windi. Namun ia tidak menemukannya. Winda pun mengambil handphone di dalam tasnya. Ia hendak menghubungi Windi. Namun ternyata Windi mengirim chat kepadanya bahwa saat ini Windi berasa di taman belakang kantor fakultasnya.
Winda pun segera berjalan menuju taman.
Namun langkahnya ia urungkan saat melihat Reno sedang berdiri di depan Windi. Winda bersembunyi di balik tembok.
"Windi, aku tidak main-main. Aku mencintaimu Windi. Aku ingin menikah denganmu. Mungkin aku tidak pantas bersanding denganmu karena keluargaku hanya dari kalangan menengah. Tapi aku tidak ingin putus asa, aku ingin berjuang untuk mendapatkan cintaku. Karena aku tahu banyak laki-laki yang lebih dari aku sedang berusaha mengejarmu."
Windi ingin sekali melihat ekspresi wajah Reno yang biasanya terlihat wibawa namun saat ini mengiba di hadapannya. Windi tidak kuasa, ia ingin membunuh perasaannya saat ini juga. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya perasaan Winda jika sampai ia berjodoh dengan Reno. Meski Winda berkata baik-baik saja, namun Windi tahu yang sebenarnya.
"Kak maaf. Aku tidak bisa."
"Kenapa? Apa karena aku hanya seorang asisten dosen?"
"Tidak, bukan itu."
"Padahal aku sudah shalat istikharah. Dan jawabannya adalah kamu." Ujar Reno seraya mengusap wajahnya dengan sebelah telapak tangannya.
Winda masih bersembunyi di tempatnya. Ia dapat mendengar pembicaraan mereka, meski tidak terlalu jelas.
"Windi, apa yang kurang dariku?"
"Tidak ada kak, bahkan kamu sudah masuk kriteria suami idaman. Dan menantu idaman Abiku. Tapi sayang sekali kedua anak Abi sama-sama menyukaimu. Dan pantang bagiku untuk bahagia di atas penderitaan orang lain, terlebih orang itu adalah kembaranku." Batin Windi.
"Windi, jawab! Apa kurangku kalau memang kamu tidak memandang harta?"
"Aku sudah dijodohkan dengan orang lain. Jadi aku minta maaf, Kak. Semoga Kakak bisa bertemu dengan wanita yang lebih baik dari aku. Sekali lagi aku minta maaf kak." Windi menangkup kan kedua tangannya sebelum ia pergi dari hadapan Reno.
Windi terpaksa berbohong karena ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Ia berjalan cepat pergi dari taman tersebut. Namun langkahnya terhenti saat Winda memanggil namanya.
"Dek... "
Windi menoleh.
"Mbak... kamu di sini?"
Winda mengangguk.
"Dari tadi?"
"Iya."
"Ish, curang."
Winda menggandeng tangan adiknya untuk segera pergi ke parkiran dan masuk ke dalam mobil.
"Kenapa kamu menolaknya, hem? Bukankah kamu menyukainya?"
"Tidak, aku tidak menyukainya. "
"Jangan bohong! Kamu tidak bisa membohongiku."
"Mbak juga bohong sama aku."
Winda menundukkan wajahnya kalau menarik nafas dalam-dalam.
"Dek, aku memang pernah menyukainya. Tapi hanya sebelah pihak. Kenyataannya dia mencintaimu bahkan dia serius sama kamu. Aku tidak apa-apa, dek."
"Mana bisa tidak apa-apa? Sudah, jangan diperpanjang! Aku sudah menolaknya."
"Tapi kamu sudah membuatnya patah hati debgan kebohonganmu."
"Aku lebih memikirkan kamu mbak, bukan orang lain. Lebih baik aku tidak berjodoh dengannya. Biarlah kita sama-sama patah hati."
Winda menggenggam tangan adiknya. Keduanya pun berpelukan sebelum akhirnya Windi melajukan mobil untuk pulang ke rumah.
Sementara Reno kembali masuk ke dalam kantor. Ia tertunduk lesu di meja kerjanya. Ia tidak menyangka cintanya kayu sebelum mekar.
"Tuan, nona kembar baik-baik saja. Mereka sedang menuju pulang ke rumah."
"Oke, Terima kasih. Pantai terus mereka."
"Baik Tuan."
Orang tersebut menutup telponnya.
Bersambung....
...****************...
Jangan lupa supportnya ya kak, Terima kasih.
semangat menulis dan sukses selalu dengan novel terbaru nya.
apa lagi ini yang udah 4tahun menduda. 😉😉😉😉😉😉