Novel ini merupakan kelanjutan dari cerpen Gara-gara Nolongin Bos Galak versi horor komedih nggak pakai putar.
Rachel nggak akan menyangka kalau pertemuannya dengan bos garang bin gahar malam itu merupakan awal dari segala kesialan dalam hidupnya. Asisten Pribadi yang menjadi jabatan yang paling diincar dan diinginkan para ciwik-ciwik di kantor malah jatuh pada cewek cupu macam Rachel, tapi dengan syarat dia harus mengubah penampilannya. Daaaan atraksinya menyambung rambut di salon malah membuat Rachel terus-terusan di ganggu makhluk halus. Akankah Rachel bisa melepaskan diri dari jeratan teror makhluk tak kasat mata itu? we never know...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reina aka dian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Playboy Cap Badak
Pagi ini aku dibangunin sama orang yang pagi-pagi buta nelponin mulu. Kesel banget aku tuh!
"Halooooooooo!" aku nyapa agak ngegas.
"Astaghfirllah, Dek! kamu tuh ngagetin tau, nggak?" suara lembut mbak Gita.
"Maap! hoammmph, aku kira kang telpong iseng. Maklum adek mbak ini punya banyak pengagum rahasia. Betewe ada apa Mbak pagi-pagi telpon aku?" aku nanya masih dengan suara serak-serak becek.
"Emmmmph, gini, Chel..." kata mbak Gita, terhenti.
"Apaan? kayak seret banget mau ngomong doang? minum dulu, gih..."
"Gimana ya, Dek..."
"Ya gimana? apanya yang gimana? Mbak Geje banget suwer deh,"
"Mbak nggak enak ngomongnya..."
"Dienakin aja, Mbak! sama adek sendiri kok, bukan sama orang lain. Mbak kenapa?kalau nggak penting nggak mungkin mana mbak nelponin aku sebelum subuh kayak gini," aku maksa mbak Gita supaya mau cerita.
"Huuuufhhh," dia menghela nafas sejenak sebelum kembali berucap.
"Sebenernya mbak malu mau ngomong ini. Tapi, mbak udah nggak tau lagi harus minta tolong siapa..."
"Minta lontong? lontong apa mbak? lontong sayur apa lontong polosan?"
"Tolong, Dek. Bukan lontong!" mbak Gita kesel banget.
"Hahaha, sabar, Bu. Biar nggak tegang gitu, loh! ya udah lanjut, mau minta tolong apaan?"
"Emmhh! mbak mau pinjem duit, Dek..."
"Berapa?"
"Nggak banyak sih, cuma 2 juta aja. Itu juga kalau kamu ada..." kata mbak Gita, kayak ada rasa sungkan.
Ya gimana nggak sungkan, dia udah sering minjem kayak gini sama aku.
"Ke no rekening biasa kan?" aku nanya.
"Iya..."
"Maaf ya, mbak sering ngerepotin kamu..." kata mbak Gita.
"Woles aja, Mbak..."
"Maaaaah..." suara anak kecil merengek.
"Kamu kebangun, Sayang?" tanya mbak Gita.
"Dek, mbak ke kamar lagi ya? Nayla kebangun," kata mbak Gita.
"Iya, Mbak..." aku langsung tutup telfon itu.
Menjelang subuh malah disuruh transfer, ini nih pasti kelakuan mas Bram yang udah pasti kurang ngasih jatah bulanan buat mbak Gita. Amit-amit jabang bayi punya suami kayak gitu. Gimana nggak kurang, duitnya abis buat selain kebutuhan utama rumah tangganya.
Entar beli lampu antik lah, ntar beli sepeda gunung lah, ntar nyuruh tukang buat ngecet rumahlah. Pokoknya kelakuan mas Bram itu aneh bin ajib. Aku aja gedeg banget liatnya, apalagi mbak Gita. Nayla yang masih TK butuh banyak biaya, masih untung dia nggak ada pembantu. Semua mbak Gita kerjain sendiri, tuman emang suami begitu. Dia lebih mentingin gengsi supaya diakuin orang, kalau dia punya ini itu. Walaupun anak istrinya cuma makan tempe ama tahu doang begitu.
"Pulang kantor aku coba ke rumah mbak Gita lah, sekalian pengen tau ada apaan lagi di rumahnya..." aku tarik selimut lagi buat meremin mata semenit dua menit.
Sekarang matahari udah nggak malu lagi buat nyinarin para makhluk di bumi pertiwi ini. Dan aku salah satu makhluk tuhan yang menikmati kehangatan buat nguatin tulang-tulang punggung. Kan katanya matahari pagi itu mengandung vitamin D kan. Lumayan dong dapet vitamin gratis pagi-pagi.
Aku masih setia pakai nih motor buat ngantor. Tadinya, uang yang udah aku transferin buat mbak Gita itu rencananya buat aku pakai buat nyervis. Tapi ya sudahlah.
Untung hari ini nggak telat masuk, pas aku mau belok ke basement tiba-tiba ada yabg ngelaksonin motorku.
Tin.
Tin
Tin
Aku minggir dong dan bener aja, tuh mobil main nyelip udah kaya macam pembalap.
"Ini kantor, Woy! bukan sirkuit!" aku teriak. Kesel banget liat mobil main nyeradat begitu.
"Sabaaaarrr, sabarrrr!" aku lanjut ke basement buat naro motor.
Hari ini seperti biasanya kerjaan numpuk sampai sore. Definisi pejuang cuan ya begini, nggak ada kata lelah. Walaupun pinggang rasanya udah nggak karuan karena kebanyakan duduk dan kacamata suka melorot terus. Tapi ya udah mau gimana lagi.
"Rachel, yang lain udah pulang. Kamu kok masih betah disini?" tanya Tristan, dia malah menggeser kursi dari kubikel di sampingku dan mendudukinya.
"Ini juga mau pulang," aku mulai ngesave semua kerjaan dan matiin komputer.
"Buru-buru amat?"
"Ya kan udah sore, kantor udah sepi juga..." aku buru-buru masukin hape ke dalam tas.
"Ya udah, kita bareng. Kebetulan aku juga nggak ada janji," kata si playboy cap badak.
Aku sih nggak jawab, aku main ngeloyor pergi aja.
"Rachel, tunggu!" suara ngebas Tristan memenuhi ruangan.
Dia ngekor mulu, ya walaupun kehadiran Tristan lumayan menghalau suasana sepi dan serem di sepanjang lorong perusahaan. Tapi tetep aja, jalan ama buaya darat tuh malesnya nggak ketulungan.
Nggak ngerti ya, Tristan yang kalau di depan orang banyak tuh kayak nggak kenal sama aku. Dan kalau nggak ada siapa-siapa kayak sekarang dia berubah jadi sok iyey banget.
Aku jalan agak cepet ninggalin tuh orang
Saking cepetnya aku nggak sengaja nabrak seseorang.
Bugh!
Kacamataku jatuh.
"Sorry ... sorry, maaf nggak sengaja!" aku nunduk buat nyari tuh kacamata yang ternyata nggak sengaja jatuh dekat di kaki orang yang aku tabrak tadi.
"Sudah pakai kacamata saja jalanmu masih tidak benar!"
Deg!
Ternyata yang ada di hadapanku ini pak Raga. Aku jelas ngeliatnya sewaktu aku pakai lagi tuh alat bantu lihat.
"Iya, maaf. Saya..."
"Tunggu, sepertinya saya tidak asing dengan suaramu?" ucap pak Raga.
"Gaswat! jangan-jangan dia inget kalau aku yang nolongin dia waktu itu, yang nyangka dia kang jambret!" aku dalam hati.
"Racheeeeeel!" teriak Tristan. Dan ekspresinya berubah saat melihat si bos.
"Emmmh, Tuaaan?" ucap Tristan kikuk.
"Ini kantor, bukan hutan! Jangan teriakan!" kata pak Raga.
"Dan kamu! perhatikan jalanmu, lihat kedepan bukan ke belakang! mengerti?" ucap pak Raga sambil ngerapihin jasnya.
Pak bos main pergi aja. Aku pun bisa napas dengan lega. Aku juga ikutan pergi, tapi dicegah si buaya darat.
"Mau kemana?" tanya Tristan.
"Mau pulang, Tan!" aku lepasin tangannya.
"Aku anter!"
"Nggak usah, aku bawa motor sendiri, bye!" aku ninggalin Tristan gitu aja.
Dan pria itu cuma ngeliatin aku tanpa berniat mengejar. Dia malah dadah-dadah, dan terakhir kasih finger love. Astaga, kesambet apaan nih orang. Aneh banget.
Jangan tanya situasi basement kayak apa. Udah pasti sepi, ya emang masih ada yang baru nyalain mesin motornya tapi bentar doang. Abis itu dia pergi dan basement sepi lagi. Aku naikin motorku sendiri.
"Yang nurut ya, jajannya bulan depan! duitnya udah pindah tangan soalnya!" aku ngomong sama motorku yang berwarna kuning angkot.
Oke, aku buru-buru keluar dari basement dan baru aja keluar dari parkiran kantor nih motor tau-tau ngadat.
"Lah, lah ... kok?"
Mesin tiba-tiba mati gitu aja.
"Yassalaaaaammm! baru juga dikasih tau malah ngadat begini!" aku ngegeplak motorku sendiri.
Tin.
Tin.
Tin
"Heh! minggir!" teriak seorang pria, yang nggak asing ditelingaku.
