Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Cerai
Alina menatap cowok yang baru saja memasuki kamar.
"Dari mana lo jam segini baru pulang?" Katanya agak sewot.
"Ketemu sama pacar gue, kenapa? Cemburu?" Sahut cowok itu sembari melepas jaket kulitnya.
"Nggak ada sejarahnya seorang Alina cemburu. Gue sama pacar lo tuh bagai langit dan bumi. Pacar lo itu miskin, cupu, beda banget sama gue yang berkelas dan cantik. Iewh banget gue dibandingin sama dia."
"Apa lo bilang?" Cowok itu mendekat, kini berdiri tepat di depan gadis yang tak lain adalah istrinya.
"Dengar ya, meskipun pacar gue nggak kaya tapi dia tahu sopan santun. Dan soal kecantikan, pacar gue jauh lebih dari segalanya," Tekan cowok itu sembari menatap sinis ke arah Alina.
"Devi nggak pernah ngehina orang. Tutur katanya selalu baik, dia selalu tahu cara menghormati orang"
Tangan Alina terkepal. Matanya menatap benci dan nanar pada Revan.
"Lo juga, kalau dibandingin sama Leon, jauh banget. Leon tahu cara menghargai perempuan. Sedangkan lo? Lo terang-terangan bawa cewek lo ke mana-mana tanpa mikirin perasaan istri lo di rumah!"
Revan menatap Alina tanpa emosi. Tatapannya dingin, seolah tak tergoyahkan.
"Dari awal kita dijodohin, gue udah bilang, gue nggak akan pernah suka sama lo. Di hati gue cuma ada Devi. Sampai kapan pun." Kata Revan sembari menunjuk dadanya.
"Revan milik Devi, begitu juga sebaliknya," tambahnya.
Revan menarik napas panjang, lalu menambahkan, pelan tapi menusuk.
"Gue tahu... lo mulai jatuh cinta sama gue. Tapi tolong, hilangkan perasaan itu. Jangan sampai lo kecewa karena harapan yang lo buat sendiri."
Tanpa menunggu jawaban, Revan pun pergi ke kamar mandi, meninggalkan Alina yang membeku di tempat. Tangannya mengepal erat, menahan emosi yang nyaris meledak. Dadanya sesak, satu tetes air mata jatuh.
Dia benci dirinya sendiri.
Benci karena jatuh pada pesona cowok itu. Cowok yang tak pernah dia miliki hatinya.
"Nggak. Ini cuma perasaan sementara. Perasaan ini bakal hilang dengan sendirinya," lirihnya pelan.
Beberapa minggu kemudian…
Revan masuk
"Kita cerai!"
"What!? What did you say!?"
"I said seriously. Kita tiap hari bertengkar. Lo dengan keras kepala lo, gue dengan ego gue. Pernikahan ini nggak bakal menghasilkan apa-apa selain rasa sakit"
"Apalagi... kita nggak saling cinta. Daripada kita terus nyiksa diri, mending kita akhiri semuanya."
"Lo bakalan bebas setelah ini. Gue juga. Dari awal, perjodohan ini udah salah. Nggak seharusnya anak SMA kayak kita terikat dalam ikatan yang bahkan belum kita ngerti sepenuhnya."
Alina terdiam sejenak, dadanya bergejolak panas. Tangannya terkepal erat. "Oke. Fine. Kalau itu maunya lo... gue juga udah muak hidup bareng lo."
"Gue benci liat wajah sok cool lo!"
Revan Arelio, cowok kelas 12 SMA, dijodohkan dengan teman sekelasnya sendiri, Alina Rhesaya. Dengan alasan basi, dijodohkan karena bisnis keluarga. Masa depan yang seharusnya masih panjang, dipaksa dikorbankan demi kesepakatan orang dewasa.
Revan benar-benar menutup hatinya untuk Alina. Tak membuka celah sedikitpun.
"Lo ingat baik-baik, Revan Arelio hanya mencintai Devi, dulu, hari ini besok ataupun seterusnya,"
Dan perceraian pun tak terelakkan, pernikahan yang hanya seumur jagung itu benar-benar berakhir.
Alina kini sudah resmi menyandang status janda muda, gadis itu terisak di pelukan Mama-nya, Kamelia. Tubuhnya bergetar dan air matanya tak henti-henti mengalir.
"Padahal aku udah berjuang, Ma. Aku udah coba segala cara biar dia bisa cinta sama aku... Tapi apa? Dia nggak pernah bisa lupain pacarnya."
"Selalu gadis itu yang ada dipikiran dia..."
Kamelia hanya bisa mengelus punggung putrinya dengan lembut, berusaha menenangkan meski hatinya pun ikut tersayat.
"Apa yang kurang dari aku, Ma? Aku tiap malam pakai lingerie biar dia tertarik, tapi dia malah marah, maki-maki aku... Katanya aku murahan..."
"Padahal faktanya aku jauh lebih cantik dari pacarnya itu. Dia juga bukan orang berada, miskin... Tapi kenapa Revan nggak bisa cinta sama aku?"
Kamelia ikut meneteskan air mata, penuh penyesalan. Ia tahu, semua ini bermula dari keputusannya dan mendiang suaminya, Aron, yang melakukan perjodohan bisnis itu.
"Maafin Mama, sayang... Ini salah Mama," lirih Kamelia.
Aron, ayah Alina, sudah meninggal sebulan setelah perjodohan itu terjadi. Kini hanya Kamelia dan Alina yang tersisa dan saling menguatkan berdua.
"Aku harus apa, Ma...? Kenapa aku selalu jatuh cinta sendirian? Kenapa cowok yang aku cinta nggak pernah cinta sama aku? Apa aku sebegitu buruknya? Revan bilang nggak ada cowok yang bisa tahan sama sikapku..."
Kamelia menggeleng pelan. "Nggak, sayang. Kamu itu Putri Mama yang sangat baik. Mungkin mereka belum kenal kamu dengan baik, makanya mereka ngomong kayak gitu. Kamu nggak salah. Kamu hanya salah mencintai orang yang belum selesai dengan masa lalunya"
"Percaya sama Mama, suatu saat nanti pasti bakal ada yang mencintai kamu lebih dari yang kamu kira,"
Alina rasanya putus asa, dia tidak tahu apakah hidupnya setelah ini akan baik-baik saja.
Sementara itu, keadaan jauh berbeda di rumah Revan.
Jesika menatap putranya dalam diam. Amarah, kecewa, dan rasa bersalah bercampur jadi satu di wajahnya. Sementara Revan hanya duduk di ruang tengah, wajahnya datar menatap ke arah lantai.
"Ini semua salah kita, Ma... Kita terlalu memaksakan kehendak supaya Revan dan Alina berjodoh, padahal mereka masih terlalu muda," kata Felix pelan ketika mereka sudah berada di kamar.
Jesika menghela napas berat. "Revan jadi duda, Alina janda di usia muda.... Apa itu bukan menghancurkan masa depan mereka?"
"Mungkin ini memang jalan terbaik," ucap Felix. "Setidaknya sekarang mereka bisa fokus memperbaiki hidup masing-masing. Kalau mereka jodoh, pasti akan bertemu lagi nanti... Kalau tidak, ya kita harus belajar ikhlas."
"Mereka masih labil, biarkan mereka memilih pasangan hidup mereka masing-masing, kita tidak berhak ikut campur urusan mereka lagi" kata Felix lagi.
"Satu kali kesalahan sudah cukup buat kita sadar, Ma"
"Papa nggak mau putra kesayangan Papa terluka lebih dalam," lanjut Felix.
Jesika mengusap wajahnya kasar. Dalam hati, ia tahu ucapan suaminya benar.
••••••
Tok! Tok!
"Iya sebentar!"
Devi segera berdiri dari meja belajarnya dan membuka pintu rumahnya. Alisnya langsung berkerut saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.
"Revan?"
Wajah pria itu tampak kusut dan rambutnya agak berantakan.
Tanpa sepatah kata pun, Revan tiba-tiba menubruk tubuh Devi, melingkarkan lengannya erat di pinggang wanita itu dan menyandarkan kepalanya di bahu gadis itu.
Revan akui, ia senang karena akhirnya terbebas dari ikatan yang selama ini hanya menyiksa batinnya. Tapi di sisi lain, dia sedih karena membuat orang tuanya kecewa.
Devi terkejut. Tubuhnya sempat menegang, namun instingnya lebih dulu bereaksi. Tangannya terangkat dan mengusap pelan punggung lebar Revan. Ia bisa merasakan betapa terguncangnya pria itu.
Revan memejamkan mata. Dalam diam, hatinya menjerit.
Hanya Devi, batinnya lirih. Hanya perempuan ini yang bisa membuatnya jatuh cinta.
Devi selalu tahu cara menenangkannya ketika amarahnya memuncak. Selalu tahu bagaimana membuatnya kembali tersenyum, bahkan ketika dunia terasa begitu menyesakkan. Bersama Devi, Revan selalu merasa cukup. Merasa dicintai apa adanya.
Dia tidak menginginkan Alina, perempuan yang tak pernah ia cintai. Ia dipaksa menjauh dari Devi, orang yang sangat dicintainya.
"Mau cerita sekarang?" tanya Devi lembut setelah hening beberapa saat.
Revan mengangguk pelan. Ia akhirnya melepaskan pelukannya pelan. Matanya agak memerah.
Devina mengusap rahang cowok itu pelan. Tersenyum menenangkan.
"Ayo masuk," ajaknya sembari menggenggam tangan Revan. Mereka menuju sofa di ruang tengah rumah Devi.
"Mau minum dulu?"
"Nggak usah," jawab Revan, menggeleng pelan, masih menatap mata Devi dalam-dalam.
Ia menarik napas panjang, lalu menggenggam kedua tangan Devi.
"Aku… udah cerai sama Alina."
Devi terbelalak, "Apa!?"
Ia tahu soal perjodohan itu. Revan sendiri yang menceritakan semuanya dulu, tentang pernikahan yang bukan atas keinginannya. Dan saat itu, hati Devi hancur.
Namun Revan selalu meyakinkannya, "Kamu bukan orang ketiga, Dev. Justru Alina yang jadi penghalang di hubungan kita."
Meski hatinya terus berperang, Devi memilih bertahan. Tapi ia tak bisa sepenuhnya menutupi rasa bersalah yang menyelinap. Ia merasa seolah ikut andil dalam keretakan rumah tangga orang lain.
"K-kenapa kamu ceraikan dia?" tanyanya pelan. "Terus… Mama sama Papa kamu gimana?"
Revan menunduk. "Aku nggak bisa terusin, Dev… Aku benar-benar tersiksa. Aku nggak tahan hidup sama cewek kayak Alina."
Ia mengangkat wajahnya dan menatap Devi dengan sorot matanya sendu.
"Dia juga sering ngomongin kamu… nyindir kamu, hina kamu. Dia bilang kamu perusak rumah tangga, padahal dia yang merusak hubungan kita."
Devi terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Pernikahan ini nggak pernah bisa kasih aku kebahagiaan. Yang ada cuma luka dan tekanan,"
Revan lalu menangkup pipi Devi. Tatapan mereka saling terkunci.
"Aku selalu cinta sama kamu, Dev... Dari dulu, sampai sekarang. Nggak pernah berubah." Suaranya bergetar. "Cuma kamu yang bisa ngerti perasaan aku… lelahnya aku. Aku nggak tahu gimana hidup aku tanpa kamu."
"Kamu yang selalu support aku di masa-masa sulit aku. Kamu yang nggak pernah ninggalin aku,"
Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh. Devi tidak bisa lagi membendung perasaannya.
Tanpa ragu, ia langsung memeluk Revan erat-erat.
"Aku juga selalu mencintai kamu..." lirihnya di pelukan pria itu.
Revan tersenyum, lalu semakin mengeratkan pelukannya, mengecup pucuk kepala Devi pelan.
"Terima kasih... karena sudah mencintai perempuan kayak aku," Lirih Devi
Revan melepaskan pelukannya lalu membelai rambut Davina.
"Justru aku yang sangat berterima kasih. Aku yang beruntung punya kamu dalam hidup aku."