Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1
Byurrr!
Seember air dingin mengguyur tubuh seorang gadis muda, memutus paksa mimpi indah yang baru saja memeluknya
Gadis bernama Arabella terlonjak kaget dan matanya mengerjap panik. Dingin menusuk tulang, membangunkan setiap serat syarafnya dari alam bawah sadar yang penuh kehangatan.
Ia baru saja bermimpi tentang ibunya, tawa renyah yang selalu menenangkan, dan pelukan hangat sang ayah yang kini hanya tinggal kenangan. Namun, semua itu lenyap dalam sekejap, digantikan oleh realita pahit yang membekukan.
Di ambang pintu kamarnya, Bibi Maya berdiri tegak, tangannya masih memegang ember kosong. Tatapan matanya tajam, penuh kebencian yang tidak pernah ia sembunyikan.
"Bangun! Sampai kapan mau jadi bangkai di kasur busuk itu, hah?! Matahari sudah naik dan kamu masih mimpi jadi putri raja?!" Suara Bibi Maya menusuk telinga, lebih dingin dari air yang baru saja mengguyurnya.
"Dasar anak tidak tahu diri! Cuma bisa makan dan tidur saja kerjamu!" lanjut wanita itu.
Arabella gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi karena ketakutan yang mencekik. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa kaku.
Air membasahi rambutnya, menetes dari ujung dagunya, dan membasahi kasur tipis yang menjadi satu-satunya alas tidurnya.
"Ma... maaf, Bibi. Arabella ketiduran," lirihnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menunduk, tidak berani menatap mata bibinya. Setiap pagi, ritual ini selalu terulang, seolah menjadi pengingat akan statusnya di rumah ini.
"Ketiduran?! Enak sekali hidupmu! Kamu pikir siapa yang akan memberi makan kalau kamu cuma tahu tidur dan melamun, hah?!" bentak Maya, suaranya menggelegak seperti ombak yang menghantam karang. Ia meludah ke samping, seolah jijik melihat keponakannya.
"Cepat sana mandi! Dan jangan lupa, sarapan harus sudah siap sebelum aku selesai dandan! Jangan sampai aku turun lagi dan mendapati kamu masih di sini, melongo seperti sapi ompong!" Maya berkacak pinggang.
Arabella mengangguk cepat, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya yang sembap. Dengan susah payah, ia meraih tongkat kayu yang selalu tergeletak di samping tempat tidurnya.
Tongkat itu adalah teman setianya, saksi bisu dari tragedi yang merenggut segalanya. Ia menyeret kakinya yang pincang, melangkah perlahan menuju kamar mandi kecil.
Setiap langkah adalah perjuangan, setiap ayunan tongkat adalah pengingat akan kecelakaan tragis yang menimpa dirinya dan kedua orang tuanya beberapa tahun silam.
Saat itu, Arabella masih remaja, berusia lima belas tahun. Dunia terasa begitu cerah, penuh impian dan tawa. Orang tuanya adalah segalanya baginya, pelindung dan sumber kebahagiaan.
Namun, sebuah perjalanan pulang dari liburan keluarga mengubah segalanya. Sebuah truk oleng, suara benturan yang memekakkan telinga, dan kegelapan yang menelan.
Ketika ia terbangun, ia menemukan dirinya terbaring di rumah sakit, dengan kaki yang nyaris hancur dan hati yang remuk redam.
Kedua orang tuanya telah tiada, pergi untuk selamanya, meninggalkan Arabella sendirian di dunia yang tiba-tiba terasa begitu kejam.
Sejak saat itu, ia terpaksa tinggal bersama paman dan bibinya. Paman Reno, adik dari ayahnya, adalah pria baik hati yang selalu berusaha melindunginya, namun ia terlalu lemah di hadapan istrinya, Maya.
Bagi Maya, Arabella hanyalah beban, anak cacat yang harus diberi makan dan tempat tinggal, padahal seharusnya ia bisa hidup tenang tanpa gangguan. Setiap hari, cacian dan makian menjadi sarapan, makan siang, dan makan malam bagi Arabella.
Di kamar mandi yang dingin, Arabella menatap pantulan dirinya di cermin buram. Wajahnya pucat, matanya bengkak, dan ada lingkaran hitam di bawahnya.
Bekas luka di kakinya masih terlihat jelas, memanjang dari paha hingga betis, sebuah pengingat abadi akan hari naas itu. Ia menghela napas, merasakan perih di hatinya yang tak pernah sembuh.
Andai saja ia bisa ikut pergi bersama orang tuanya, mungkin ia tidak akan merasakan penderitaan ini. Mungkin ia tidak akan menjadi beban bagi siapa pun.
Selesai mandi dengan air seadanya, Arabella menyeret langkahnya ke dapur. Aroma nasi yang baru matang dan telur goreng mulai tercium. Bibi Maya sudah duduk di meja makan, menunggu dengan tidak sabar.
Paman Reno, yang biasanya sudah berangkat kerja, hari ini masih ada, duduk diam di sudut, membaca koran, seolah tidak mendengar keributan yang baru saja terjadi. Ia selalu seperti itu, memilih diam daripada harus berhadapan dengan kemarahan istrinya.
Dengan tangan gemetar, Arabella menyiapkan sarapan. Ia meletakkan piring berisi nasi dan telur goreng di hadapan Bibi Maya, lalu di hadapan Paman Budi. Untuk dirinya sendiri, ia hanya mengambil sedikit nasi dan sepotong kecil tempe sisa semalam. Ia tahu, jika ia mengambil lebih, cacian akan kembali menghujam.
"Cepat makan! Jangan melamun! Pekerjaan di rumah ini banyak!" tegur Maya, tanpa menoleh.
Arabella menunduk, menyuapkan nasi dingin ke mulutnya. Setiap kunyahan terasa hambar, seperti hidupnya. Ia merindukan masakan ibunya, sentuhan lembut tangannya, dan suara tawa yang mengisi dapur.
Kini, yang ada hanyalah keheningan yang mencekam, diselingi suara dentingan sendok dan gumaman bibi Maya.
Setelah sarapan, daftar pekerjaan sudah menunggu. Mencuci piring, menyapu, mengepel, mencuci baju, menyetrika. Semua dilakukan dengan kaki yang pincang, dengan tongkat sebagai penopang.
Setiap kali ia tersandung atau menjatuhkan sesuatu, suara bentakan bibinya akan segera menyusul.
"Menyedihkan sekali nasibku," gumam Ara sembari menghapus air matanya.
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul