Putri Raras Ayu Kusumadewi, putri tunggal dari salah satu bangsawan Keraton Yogyakarta, selalu hidup dalam aturan dan tata krama yang ketat. Dunia luar hanyalah dongeng yang ia dengar dari pengawal dan dayang-dayangnya.
Hingga suatu hari, atas nama kerja sama budaya, Keraton Yogyakarta menerima kunjungan kehormatan dari Pangeran William Alexander dari Inggris, pewaris kedua takhta Kerajaan Inggris.
Sebuah pertemuan resmi yang seharusnya hanya berlangsung beberapa hari berubah menjadi kisah cinta terlarang.
Raras menemukan kebebasan dan keberanian lewat tatapan sang pangeran yang hangat, sementara William melihat keindahan yang belum pernah ia temui — keanggunan Timur yang membungkus hati lembut seorang putri Jawa.
Namun cinta mereka bukan hanya jarak dan budaya yang menjadi penghalang, tapi juga takdir, tradisi, dan politik dua kerajaan.
Mereka harus memilih — cinta, atau mahkota.
.
.
Note: semua yang terkandung dalam cerita hanya fiktif belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uffahazz_2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Royal Invitation
Langit Yogyakarta sore itu berwarna keemasan, memantulkan cahaya yang jatuh lembut di atas atap-atap joglo tua milik keraton. Burung-burung jalak terbang rendah melewati halaman luas, sementara gamelan di pendapa tengah terdengar lirih, mengiringi suasana yang tenang dan penuh wibawa.
Di balik dinding tebal yang berhias ukiran motif parang kusumo, seorang gadis duduk bersimpuh di atas tikar pandan. Busana kebayanya berwarna hijau zaitun, lembut dan menenangkan, sementara rambutnya disanggul rapi dihiasi melati putih.
Dialah Raras Ayu Kusumadewi, satu-satunya putri dari Kanjeng Adipati Suronegoro, salah satu bangsawan keraton Yogyakarta yang paling dihormati.
Sore itu, Raras tengah menyalin aksara Jawa di atas kertas lontar, namun pandangannya kerap melayang ke luar jendela, pada taman yang berhiaskan kolam teratai. Ada kerinduan yang tidak bisa ia ucapkan — sebuah rasa ingin tahu pada dunia di luar tembok keraton yang tinggi.
“Den Ayu,” panggil suara lembut dari balik pintu.
Seorang abdi dalem perempuan, Mbak Darmi, masuk sambil menunduk. “Kanjeng Adipati memanggil panjenengan ke pendapa prabayeksa. Ada tamu penting dari pihak istana yang datang membawa surat dari luar negeri.”
Raras menoleh. “Dari luar negeri?” tanyanya dengan dahi sedikit berkerut.
Sebuah rasa penasaran muncul di matanya yang bening. “Baik, Mbak. Tolong bantu siapkan selendangku.”
Beberapa menit kemudian, Raras berjalan menyusuri koridor panjang yang dihiasi lukisan para leluhur. Langkah kakinya pelan, namun anggun, seperti seorang penari yang tahu setiap ritme bumi. Ketika tiba di pendapa, ia melihat ayahnya tengah duduk bersama Kanjeng Gusti Hameng Prabu, sang Sultan sendiri, yang tampak berbincang dengan beberapa tamu berpakaian jas formal — wajah-wajah Eropa berambut pirang dan bermata biru.
Raras menunduk memberi hormat, lututnya menyentuh lantai kayu jati.
“Ndoro Putri Raras Ayu sowan, Kanjeng,” ucapnya pelan.
Sultan menatap lembut. “Mendekatlah, Raras. Kami baru saja menerima surat resmi dari Istana Windsor, Inggris.”
Raras menegakkan tubuhnya perlahan. Jantungnya berdebar ketika salah satu tamu bule berdiri dan menyerahkan map bersegel kerajaan pada ayahnya. Di atasnya tertera lambang mahkota emas dengan tulisan Royal House of Windsor.
Sang ayah membacanya dengan seksama, lalu menatap putrinya penuh makna. “Kerajaan Inggris mengundang perwakilan budaya dari keraton untuk menghadiri Royal Cultural Exchange bulan depan. Dan...,” beliau menatap Sultan sejenak, kemudian tersenyum samar, “Sultan menghendaki agar kau ikut menjadi perwakilan, Raras.”
Raras tertegun. “Saya... ke Inggris, Ayah?”
Sultan tertawa kecil, suaranya dalam namun lembut. “Ya. Dunia sudah berubah, Nak. Sudah saatnya Keraton membuka diri, dan kau, Raras, adalah lambang dari warisan dan masa depan.”
Namun bagi Raras, kabar itu seperti badai kecil yang mengguncang ketenangan jiwanya. Ia belum pernah keluar dari Jawa, apalagi ke benua lain. Dunia barat hanya ia lihat dari buku dan film dokumenter yang sesekali diputar oleh paman sepupunya di pendapa belakang.
“Tapi, Kanjeng... Raras tidak tahu adat mereka, tidak tahu bagaimana bersikap di istana asing.”
Ayahnya tersenyum. “Kau tahu satu hal penting, Raras. Etika dan keanggunan adalah bahasa universal. Di mana pun kau berada, kesopanan Jawa akan tetap menjadi mahkota.”
Raras menunduk. “Inggih, Ayah.”
Tamu-tamu asing itu tersenyum, tampak terkesan dengan tutur halus sang putri. Salah satunya, pria berkacamata dengan pin berbentuk mahkota di jasnya, menatap Raras cukup lama, seolah memperhatikan cara bicara dan gerak tubuhnya.
¹“She will be a perfect representative,” katanya pada Sultan dalam bahasa Inggris. ²“Our prince will be honored to meet someone like her.”
¹“Dia akan menjadi perwakilan yang sempurna,”
²“Pangeran kita akan merasa terhormat bertemu seseorang seperti dia.”
Sultan tersenyum bijak, lalu menjawab dalam bahasa yang sama. ³“Then may this be a bridge between our worlds.”
³“Semoga ini bisa menjadi jembatan antara dunia kita.”
Raras tidak paham seluruh percakapan itu, tapi satu kalimat menancap di pikirannya — Our prince will be honored to meet someone like her.
Hatinya berdesir, entah mengapa.
---
Malamnya, di bawah temaram cahaya minyak, Raras berdiri di serambi kamarnya. Angin malam membawa aroma bunga kenanga. Ia memandang langit, membayangkan negeri jauh di balik awan — negeri tempat sang pangeran itu tinggal.
Dalam hatinya, sebuah rasa aneh tumbuh: campuran antara takut, kagum, dan penasaran.
Mungkin, pikirnya, hidupnya akan berubah setelah surat bersimbol mahkota itu datang.
Namun ia tak tahu, perubahan itu bukan hanya perjalanan budaya.
Melainkan awal dari takdir cinta yang akan mengguncang dua kerajaan.
nah,,, buat sebagian org, cinta nya kok bisa diobral sana sini,, heran deh,,
aku suka,,,aku suka,,,
mommy komen nih ya,,,🥰
kalo sempet blz komen kita" ya
senang banget mommy atuh neng,,,
bisa baca karya mu di sini lg🥰