Senja Ociana, ketua OSIS cantik itu harus menjadi galak demi menertibkan pacar sekaligus tunangannya sendiri yang nakal bin bandel.
Langit Sadewa, badboy tampan berwajah dingin, ketua geng motor Berandal, sukanya bolos dan adu otot. Meski tiap hari dijewer sama Senja, Langit tak kunjung jera, justru semakin bandel. Mereka udah dijodohin bahkan sedari dalam perut emak masing-masing.
Adu bacot sering, adu otot juga sering, tapi kadang kala suka manja-manjaan satu sama lain. Kira-kira gimana kisah Langit dan Senja yang punya kepribadian dan sifat bertolak belakang? Apa hubungan pertunangan mereka masih bisa bertahan atau justru diterpa konflik ketidaksesuaian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiaBlue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Tunangan Bandel
Senja menatap malas sesosok pemuda tengah bergelung manja di atas ranjang. Pemuda tampan tanpa baju itu masih menikmati alam mimpinya, padahal matahari sudah hampir tinggi.
“Langit, bangun!” Senja menghuyung tubuh Langit, tetapi pria itu tak kunjung bangun.
Beberapa kali terus memanggil dan menghuyung tubuh Langit, sama sekali tak mempan. Senja mendengkus kesal, kemudian berdiri.
Perlahan Senja bergerak ke kamar mandi dan kembali sembari menenteng sebuah gayung berisi air. Gadis cantik berseragam SMA itu mendekat dan mulai mengguyur tubuh pemuda tak berbaju di atas ranjang tersebut.
Byur ...
“Banjiir banjiir!” Langit memekik dan langsung melompat di atas kasur.
Senja bertolak pinggang sembari menatap Langit yang tengah berdiri di atas ranjang. Pria itu mengibas rambutnya yang basah, kemudian tersadar jika itu bukanlah banjir.
“Kamar ini beneran bisa banjir kalo lo masih belum mandi. Mandi sekarang!” gerutu Senja.
Langit menatap Senja, kemudian ia menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, kembali berbaring.
“Lima menit lagi aja, Ja,” ucap Langit serak.
“Lima menit lima menit, gitu aja terus. Tiap pagi alesannya lima menit, tau-tau satu jam! Cepat berdiri, masuk kamar mandi, bisa telat ini.” Senja berceloteh sembari menarik lengan sang kekasih sekaligus tunangannya itu.
Adegan seperti ini sudah terjadi semenjak mereka masuk SMP. Jadi selama bertahun-tahun keseharian Senja di pagi hari adalah membangunkan Langit, pemuda tampan yang menyandang status sebagai tunangannya.
“Aku tadi malem tidurnya jam dua, Ja. Masih lengket ini, susah dibuka,” gumam Langit masih memejamkan mata.
“Ck, kamu main game lagi sama Neo dan Ace?” gerutu Senja.
“Iya, tapi—”
“Gak ada tapi-tapi, duduk dan mandi sekarang. Buka mata, atau gue guyur sama air satu ember, mau lo? Bener-bener banjir ini kasur ntar. Cepet mandi!” Senja kembali menarik tangan Langit untuk segera duduk.
Pria tampan tak berbaju itu duduk dengan mata masih terpejam. Langit tidur tak pernah pakai baju, hanya menggunakan bokser sepaha dan kondisi itu sudah biasa dilihat oleh Senja setiap harinya.
“Mata aku lengket banget, Sayang,” gumam Langit begitu serak, ia memang masih mengantuk.
“Siapa suruh tidur malem, begadang mulu karna main game. Udah aku bilang, jangan main game terus, kemarin kamu bilangnya mau tidur, ternyata boong,” celoteh Senja gemas.
“Neo sama Ace setannya, mereka godain aku terus,” jawab Langit malah menyalahkan dua sahabatnya.
“Kalo gitu berarti iman kamu lemah, kegoda sama setan macam mereka. Ck, cepet berdiri dan mandi!”
“Mata masih aku lengket.”
“Tinggal dibuka, cepet, aku siapin seragam kamu.” Senja berusaha menarik Langit untuk berdiri, ia kesulitan karena kekuatannya tak sebanding dengan tubuh besar Langit.
“Udah berkali-kali aku kasih tau, bangunin aku itu harusnya pake kelembutan, gak gini. Jangan jadi calon istri durhaka, banguninnya dicium kek, atau di-elus gitu,” celoteh Langit dengan kepala tertunduk sembari melangkah ke kamar mandi.
“Elus elus, yang ada kamu makin nyenyak tidurnya. Udah, masuk cepet.” Senja mendorong punggung Langit untuk masuk ke dalam kamar mandi.
Langit membalikkan tubuhnya, ia menatap Senja dengan mata masih setengah terpejam. Detik berikutnya Langit menunduk sehingga wajahnya berdekatan dengan wajah sang kekasih.
“Morning kiss-nya?” pinta Langit serak manja.
Senja mendorong wajah Langit, setelahnya mendorong dada sang tunangan untuk masuk ke dalam kamar mandi.
“Ntar kalo udah mandi, aku kasih morning kiss. Cepet, aku tunggu di bawah.” Senja langsung menutup pintu kamar mandi itu.
“Banyak-banyak, ya, morning kiss-nya!” teriak Langit dari dalam kamar mandi.
Senja menggulir bola mata malas. “Mandi aja cepet lo,” gerutunya.
“Kamu udah berapa kali dari tadi panggil lo-gue, Sayang? Mau aku sosor mulutnya ke situ sekarang, hem?”
“Ck, cepet aja mandi, Langit Sayaang!” sahut Senja gemas.
“Baiklah, Senja Sayaang.”
Senja kembali menggulir bola matanya. Ia bergerak ke arah lemari baju di kamar Langit, lalu meraih seragam sekolah sang tunangan. Menyiapkan seragam Langit juga merupakan keseharian Senja, meski mereka berdua baru bertunangan, belum menjadi suami istri.
“Langit udah bangun, Sayang?”
Senja mengangguk sembari mendekat ke arah ruangan makan. “Udah, Bunda. Katanya tadi malem dia main game lagi sama Neo dan Ace. Bandel banget.”
Lusi tertawa mendengar gerutuan Senja. Wanita paruh baya yang masih cantik itu adalah ibu kandung Langit.
“Tiap hari kena jewer gak kapok-kapok dia. Bunda juga heran,” ucap Lusi menggelengkan kepalanya tak habis pikir akan tingkah putranya.
“Lain kali jangan cuma dijewer, ditampol juga.”
Dua wanita berbeda generasi itu menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria paruh baya ber-jas putih mendekat dan mencium kening Lusi sebelum duduk di salah-satu kursi meja makan.
“Pagi, Yah,” sapa Senja.
“Pagi juga, Sayang. Hari ini kasurnya banjir lagi, ya?”
Senja terkekeh mendengar kalimat pria paruh baya itu. Lukman adalah ayah kandung Langit, ia seorang dokter di salah-satu rumah sakit di kota Jakarta.
Rumah Senja dan rumah Langit berhadapan, biasa disebut tetanggaan. Orang tua mereka berdua memang sudah bersahabat sedari zaman sekolah. Sehingga ketika Lusi dan Fema—ibu Senja sama-sama hamil, mereka berkomitmen untuk menjodohkan anak mereka jika jenis kelamin mereka berbeda.
Rupanya saat brojol benar-benar berbeda jenis kelamin. Sehingga secara tidak langsung, Langit dan Senja pun dijodohkan kemudian ditunangkan saat mereka masih umur sepuluh tahun. Jadi, tak heran hubungan mereka sudah begitu dekat, sedari kecil selalu bersama, ditambah dengan Neo dan Rance yang biasa dipanggil Ace.
“Hari ini sarapan di sini, ‘kan, Ja?” tanya Lusi kepada Senja.
“Iya, Bun, tadi aku udah bilang sama Mama dan Papa juga.”
“Senjaaa!”
“Astaga!” Tiga insan di ruangan makan itu terlonjak terkejut oleh suara melengking seseorang.
Lusi menggeleng melihat anak pertamanya yang selalu heboh. “Luna, udah berapa kali Bunda bilang, jangan suka teriak-teriak.”
Luna cengengesan. “Maap, Bun. Aku saking eksaiteeet, mwehehe.” Ia beralih menatap Senja, kemudian duduk di samping calon adik iparnya tersebut. “Ja, gue kemarin dapet diskon tas besar-besaran!”
“Beneran lo, Kak? Kenapa gak ajak gue?”
“Gue diajakin temen, tiba-tiba aja sih kita, ke mall pulang kampus. Gila, tas-nya yang diskon cakep-cakep, Jaaa!”
Setiap hari biasanya Senja dan Langit akan sarapan bergantian, antara di rumah Senja atau di rumah Langit. Tidak ada yang menyuruh, itu semua terjadi sebagai kebiasaan mereka sedari masuk sekolah.
Beberapa menit setelah aksi heroik Senja membangunkan Langit. Akhirnya pria itu turun dengan seragam sekolahnya yang tak rapi. Iya, tidak rapi, baju tidak dimasukkan ke dalam celana, dasi terpasang asal, rambut pun hanya dibiarkan begitu saja tanpa disisir. Beruntungkan pria itu tetap tampan dengan kondisi seperti apa pun.
“Kasian amat gue sama Senja, cewek cantik, berbakat, pinter. Eh, malah harus dapet pasangan berandal bandel kayak begitu,” decih Luna melirik Langit sinis.
Langit menoleh ke sekitar, seakan mencari sesuatu. “Bun, kayaknya kita perlu panggil ustadz. Rumah kita perlu dirukiyah, masa pagi-pagi gini aku udah denger suara kuntilanak?”
Luna melotot menatap Langit yang tersenyum mengejek ke arahnya, sedangkan yang lain hanya tertawa. Mereka sudah biasa melihat perdebatan Langit dan Luna, sebagaimana interaksi kakak dan adik normal pada umumnya, mereka selalu bertengkar.
“Sayang, nanti aku ada latihan basket pulang sekolah.” Langit berbicara sembari meraih helm kecil untuk Senja.
Mereka kini bersiap untuk berangkat ke sekolah setelah beberapa menit lalu selesai sarapan. Langit membantu memasangkan helm ke kepala Senja.
“Jam berapa? Apa nanti aku pulang nebeng sama Duri aja?” tanya Senja mendongak menatap Langit.
“Gak usah, aku anter kamu pulang dulu, terus balik lagi ke sekolah.”
“Kalo gitu aku bareng Duri aja.”
“Gak, aku anter kamu.”
Senja mendengkus malas. “Kamu beneran mau latihan basket, ‘kan?”
“Iya, kamu gak percaya sama aku?” Langit menyahut sembari memasang helm fullface miliknya.
“Enggak, karna kamu sering bohongin aku.”
Langit terbahak mendengar itu, ia kembali membuka helm fullfacenya yang sudah sempat terpasang. “Ayo buka lagi helm kamu, morning kiss-nya belum jadi.”
Senja berdecak ketika Langit ikut membuka helm yang sudah terpasang di kepalanya. Pria itu menundukkan kepala dan menyodorkan pipi kepada Senja.
Satu ciuman di pipi kiri dan satu ciuman di pipi kanan, kebiasaan yang harus ada setiap pagi bagi Langit. Hanya sebatas itu, tidak lebih.
pi klo kelen percaya satu sama lain pst bisa
klo ada ulet jg pst senja bantai
kita lanjut nanti yaaahhhhh