Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tipu Daya Sudradjat
Cerita ini berlatarkan suasana zaman dulu, dengan nuansa pedesaan yang kental, meski dalam kehidupan aslinya mereka menggunakan bahasa jawa, seluruh dialog dalam cerita ini disajikan dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami oleh semua pembaca, selamat membaca_^
Tahun 1975..
Seorang kembang desa bernama Kinan sangat sulit untuk dimiliki, entah sebenarnya hatinya tertaut pada siapa hingga dia menolak semua pemuda desa yang menyatakan cinta dan berniat untuk meminangnya.
Hingga akhirnya, Sudradjat menghalalkan segala cara, dia pikir setelah berhasil menggauli kembang desa itu, dia bisa memilikinya.
Sore hari, Sudradjat memperhatikan Kinan, si gadis pujaan hatinya itu sedang menyapu halaman rumah, dia pun menyuruh keponakannya untuk menghampirinya.
“Dengar, bilang sama Mbak Kin, ibunya jatuh di sawah, nggak ada yang nolongin!” perintahnya pada bocah itu yang sudah diiming-imingi uang jajan.
Darso mengangguk, lalu menghampiri Kinan dan menyampaikan apa yang Sudradjat katakan. Mendengarnya, Kinan langsung melepaskan sapunya, dia berlari kecil menuju ke sawah dengan perasaan sedih, takut ibunya kenapa-kenapa.
Tapi, sesampainya di persawahan, dia tak melihat ibunya, bahkan sawah terlihat sudah sepi, tak ada siapapun di sana.
“Maaaak!” teriak Kinan, matanya menyusuri petak-petak sawah yang kosong. Tapi tak ada siapa pun di sana. Tak ada ibunya, tak ada petani lain, bahkan suara orang pun tak terdengar. Hanya desau angin dan daun kering yang berbisik pelan.
“Mak...!” panggilnya sekali lagi. Suaranya mulai bergetar. Kinan melangkah lebih dalam ke area pematang, menoleh ke kanan dan kiri, tapi tetap tak menemukan siapa-siapa.
“Kok sepi? Apa Ibu jatuh di parit?” tanyanya, dia semakin khawatir, Kinan pun melanjutkan langkah yang sempat tertunda.
Saat itu, Kinan merasa ada seseorang di belakangnya, dia berpikir kalau itu Mirah, ibunya.
Namun, Kinan segera terdiam saat melihat sosok yang berdiri tegap di belakangnya. “Kang Drajat, ada urusan apa kamu di sini?” tanyanya pada pria yang mulai mengulurkan tangannya. Pria berkumis tebal itu ingin meraih tangan Kinan.
Bibir pria itu tersenyum misterius membuat Kinan melangkah mundur dengan waspada. Perasaannya tak enak.
“Kang, kamu nggak lihat ibuku?” tanya Kinan lagi, suaranya mulai bergetar, tapi Sudradjat tetap berdiri tenang di tempatnya, bahkan selangkah lebih dekat darinya.
“Kamu tenang aja, Kin. Ibumu nggak apa-apa, udah pulang ke rumah,” ucap Sudradjat pelan.
Kinan tercengang, dahinya mengernyit. “Jadi, kamu yang nyuruh Darso bilang ibuku jatuh di sawah?”
Sudradjat hanya tersenyum.
“Ya, biar kamu datang ke sini,” bisiknya sambil melangkah lebih dekat lagi.
Lalu, Sudradjat segera memeluk Kinan, tentu saja Kinan meronta, dia meminta pada Sudradjat untuk melepaskannya.
Tapi, pria yang sudah dikuasai nafsu itu tak menghiraukan, dia justru membungkam Kinan dengan bibirnya.
Kinan mendorong Sudradjat, lalu menamparnya keras-keras. “Kurang ajar kamu!” bentak Kinan seraya mengusap bibirnya, dia merasa jijik, lalu berbalik badan, Kinan harus pergi dari sana sebelum Sudradjat melakukan yang lebih jauh lagi.
Tapi, usahanya sia-sia. Sudradjat yang sekarang sudah menyeret dengan menarik rambut Kinan itu membawanya ke gubuk tengah sawah.
Di sana, Sudradjat mulai melancarkan aksinya, mencumbu tanpa ampun dan memaksa Kinan untuk membuka kakinya. Hingga akhirnya pertahanan Kinan pun runtuh.
Selesai dengan urusan birahi, Sudradjat memakai pakaiannya lagi, dia juga membelai wajah sendu Kinan yang saat itu terlihat sembab.
“Kamu jahat, Kang!” ucap Kinan, menatap tajam pada pria yang tersenyum puas itu.
“Aku siap tanggung jawab, Kin. Siapa suruh kamu susah didekati?” jawab pria yang sekarang memakai celana kolornya.
Sudradjat berbalik badan saat merasakan pergerakan Kinan yang tiba-tiba. Benar saja, Kinan dengan tangannya yang memegang batu sudah mengayunkannya ke arahnya.
Pria bengis itu menahan tangan Kinan, lalu mengambil batu itu dan membuangnya jauh-jauh.
“Kin, sepertinya kamu masih bertenaga!” ucap Sudradjat yang kemudian menyerang untuk mengulangi perbuatannya.
Suasana senja di persawahan menjadi saksi bisu kesakitan hati Kinan yang tak didengar oleh Sudradjat.
Setelah mendapatkan keperawanannya dia tertawa puas, merasa dialah pemenangnya.
Dengan perasaan tega, Sudradjat meninggalkan Kinan yang masih terbaring lemah di gubuk yang beralaskan tikar lusuh.
“Memang pantas, wong ibumu juga gundiknya orang Belanda!” gumam Sudradjat dan Kinan mendengarnya.
“Kamu boleh hina aku, tapi jangan hina ibuku!” ucap Kinan, menatap penuh benci pada Sudradjat yang sekarang sudah hilang dari pandangan.
Sementara Kinan? Dia merasa kotor, memilih ke sungai untuk mandi. Di bawah terang rembulan, Kinan menangis seorang diri, menggosok lengan, leher dan badannya dengan kesal.
“AKU JIJIK!” teriak Kinan sampai urat-urat di lehernya itu menonjol.
Kinan berpikir untuk mengakhiri hidupnya, tapi dia teringat dengan ibunya yang membuatnya mengurungkan niat.
Toh, Sudradjat mengatakan siap bertanggung jawab jika Kinan menginginkan.
“Cih, pria keji sepertimu, tidak pantas dijadikan imam!”
Kinan yang berjalan di bawah terang rembulan itu masih tak berhenti menangis. Entah, jawaban apa yang akan dia beri ketika ibunya bertanya nanti.
Sesampainya di rumah, Kin melihat ibunya sedang menunggu di depan rumah, terlihat risau. “Mak,” lirih Kinan, dia langsung memeluk ibunya dengan tubuh yang menggigil.
“Nduk, ada apa?” Mirah melepaskan pelukannya, dia menatap Kinan dari ujung kaki sampai kepala.
“Nggak ada apa-apa, Mak. Kin habis mandi di kali,” jawabnya seraya mengusap air matanya. Bibirnya berusaha tersenyum.
“Tapi kok kamu nangis? Lagian ini sudah malam, aneh banget mandi di kali segala!” Mirah pun mengajak sang putri untuk masuk ke rumah kayunya.
Kinan langsung masuk ke kamar, bahkan melewati makan malam. Hatinya dipenuhi benci dan dendam, dia ingin menghabisi nyawa Sudradjat, tapi masih ingat dosa.
Setelah kejadian itu, Kinan memilih untuk mengurung dirinya di rumah, bahkan sekadar belanja ke warung saja dia menolak.
Sudradjat yang lama tak mendengar kabarnya itu mulai khawatir. Dia pun menyambangi rumah Mirah.
Pria anak juragan itu disambut hangat. Mirah juga menyuruhnya untuk duduk di kursi kayu di ruang tamu, lalu masuk untuk memanggil putrinya.
Mendengar nama Sudradjat, Kinan pun keluar dari kamar. “Aku telat datang bulan, Kang!” ucapnya seraya menatap nanar pria yang sekarang bangun dari duduk.
Rencananya berhasil, dia pun tersenyum dan akan bertanggung jawab. “Nggak usah khawatir, Kin. Aku tanggung jawab, aku melakukan itu cuma biar kamu jatuh ke pelukan aku.”
Di balik dinding kayu, Mirah menutup mulutnya. Jadi ini alasan Kinan tak mau keluar rumah, mual muntah setiap saat dan beralasan masuk angin.
Mirah keluar, dia menatap Sudradjat, lalu mendekat untuk menamparnya.
“Mbok, aku tanggung jawab!” kata Sudradjat mencoba menenangkan calon mertuanya.
Lalu, apakah rencananya benar-benar akan berjalan mulus seratus persen?
Mohon dukungannya, jangan lupa like, komentar dan subscribe cerita ini, ya. Jumpa lagi di episode selanjutnya.