Sang raja terakhir tiada, dan bayangan mulai merayap di antara manusia.
Ketika dunia runtuh, satu-satunya harapan tersisa hanyalah legenda yang tertulis di sebuah buku tua. Riski, pemuda yang mencari ibunya yang menghilang tanpa jejak, menemukan bahwa buku itu menyimpan kunci bukan hanya untuk keluarganya… tetapi juga untuk masa depan dunia.
Dalam perjalanannya, ia harus melewati misteri kuno, bayang-bayang kutukan, dan takhta yang menuntut pengorbanan jiwa.
Apakah ia akan menemukan ibunya… atau justru menjadi Raja Terakhir yang menanggung beban akhir zaman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 : Trauma itu
PROLOG: Aroma darah ini
Kabut malam merayap di antara pepohonan, membawa aroma logam yang hangat dan menusuk. Riski menarik napas panjang, dadanya naik turun. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum yang nyaris menyerupai kepuasan.
“Ahhh… aroma darah ini…” bisiknya pelan, seperti sedang menikmati rahasia paling intim. “Sensasi ini… sungguh nikmat sekali… ahhh… sungguh menyenangkan…!” Tawa kecil pecah dari bibirnya, merambat menjadi gelak yang dingin.
Di hadapan Riski, terlihat seorang pria terhuyung-huyung, berusaha melangkah menjauh dengan sisa tenaga yang nyaris habis. Darah membasahi sekujur tubuhnya, mengalir di sela-sela jarinya yang gemetar memegangi luka. Nafasnya terputus-putus, matanya liar mencari jalan keluar.
“To… tolong hentikan… ampuni aku… sakit sekali…” suaranya pecah, lebih mirip rintihan daripada permohonan.
Tangan Riski bergetar—bukan karena takut, tapi karena dorongan yang semakin liar di dadanya. Dua bilah pisau berlumuran darah tergenggam erat, tetesannya jatuh ke tanah, bercampur dengan lumpur. Setiap tetes membawa aroma yang semakin membakar hasratnya untuk mengakhiri permainan ini.
“Ayolah… menjeritlah,” kata Riski sambil melangkah maju. “Lebih kencang lagi…” Pandangannya tajam, menyapu wajah pucat pria itu. Darah bercampur air mata membentuk garis-garis tragis di pipi pria itu. “Suara jeritan itu… indah sekali di telingaku. Hahaha…” Tawa Riski menggelegar.
Kilatan petir menerangi hutan sesaat, memperlihatkan bayangan mereka di tanah becek. Di kejauhan, suara seorang wanita memecah malam.
“RISKI! Sadarlah…! Hentikan!!” teriaknya. Suaranya pecah di antara gemuruh hujan yang mulai turun, namun Riski berdiri tak bergeming—seolah kata-kata itu tak cukup untuk menembus dinding yang sudah dibangun di dalam kepalanya.
(Waktu masa kini)
Terdengar sirine mobil ambulance meraung -raung di luar kamar Riski. Yap, ia mencoba untuk menoleh kearah jendela. Tapi coba tebak, rasa penasaran itu meracuni pikirannya.
"Arrrhhh.. Apa itu wehh . perasaan tiap hari ada saja mobil ambulance yang lewat. " Tangannya gemetaran. Ia bangkit dari tempat duduknya. Terlihat meja kerja Riski yang berantakan sekali. Terlihat buku jurnal dan beberapa buku pengetahuan alam berserakan di atas mejanya. Sebuah lingkungan yang tidak sehat untuk seseorang yang mengidap OCD (orang yang suka kerapian dan stres jika ada yang berantakan).
"Haruskah... Haruskah... Hemm okey... " Trak...
Yap. Benar saja bung. Ia menyingkap tirai jendela kamarnya. Terlihat mobil ambulance yang baru saja lewat, dan di ikuti oleh beberapa mobil patroli dibelakangnya. Hujan deras dan dinginnya malam menyelimuti kota kecil ini. Seolah hujan itu berkata " Aku mencintaimu kota kecil. Jangan lepas dari aku yah"
Riski mondar-mandir layaknya gasing yang sedang berputar di lokasi battlenya. Sambil mengusap-usap dagunya, ia pun mendekat ke arah jendela. "Ahh.. lebih baik aku membaca buku psikologi disana." Ia berjalan mendekat, buku psikologi yang terletak di rak buku itu seolah-olah memanggil untuk di sentuh.
Ia kembali ke tempat duduknya, kemudian menulis jurnal lagi.
-2024 - Juli - 01 .
Mobil ambulance lewat lagi . Keanehan demi keanehan tersisip rapih di sudut kota hujan ini. Seolah ada sebuah misteri yang tertidur lelap, dan hanya menunggu waktu saja sebelum semua terungkap.
"Yahh akhirnya beres. " Ia pun melepaskan penanya itu . Kemudian ia duduk kembali sembari melipat kedua tangannya. Riski tersenyum puas dengan apa yang baru ia lakukan.
Tok.. tok... Terdengar suara ketukan pintu. Riski menoleh dengan mata yang fokus ke sumber suara.
"Iya aku datang" Langkah Riski tergesa-gesa. Suara itu terdengar familiar sekali di telinganya. Setelah ia sampai, Riski langsung saja membuka pintu itu tanpa ragu.
"Maaf yah aku datang tiba-tiba" Seorang wanita terlihat basah kuyup di hadapannya.
"Tumben datang tiba-tiba sayang. " Ucap Riski sembari menyodorkan handuk yang ia ambil kepada wanita itu.
Wanita itu melepaskan alas kakinya dan mulai berjalan masuk kedalam. Wanita itu gemetar kedinginan. Air hujan terlihat menetes pelan dari rambut indahnya.
"Riski.. Ada yang mau aku bilang. "
"Wehhh duduk dulu, tidak cape kah . Mana kamu basah kuyup. pasti kedinginan. " Riski terdiam sejenak. " Eh Riski? Tumben tidak panggil sayang. Aku ada salah kah atau ada yang terjadi?"
Wanita itu terlihat menggigil. Tangannya terlihat pucat saat ia memeluk dirinya sendiri.
"Kita putus yah.. Maaf aku tidak mau lanjutkan hubungan ini lagi. Bukannya apa, tapi hobimu itu aneh, dan sudah seringkali kamu tidak hubungi aku. Kamu fokus sama jurnal—dan penelitianmu .. "
"Maaf, tapi bisakah langsung to the point ke titik masalahnya?. Jangan terlalu bertele-tele Elsa. Aku selama ini selalu mendengarkan bicaramu secara seksama. Tapi karena kamu minta akhiri hubungan tiba-tiba, jadi aku sudah tidak mau respect apa -apa "
Riski kembali ke meja kerjanya. Ia mencoba mencari kenyamanan duduk . Yah.. melipat kaki adalah hal yang bagus. Ditariknya sebatang rokok yang tersembunyi di dalam bungkusnya. Kemudian dibakar. "Kenapa diam? Lanjut saja bicara. aku mendengarkan disini". Kepulan asap pun memenuhi ruangan.
"Sudah beberapa hari ini kamu tidak hubungi aku. Jadinya... "
"Jadinya kamu pacaran sama Aldo. Nyaman dengan dia, Jatuh cinta. Sebentar lagi menikah? " Riski menatap ke luar jendela.
"Bukan itu, Aldo hanya temen kuliahku. "
"Sudahi omong kosongmu.... !! Kamu pikir aku tidak lihat kamu pergi jalan sama dia?. Jangan kamu playing victim dengan mengatakan aku sibuk tidak ada waktu untuk kamu, jangan pake alasan apapun untuk menutupi kesalahanmu. Kalau kalian saling suka ya tinggal bilang. !! " Mata Riski menatap tajam ke Elsa. Telunjuknya tepat mengarah ke wajah Elsa.
"Sikapmu yang temperamental yang kaya begini, dan kamu yang sok jual mahal begitu. Hah? Kamu pikir cinta sendirian itu enak? Kau hanya pikirkan dirimu sendiri. Hobimu, kebiasaanmu.. "
Riski beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan perlahan menuju Elsa yang sedari tadi di depan pintu. "Orang selingkuh mana ada yang bicara jujur. Kalau banyak orang jujur, sudah penuh lapas dan kamar sel penjara oleh koruptor"
Plakk... Elsa seketika menampar wajah Riski. " Bicaramu keterlaluan. Sikapmu itu yang bikin aku tidak nyaman. Selama ini kamu di ajak jalan, menolak terus. Misteri.... Misteri. Misteri.. Itu saja yang kamu urus."
Wajah Riski memerah. Ia hanya bisa menahan rasa nyeri itu tanpa mau bertindak apa-apa.
"Kau tidak pernah kan merasakan kehilangan orang tua kan. sudah aku katakan. Orang tuaku hilang. Adikku hilang. Memangnya kamu pernah merasakan?"
"Apa? Memangnya kamu pernah cerita?"
"Sudah... Mending kamu keluar dari sini. Aku muak lihat wanita kaya kamu" Riski berdiri sembari membuka pintu Kostnya.
"Ohh aku di usir? Fine. Kita resmi putus".
"Aku tidak peduli, anak manja kaya kamu tidak mungkin merasakan apa yang saja rasakan. Persetan dengan hubungan ini..!!"
Elsa pun keluar, ia hanya menoleh ke arah Riski sebelum pintu itu di tutupi. Tapi ia belum pergi. Ia masih berdiri di depan pintu kamar Riski. "Sampai disini perjuanganmu untukku? Kupikir ketika aku datang marah-marah , kamu akan minta maaf kepadaku. Terus akan bilang akan meninggalkan hobimu agar bisa memberikan waktumu untuk aku "
Trekk.. Riski yang memang belum beranjak dari tempat itu pun membuka pintu kamarnya. " Riski? Apakah kamu... mau.. " Elsa menatap Riski dengan penuh harap.
"Shutt.. " Ia berdiri menghadap Elsa. "Kembalikan handukku. Suruh saja Aldo yang kasih kamu handuk." Ia merampas handuk itu dari Elsa dan kemudian menutup pintu itu kembali.
Elsa terdiam. Wajahnya yang awalnya cerah dan berfikir Riski akan mengalah itu pun seketika muram. Tak ada senyuman lagi.
Riski berdiri dan terdiam terpaku di depan pintu kamarnya. Sedangkan Elsa perlahan pergi menjauh. Sesekali ia menoleh kebelakang, berharap Riski mau mengejar. Hujan membasahi sekujur tubuhnya. Terlihat wanita itu berjalan menjauh, hilang dari pandangan Riski. Air mata Elsa pun jatuh, diiringi dengan hujan yang mulai lebat. Sesekali petir menyambar di langit malam. "Kenapa? Kenapa Riski.. Aaaaaaa" tangisnya pecah seketika.
Riski pun duduk sejenak. Menyulut lagi rokoknya. Tapi hal aneh pun terbesit di kepalanya. Kakinya gemetar kecil.
"Astaga ya Tuhan.. "Hal aneh dan tak wajar menyelimuti perasaannya. Belum habis 5 menit ia duduk, tapi gelisah sudah menguasai.
Prakkk.....
Wiu..
Wiu.
Wiu..
Riski terperanjat. Suara gaduh di luar kosnya terdengar seperti ledakan kecil di dalam telinganya. Ia menghentikan langkah, memicingkan mata ke arah jendela.
"Di seberang jalan? Kenapa ada… ambulans?" suaranya tercekat.
Tanpa pikir panjang, ia menerobos keluar. Hujan yang mengguyur seperti tak lagi ia rasakan. Tanpa jas hujan, tanpa helm, tanpa apa pun—hanya detak jantung yang memburu. Langkahnya memecah genangan air, memercikkan lumpur ke celana, tapi ia tak peduli.
Di seberang, lampu biru-merah ambulans berputar cepat, mencabik gelap sore yang muram. Warga berkerumun, menutup pandangan, seperti pagar manusia yang menahan pandangan asing. Riski mendorong beberapa bahu, tubuhnya setengah berlari setengah memaksa maju.
Di tengah lingkaran itu… seorang wanita terbaring lemas di aspal yang basah. Nafasnya tersengal, rambutnya berantakan, sebagian menempel di pipi yang pucat.
"Kasihan… masih muda," bisik seorang ibu di belakangnya.
Tak jauh dari sana, sebuah motor tergeletak miring. Kapnya lecet parah, lampu depannya pecah, sisa serpihan plastik berserakan. Ada jejak seret di aspal, memanjang seperti garis luka hitam. Seorang pria di samping motor itu duduk terhuyung, memegangi lengannya yang berlumuran darah. Wajahnya pucat, giginya terkatup menahan nyeri.
Tapi Riski tak memperhatikan pria itu. Pandangannya terkunci pada tubuh wanita di tengah kerumunan. Wajahnya belum jelas… tapi warna pakaian itu—warna yang sangat ia kenal—menusuk dadanya.
Jantungnya berdegup kencang, liar, seperti ingin meledak. Tangannya mulai bergetar hebat, napasnya tak beraturan. Ia ingin meyakinkan diri bahwa pikirannya salah. Bahwa ini bukan dia. Bahwa ia hanya kebetulan melihat pakaian yang mirip.
Namun setiap langkah yang mendekat, setiap inci wajah yang mulai terlihat, semakin menghantam batinnya.
Dalam hati, ia berteriak—menolak, menyangkal—tapi rasa takutnya semakin nyata.